Perilaku bukan Asesoris


Kalau kanjeng Nabi itu diibaratkan muara, maka kita perlu melihat lagi ajaran-ajaran yang dibawa beliau secara kaffah. Bukan melihat pakian atau asesoris yang dikenakan oleh beliau. Hanya orang-orang yang tidak mengerti kanjeng Nabi saja, yang mengira itu pakaian Nabi. Coba kita tengok pakaian para petinggi kaum quraisy, seperti Abu Jahal dan lain-lain. Mereka pun menggunakan jubah, sorban, bahkan jenggotnya pun dibikin panjang. Karena yang dikenakan itu merupakan pakaian atau kebudayaan nasional bangsa Arab.

Rasulullah SAW merupakan manusia yang menghargai kebudayaan, tradisi itu sendiri, sehingga beliau berpakaian seperti itu. Tidak membikin pakain sendiri, meskipun beliau seorang Nabi. Jadi yang dimaksud itba kanjeng Nabi itu bukan dari pakaian dan berjenggot, melainkan dari perilkau beliau. Kenapa demikian, Abu Jahal pun juga berjenggot dan berjubah dalam berpakaian, sehingga bisa jadi yang berjubah dan berjenggot itu mengikuti Abu Jahal, bukannya kepada kanjeng Nabi.

Terus apa yang membedakan antara Abu Jahal dan Kanjeng Nabi. Kalo kanjeng Nabi itu wajahnya tersenyum ramah, sedang Abu Jahal itu wajahnya keras (sangar). Maka tergantung pribadi masing-masing, kalo mau beritba kanjeng Nabi selain memakai jubah, wajah harusah tersenyum. Kalau wajah yang ditampilkan sangar, maka pastilah Abu Jahal yang menjadi panutan.

Ini bisa kita tengok sejarah. Pada masa Rasulullah Saw ketika ada sahabat yang mau curhat kepada beliau, ketika melihat wajah beliau yang cerah, rasa-rasanya beban yang menimpa mereka seakan-akan telah lenyap. Maka beruntunglah kita yang terkumpul di sini, sehingga dapat mendengarkan pemahaman-pemahaman yang tinggi nilai hikmahnya.

Kalau kita mendengar kisah dari para sufi, maka kita akan dapat berubah perlahan-lahan kembali kesifat manusia kita. Sehingga kita bisa menjalani ibadah dengan benar. Siapapun bisa menjadi abid, tidak harus meninggalkan pekerjaan sehari-hari. Kadang manusia menganggap ahli ibadah itu haruslah hitam dahinya, padahal bukan sama sekali. Banyak sekali manusia yang hanya menurutkan hawa nafsunya. Sehingga tidak lagi mengindahkan Tuhannya, melainkan makhluq yang menjadi Tuhannya.

Dunia ini dahsyat sekali pengaruhnya bagi kehidupan manusia. Surga itu kiri kanannya tidak menyenangkan, sedangka neraka itu kanan kirinya sangat menyenangka (huffatin nar bis syahawat), dan semua yang menyenangkan serta hawa nafsu itulah yang membikin manusia lupa. Oleh sebab itu Rasulullah mengingatkan kepada para manusia agar saling mengingatkan antar sesama. Sehingga tidak terjerumus dalam kesesatan.

 

KH. Musthofa Bisri (Gus Mus)

LihatTutupKomentar

Terkini