Balada Seorang Narapidana (Bagian 103)


Oleh, Dalem Tehang


SYARATNYA gampang kok. Nanti malem, kamu solat taubat. Janji sama Yang Kuasa kalau kamu nggak bakal ngerampok lagi. Istighfar sebanyak kamu mampu. Dan berdoa minta kemudahan atas rencanamu ini,” tuturku sambil memandang wajah Nedi dengan serius.


“Kayak mana solat taubat itu, aku nggak tahu caranya, Be,” kata Nedi dengan wajah kebingungan.


“Nanti cari aja di buku yang numpuk di sudut kamar. Atau tanya ke Hasbi. Kalau itu sudah kamu jalani, aku mau bantu kamu,” kataku lagi.


“Siap, Be. Apa aja syarat dari Babe, aku siap jalaninya,” sahut Nedi dengan semangat.


“Niatnya karena Allah, Nedi. Bukan karena mau dampingi istrimu lahiran, apalagi cuma karena ngehargai aku. Nggak boleh ada niat lain. Kamu taubat bener-bener karena kesadaranmu sendiri dan pengakuan dosamu pada Allah. Inget itu. Jangan melenceng niatmu,” ucapku, menegaskan.


“Siap, Be. Aku paham. Jujur, aku seneng ketemu Babe di penjara ini. Jadi kebawa alim juga,” lanjut Nedi sambil tersenyum.


“Aku juga solat rutin itu setelah disini, Nedi. Dulu juga bolong-bolong nggak karuan. Jangan kamu kira aku ini alim. Lagi sok alim iya,” sahutku sambil tertawa.


“Aku suka sama Babe ini apa adanya. Nggak jaim-jaim. Aku inget, dulu pernah denger seorang penceramah bilang gini; kalau kalian nggak bisa bersaing sama orang soleh dalam perbanyak amal, bersainglah sama para pendosa dalam perbaiki diri. Dan ternyata, Babe ngajak aku bersaing untuk perbaiki diri karena kita sama-sama pendosa,” kata Nedi, dan ketawanya pun meledak. Ngakak.


Aku pun tertawa lepas. Menjalani hidup apa adanya itu, memang mengasyikkan dan tanpa beban. Meski pergerakan badan dalam keterbatasan. 


Dari kejauhan, ku lihat Bagus memanggilku dengan melambaikan tangannya. Ia berdiri di samping pos penjagaan.


“Cuma itu kan yang mau kamu sampein, Nedi. Kalau sudah, aku mau ke pos. Masih ada kerjaan, ngawasin pemasangan tower air juga air mancur di tempat kita duduk sekarang ini,” kataku pada Nedi.


“Iya, sudah, Be. Terimakasih dukungannya ya, Be,” sahut Nedi, dan menyalami serta mencium tanganku.


Aku bergegas ke pos penjagaan. Berpesan kepada tamping untuk membuka pintu kamar agar Nedi masuk kembali ke dalam sel.


“Mandor sama tukang sudah dateng. Mereka siap kerja. Kan kita punya tugas ngawasin mereka,” ucap Bagus begitu aku berdiri di depannya.


“Siap. Pemasangan taman kecil air mancurnya dimulai dari depan kamarku lo, Gus. Baru nyusul yang lain,” kataku.


Setelah mandor dan pekerja masuk di ruang kompleks rumah tahanan, aku dan Bagus menemani mereka. Cekatan dan memang berpengalaman para pekerja renovasi ini.


Hanya dalam hitungan belasan menit, taman berupa air mancur kecil nan cantik telah berfungsi di depan kamarku. Airnya gemericik. Meningkahi terik mentari. Membawa kesejukan tersendiri bagi hati.


Pemasangan penambahan tower dan mesin air pun berjalan cepat. Dengan hasil yang memuaskan. 


Seorang petugas piket yang melakukan pengecekan, juga mengakui bila pekerjaan para tukang cukup cepat dengan hasil hampir sempurna.


“Sesuai maunya pak Rudy, renovasi besar-besaran ini harus selesai dalam tiga hari. Dan memang terwujud,” kata Bagus dengan senyum sumringah.


“Komandan itu orangnya cermat dan cerdik. Kalau dia ngomong, pasti sebelumnya sudah tersusun rapih polanya. Nggak asal ngomong, baru nyesuaiin sama omongannya,” sahut petugas piket.


Saat adzan Ashar menggema, pekerjaan tinggal pengetesan tower dan mesin air dalam pengisiannya. Aku pamit pada Bagus untuk kembali ke kamar dan solat berjamaah.


“Selesai solat, keluar lagi lo, Be. Nanti pak Rudy ngecek. Kalau Babe nggak ada, pasti ditanyain,” kata Bagus. 


Aku hanya menganggukkan kepala dan mengajak tamping untuk membuka pintu sel kamarku.   


Hasbi dan Atmo telah selesai mengambil air wudhu. Kawan-kawan yang lain masih ada yang tidur dan bermain catur. Melihat aku masuk kamar, semua bergegas berdiri dan bergantian ke kamar mandi. Wudhu.


Selepas mengimami solat Ashar berjamaah, buru-buru aku mandi. Karena nanti akan keluar kamar lagi untuk melakukan pengawasan hari terakhir kegiatan renovasi kompleks rumah tahanan.


“Be, saya tidak buatin kopi sore ini. Babe minum teh aja dulu. Dicampur sama tolak angin lagi. Biar fit badannya. Jadi malem nanti nggak menggigil lagi,” kata Hasbi sambil menaruhkan cangkir di depanku.


“Terserah kamu, Hasbi. Yang penting niatmu baik,” sahutku sambil tersenyum.


Baru beberapa teguk menikmati teh hangat bercampur tolak angin, pintu kamar dibuka. Seorang tamping memberitahu jika pak Rudy sudah ada di pos penjagaan. Aku pun bergerak. 


Aku lihat pak Rudy sedang berbincang dengan mandor. Didampingi petugas piket dan Bagus.


“Ayo kita cek semua dulu. Ini pak Mario sudah dateng,” ujar pak Rudy. 


Dengan penuh ketelitian dan kecermatan, pak Rudy melakukan pengecekan akhir atas kerja para tukang renovasi. Rona kepuasan terpancar di wajahnya yang selalu dihiasi dengan senyuman. 


“Nah, kalau ada suara gemericik air gini kan jadi terasa lebih fresh. Kawan-kawan yang di dalem kamar juga bisa lebih nyaman,” kata dia saat menikmati kucuran air dari kolam kecil buatan yang ada di sudut kamar.


Seusai melakukan pengecekan, pak Rudy bergegas meninggalkan kompleks rumah tahanan. Berkali-kali ia menyampaikan terimakasih dan kepuasannya kepada mandor dan para pekerja.


Aku dan Bagus masih duduk santai sambil berbincang ringan dengan petugas piket di pos penjagaan. Pada sore hari nan sejuk itu, hati merasa bahagia karena bisa melaksanakan amanah mengawasi pelaksanaan renovasi tanpa kesalahan.


Suara mengaji mulai terdengar dari masjid. Aku berpamitan untuk kembali ke kamar. Pun Bagus. Kembali ke kamarnya, kamar 3.


Di depan kamar 6, ada sebuah suara menyapaku. Ternyata Nasir. Putra sahabatku, Nasrul.


“Kamu di kamar ini, Nasir. Baik-baik ya,” kataku sambil menepuk tangannya yang ada di sela jeruji besi.


“Iya, om. Sudah dua hari ini Nasir disini,” sahutnya. Tampak ada kegamangan dari sorot matanya. 


“Yosep mana. Coba kesini sebentar,” ujarku, sambil mencari posisi Yosep di kamar 6 yang berisikan 16 tahanan itu. Dia kepala kamarnya.


“Siap, Be,” sahut Yosep dari sudut paling ujung kamar 6 dan bergerak mendekat ke jeruji besi.


“Ini si Nasir ponaanku. Jagain dia ya,” kataku kepada Yosep.


“Siap perintah, Be. Cuma kamu jangan nangis terus juga dong, Nasir. Apalagi kalau malem pas kawan-kawan lagi pada tidur,” ucap Yosep, dan memandang Nasir yang berdiri di sampingnya.


“Kamu yang tabah, Nasir. Emang nggak enak di penjara itu. Tapi seperti kata papamu, jalani aja dengan sabar. Nrimo ajalah sama kondisi ini,” kataku sambil menepuk bahu Nasir dari sela-sela jeruji besi.


“Iya, om. Maaf juga om Yosep. Kalau saya ngeganggu kawan-kawan yang lagi tidur. Saya nggak bisa nahan sedih. Dan belum bisa tidur juga selama dua hari disini,” kata Nasir dengan suara terbata.


“Lah, kenapa kamu belum tidur selama dua hari ini, Nasir. Ngapain aja?” tanyaku. Terkejut. 


“Panas bener, om. Saya kan biasa tidur pakai ac,” katanya, polos.


Aku dan Yosep sama-sama tersenyum. Kami memahami, memang tidak mudah hidup pada suatu situasi yang sangat berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Dibutuhkan penerimaan yang munculnya dari khalwat batin terdalam. 


Dan Nasir yang masih amat muda usia, tentu memerlukan waktu yang tidak pendek untuk bisa menyatu dengan kondisi yang ada.     


“Namanya di penjara ya kayak gini, Nasir. Jangan kan ac, kipas angin aja nggak boleh ada di kamar. Paksain bisa tidur. Buka kaosmu. Geletak aja di lantai. Dingin juga kok rasanya,” kata Yosep dan memeluk Nasir.     


Nasir menundukkan kepalanya. Aku lihat, sebutir air jatuh dari matanya. Ia terperangkap pada senandung kesedihan yang begitu dalam. Dan hanya ia sendiri yang mampu keluar dari kungkungan rasa itu. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini