Kata Penantian


SETIAP sore, lelaki berambut gondrong itu akan menggelar panggung puisinya sendiri. Di tepi pantai, di titik terakhir kebersamaannya dengan kekasihnya, ia akan mendeklamasikan sajak hatinya. Ia seolah bermaksud mengirimkan pesan kerinduannya kepada sang kekasih di seberang lautan. Ia tampak sangat berharap untuk bersatu kembali dengan sang pujaan suatu saat nanti. 


Kisah cintanya memang berselubung puisi. Menurut cerita, ia bertemu dan jatuh hari kepada sang kekasih di dalam sebuah komunitas penulis puisi. Ia kemudian menyatakan perasaannya yang berbalas itu dengan puisi. Ia seolah menilai cinta sebagai perkara yang agung, yang sepatutnya dibahasakan dengan puisi. Karena itu pula, setelah mereka terpisah, ia terus membingkai rindunya dengan puisi. 


Namun cintanya yang atas nama puisi, akhirnya membuat sikapnya tampak aneh. Menulis dan membacakan puisi di tepi pantai, jelas merupakan tingkah yang tidak lazim. Karena itu, orang-orang mencapnya gila. Mereka beranggapan bahwa ia telah kehilangan kewarasan setelah sang kekasih meninggalkannya ke pulau seberang, tanpa alasan yang jelas.


Aku sendiri kerap menyaksikan pentas solonya. Dan setelah berkali-kali menontonnya, aku pun memahami bahwa ia menggilai puisi karena cintanya yang mendalam kepada sang kekasih. Tetapi nahas memang, sebab berdasarkan keterangan orang-orang, jalan cintanya sudah buntu. Pasalnya, sang kekasih yang menetap di pulau seberang, telah menikah dengan lelaki lain. 


Terlebih lagi, kata orang-orang, sesungguhnya sang kekasih memang sengaja meninggalkannya. Sang kekasih mengkhawatirkan masa depan dengannya. Itu karena sang kekasih meragukan penghidupannya sebagai seorang penyair yang kere. Dan sangkaan itu tampaknya benar, sebab kabarnya, sang kekasih menikah dengan pengusaha pertambangan yang kaya raya. 


Sebagai seorang yang berkecimpung dalam dunia perpuisian, aku pun tahu bahwa ia bukanlah penyair yang ternama. Hanya beberapa kali puisinya termuat di media daring maupun media cetak yang kurang bergengsi. Karena itu, aku bisa membayangkan keadaan perekonomiannya yang memprihatinkan jika ia bergantung pada honorarium menulisnya yang tak seberapa. 


Namun atas kegilaannya pada puisi, kata orang-orang, ia memang tak berupaya untuk memapankan keuangannya dengan mencari perkerjaan yang menjamin. Kata mereka, dahulu, ia terus saja bergelut dengan puisi tanpa imbalan materi yang memadai, sembari menggantungkan kebutuhan hidupnya pada pengongkosan orang tuanya, seolah-olah ia masih sedang berjuang mencari pekerjaan atas gelar sarjananya.


Tetapi kegagalannya menjadi penyair ternama yang bisa hidup mandiri dari penghasilan berpuisi, kukira bukan karena kualitas puisinya. Kurasa, ia bukanlah penulis puisi yang buruk. Puisinya punya keunikan dari segi irama kata dan sudut pandang pengungkapannya. Namun sayang, ia memang tak punya kemampuan mempromosikan karya-karyanya, sehingga ia kalah pamor dengan penulis puisi yang ku nilai tidak lebih baik.


Sampai akhirnya, perpisahan dengan sang kekasih membuatnya benar-benar kehilangan minat untuk mendapatkan balasan apa-apa atas puisi-puisinya. Ia terus menulis puisi tanpa mengharapkan imbalan berupa materi atau sekadar pujian. Ia terus menulis tanpa tujuan selain untuk mengungkapkan perasaan rindunya kepada sang kekasih. 


Karena itu pula, puisi-puisi yang ia tuliskan dan ia bacakan pada pentas sorenya, hanya akan berakhir sebagai goresan-goresan tinta yang terbengkalai. Ketimbang menyimpannya sebagai arsip pribadi yang bisa ia terbitkan sebagai buku, ia malah mencampakkannya begitu saja di panggung pasirnya. Hingga akhirnya, lembar-lembar puisinya itu diterbangkan angin ke laut atau terombang-ambing di daratan, layaknya sampah yang tak berguna.


Prihatin atas pengabaiannya terhadap berkas karya-karyanya, akhirnya, aku mengambil inisiatif. Sejak sebulan yang lalu, aku mulai rutin mendatangi pertunjukan solonya. Aku akan menontonnya dengan antusias di tengah para wisatawan yang mencuekinya. Dan setiap kali pementasannya selesai dan ia pergi entah ke mana, aku akan lekas memunguti lembaran puisinya, hingga terkumpul banyak.


Dengan penuh perhatian, aku kemudian mengulik karya-karyanya. Aku mencermatinya dengan rasaku sebagai pencinta puisi. Dan perlahan-lahan, aku makin meyakini bahwa ia adalah seorang penulis puisi yang andal. Ia mampu merangkai kata yang membuatku menuai kesan yang tak berkesudahan. Ia lihai penciptakan paradoks yang membuat puisinya serasa selalu sesuai dengan suasana hatiku.


Namun atas kekagumanku pada karya-karyanya, aku malah makin berkecil hati atas karya-karyaku sendiri. Aku merasa bahwa kualitas puisiku jauh di bawah kualitas puisinya. Meski aku lebih banyak menerbitkan puisi di media massa ketimbang dirinya, tetapi itu bukanlah patokan bahwa aku lebih baik. Aku bahkan meyakini bahwa ia bisa menjadi penyair besar jika ia kembali mengirimkan puisi-puisinya ke media ternama.


“Puisi-puisi Abang mengagumkan,” kataku, pada satu kesempatan, empat hari yang lalu, setelah ia selesai membaca puisi-puisinya.


Ia lantas menolehiku, kemudian mendengkus sinis, tanpa membalasku dengan kata-kata.


Aku lalu duduk di sampingnya, dan kembali memancing kata-katanya, “Aku pengagum puisi-puisi Abang. Sudah lama juga aku ingin menjadi penulis puisi yang andal seperti Abang. Tetapi akhirnya, ya, aku selalu merasa gagal menulis puisi yang baik.”


Ia hanya tergelak pendek, lalu kembali bungkam.


Demi menguak kiatnya dalam menulis puisi, aku pun memikir-mikirkan pertanyaan yang tepat. Sampai akhirnya, aku bertanya saja secara lugas, “Omong-omong, apa yang harus kulakukan untuk bisa menghasilkan puisi-puisi yang mengesankan seperti puisi Abang, khususnya puisi tentang kerinduan?”


Seolah pertanyaanku lucu, ia malah tertawa lepas. Sejenak berselang, ia pun menolehiku dan membalas pertanyaanku dengan raut serius, “Caranya cuma satu: kau harus terpisah dengan kekasih yang sangat engkau cintai.”


Seketika, aku merasa terenyuh sekaligus terkagum atas kesanggupannya memanfaatkan kepedihan hatinya dalam menelurkan karya. Aku lantas kembali memikirkan pertanyaan untuk menguak rahasianya perihal kenapa ia mencampakkan puisi-puisinya dan tidak mencoba untuk mengirimkannya ke media atau membukukannya. Tetapi sayang, ia lekas berdiri dan beranjak pergi, hingga aku harus menelan kembali sekian banyak pertanyaanku.


Entah sial atau beruntung, aku tentu tak akan bisa menerapkan kiatnya dalam menulis puisi. Alih-alih ditinggal kekasih, selama ini, aku malah tak pernah memiliki kekasih. Aku tak pernah mendapatkan satu pun hati wanita di antara beberapa wanita yang kudambakan. Entah karena mereka menolak perasaanku, atau karena aku tak mengungkapkanya atas perasaan rendah diriku.


Tetapi belakangan waktu, aku kembali terpincut pada seorang wanita yang kujumpai di kanal Facebook. Setelah mengamati rupanya pada album-album fotonya, aku merasa telah menemukan satu wajah yang kuidam-idamkan. Karena itu, aku lekas menjalin pertemanan maya dengannya, meski aku tak pernah sekali pun mengiriminya pesan.


Ketertarikan hatiku kepadanya, bukan saja berdasar pada wajahnya yang manis. Lebih dari itu, aku merasa bahwa kami memiliki keserasian. Pasalnya, ia juga merupakan seorang pencinta puisi. Ia bahkan cukup aktif mengunggah puisi-puisinya pada grup penulis puisi di Facebook, yang merupakan ruang maya tempatku menemukannya.


Belum lagi, pada beberapa status Facebook-nya, aku bisa membaca kalau ia wanita yang singgel. Ia telah berpisah dengan suaminya. Ia diselingkuhi sang suami, hingga ia memilih bercerai di umur pernikahan yang masih muda. Atas kenyataan itu pula, aku terus berupaya membuat puisi yang sekiranya bisa mewakili ungkapan perasaannya, sembari berharap itu bisa menjembatani komunikasi kami.


Atas niat besarku terhadap sang janda, aku pun jadi bimbang menyikapi tumpukan puisi sang penyair di laci mejaku. Ketika aku semestinya mengarsipkannya saja, aku malah terus tergoda untuk memanfaatkannya demi membesarkan namaku sekaligus mendapatkan hati pujaan mayaku. Hingga akhirnya, seminggu yang lalu, dengan perasaan setengah tega, aku memutuskan untuk mengirimkan beberapa puisi tersebut ke sebuah media daring ternama, dengan menyertakan namaku. 


Sungguh, aku sudah lelah menjadi penulis yang biasa-biasa saja. Aku telah menghabiskan banyak waktu dan tenagaku demi menjadi penulis tersohor, tetapi aku tak juga berhasil. Karena itulah, menggunakan karyanya untuk menggapai kesuksesanku, adalah jalan yang terbaik. Apalagi, aku merasa tidak merugikan sang penyair atas tindakanku itu, sebab aku hanya memanfaatkan sesuatu yang tampak tak lagi berguna baginya.


Dan sesuai dugaanku, pagi tadi, aku pun menemukan puisi sang penyair atas namaku terpampang di laman sebuah media daring ternama. Dengan perasaan senang, aku lantas membagikan puisi tersebut ke grup Facebook penulis puisi yang menyatukan ruang mayaku dengan sang pujaanku. Detik demi detik, aku terus menunggu kalau-kalau ia menanggapi atau mengomentari unggahan puisi-puisi itu. 


Hingga akhirnya, sore ini, ketika aku hendak menyaksikan lagi pentas puisi solo sang penyair, aku mendapatkan notifikasi di akun Facebook-ku. Aku lantas menyibaknya, hingga aku menemukan komentar sang idamanku atas puisi-puisi akuanku: Terima kasih telah menuliskan puisi-puisi yang indah. Puisi-puisi itu mengingatkanku pada puisi-puisi mantan kekasihku di masa lalu. Aku sungguh sangat merindukannya. 


Seketika, aku kelimpungan untuk memberikan balasan.(*)


Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).

LihatTutupKomentar

Terkini