Ahli Waris Tsa'labah (2)

Tsa’labah memang sudah lama meninggalkan kita, akan tetapi saat ini masih banyak orang yang menjadi ahli warisnya, walaupun tidak seratus persen berbuat seperti Tsa’labah. Akan tetapi disimak dari perilaku mereka, maka banyak di antara kita yang hidup dengan pola atau kelakuan yang nyaris sama dan sebangun dengan apa yang diperbuat oleh Tsa’labah. 

Dulu ketika masih susah; ketika masih belum mendapatkan kedudukan atau jabatan yang sangat didambakan; maka banyak di antara kita yang taat kepada Allah dan bermohon kepada-Nya dengan penuh iba yang diiringi linangan air mata, agar Allah menyampaikan hajat yang kita inginkan. Bahkan kita juga berjanji untuk memanfaatkan apa yang kelak diberi Allah sebagai alat; sebagai sarana dan prasarana beribadah sesuai dengan apa yang diperintahkan-Nya. Akan tetapi ketika rezeki dan jabatan itu diberikan Allah kepada kita, maka dengan penuh kesombongan kita lupa kepada Allah. Kita beranggapan bahwa apa yang kita peroleh adalah hasil jerih payah usaha kita sendiri, bukan nikmat yang diberikan Allah. Maka langsung ataupun tidak, kitapun menjadi orang yang menyekutukan Allah dengan kesombongan yang kita miliki. Kita beranggapan; kitalah yang paling hebat; kitalah yang paling pintar; apalagi harta dan kekuasaan ada di tangan kita. 

Dan keadaan inilah yang disindir Allah dengan firman-Nya: “ Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya” (QS. Al-‘Aadiyaat: 6-7) 

Dulu ketika masih susah; ketika belum punya apa-apa, banyak di antara kita yang berjanji untuk berbagi rezeki dengan saudara-saudara kita yang lain. Akan tetapi kenyataannya, ketika apa yang kita harapkan diletakkan Allah di dalam tangan dan kantong kita, maka jadilah kita Tsa’labah yang baru, yang senantiasa berpikir dan menimbang-nimbang untuk memberi dan berbagi rezeki. Uang ribuan bahkan jutaan rupiah terasa ringan untuk kita belanjakan untuk memenuhi ambisi serta selera hawa nafsu kita, dan terlalu berat untuk kita sedekahkan kepada saudara-saudara kita yang sangat membutuhkannya. Bahkan adakalanya untuk membayar zakat, kita selalu berhitung dengan untung dan ruginya. 

Dan nyatalah apa yang telah disebutkan Allah SWT di dalam Kitab-Nya, ayat 75-78 surah At-Taubah di atas, yang turun berkaitan dengan ”kekikiran dan ke-engganan” Tsa’labah membayar zakat yang diperintahkan. Dan Maha Benar-lah Allah SWT dengan firman-Nya:”Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS.Al-Ma’arij: 19-21) 

Padahal untuk mengobati sifat kikir yang ada pada diri mereka Allah SWT telah memberi pengajaran dengan firman-firman-Nya:”Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka; harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ’Imran: 180) 

”Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup; serta mendustakan pahala terbaik; maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar; dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (QS. Al-Lail: 8-11) 

Mereka lupa, bahwa sesungguhnya di dalam harta benda yang dikaruniakan Allah kepada mereka itu ada bagian orang lain; baik yang meminta ataupun tidak meminta sebagaimana yang telah dijelaskan Allah SWT di dalam Kitab-Nya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta-minta.” (QS. Adz-Dzariyaat: 19) 

Dulu ketika masih susah; ketika belum menjadi apa-apa, kita rajin sholat dan selalu berupaya agar tepat waktu dan berjamaah. Akan tetapi ketika kita telah mendapatkan apa yang kita inginkan; sholat tidak lagi teratur; tidak lagi sempat berjamaah; bahkan nyaris sholat itu kita tinggalkan lantaran kita sibuk berbisnis; sibuk “meeting” atau rapat itu dan ini. Dan adalakalanya kita lebih menghormati dan takut kepada siapa yang memimpin rapat tersebut, sehingga ketika Allah memanggil atau mengundang kita untuk datang kepada-Nya, kita abaikan dengan begitu saja. Dan jadilah kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang celaka, sebagiamana yang tersurat dan tersirat dalam firman Allah SWT: 

”Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?; Itulah orang yang menghardik anak yatim; dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin; maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat; (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya; orang-orang yang berbuat riya; dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al-Ma’uun: 1-7) 

Jadi jika kita memiliki salah satu saja dari apa saja perilaku tercela di atas, maka jadilah kita salah seorang dari ”Ahli Waris Tsa’labah”. Sebab sebagaimana hukum syariat dan adat yang berlaku, seorang pewaris tidaklah mutlak harus memiliki semua atau seluruh apa-apa yang diwariskan kepadanya. 

Dan ingat pula-lah akan peringatan yang telah diterangkan Allah SWT di dalam Kitab-Nya: “Dan apabila manusia ditimpa bencana, dia memohon pertolongan kepada Tuhannya dengan berlaku taat kepada-Nya; tetapi apabila Dia (Tuhan-nya) memberikan nikmat kepadanya, dia lupa akan bencana yang dia pernah berdo’a kepada Allah sebelum itu; dan diadakannya sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan manusia dari jalan-Nya; Katakanlah (hai Muhammad):“Bersenang-senanglah kamu dengan kekafiranmu itu untuk sementara waktu; Sungguh kamu termasuk penghuni neraka.” (Q.S.Az-Zumar:8). Wallahua’lam



KH. Bachtiar Ahmad
LihatTutupKomentar

Terkini