Tanggal Posting 2012-09-28 10:08:26
YOGYAKARTA – Diskusi pluralitas beragama bagi kalangan anak muda merupakan hal yang sangat penting untuk ditingkatkan. Apalagi jika diskusi tersebut dilakukan oleh generasi muda lintas agama dan lintas negara seperti dalam interfaith discussion yang dilakukan mahasiswa unit kegiatan kerohanian UGM dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) dengan sembilan mahasiswa dari Amerika Serikat, Kamis (27/9) sore, di Fakultas Filsafat.
Hastangka selaku penggagas acara mengatakan diskusi tersebut rutin diselenggarakan tiap tahun oleh Pancasila Study Club yang bekerja sama dengan Pusat Studi Pancasila, Fakultas Filsafat, dan SIT Study Abroad. Menurutnya, tujuan diskusi adalah untuk membangun toleransi umat beragama yang lebih baik secara global dan menjalin kerja sama melalui dialog antar mahasiswa berbagai bangsa. “Juga bertukar kebudayaan dan pandangan tentang agama yang beragam,” ujarnya.
Boydo Rajiv Hutagalung, mahasiswa Fakultas Teologi UKDW, mengaku sebagai mahasiswa dirinya merasa penting untuk ikut dalam diskusi lintas agama. Melalui diskusi akan diketahui nilai-nilai agama lain yang sangat bermanfaat untuk diterapkan dalam kehidupan. Di fakultasnya, ia bahkan lebih banyak belajar tentang semua agama yang ada di Indonesia. “Kita belajar ragam agama, tapi dengan menghormati tanpa membandingkan agama-agama tersebut,” katanya.
Helena dan Lauren, dua mahsiswa dari Amerika, mengatakan masyarakat Amerika terbagi atas berbagai lapis, mulai dari masyarakat yang tidak religius hingga yang sangat religius. Disebutkan bahwa banyak agama yang berkembang di Amerika karena negara memberikan kebebasan kepada warganya untuk menganut agama dan keyakinan masing-masing. “Negara tidak membatasi,” kata Helen.
Selama ini, diskusi dan perdebatan lintas agama kurang begitu diminati di kalangan mahasiswa. Mereka lebih tertarik untuk berdiskusi tentang tema lain, seperti imigrasi, pernikahan, aborsi, politik, dan ekonomi. Hal itu disebabkan sekolah-sekolah publik di Amerika tidak didoktrin atau diajarkan tentang pelajaran agama. “Sekolah publik di sana tidak didoktrin untuk mengenal tuhan lebih dekat, namun betul-betul murni ke akademik,” kata Selena.
Dari diskusi yang berlangsung santai tersebut, para mahasiswa dari UKM kerohanian UGM dan UKDW sepakat bahwa Pancasila sebagai jati diri bangsa hendaknya menjadi titik pijak dalam proses dialog antar umat beragama sehingga perbedaan ideologi keagamaan dapat dijembatani oleh Pancasila sebagai ideologi pemersatu. Pancasila adalah ideologi yang memberi bangunan kebersamaan untuk merajut perbedaan dan jalan pembuka kebuntuan dalam dialog. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
YOGYAKARTA – Diskusi pluralitas beragama bagi kalangan anak muda merupakan hal yang sangat penting untuk ditingkatkan. Apalagi jika diskusi tersebut dilakukan oleh generasi muda lintas agama dan lintas negara seperti dalam interfaith discussion yang dilakukan mahasiswa unit kegiatan kerohanian UGM dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) dengan sembilan mahasiswa dari Amerika Serikat, Kamis (27/9) sore, di Fakultas Filsafat.
Hastangka selaku penggagas acara mengatakan diskusi tersebut rutin diselenggarakan tiap tahun oleh Pancasila Study Club yang bekerja sama dengan Pusat Studi Pancasila, Fakultas Filsafat, dan SIT Study Abroad. Menurutnya, tujuan diskusi adalah untuk membangun toleransi umat beragama yang lebih baik secara global dan menjalin kerja sama melalui dialog antar mahasiswa berbagai bangsa. “Juga bertukar kebudayaan dan pandangan tentang agama yang beragam,” ujarnya.
Boydo Rajiv Hutagalung, mahasiswa Fakultas Teologi UKDW, mengaku sebagai mahasiswa dirinya merasa penting untuk ikut dalam diskusi lintas agama. Melalui diskusi akan diketahui nilai-nilai agama lain yang sangat bermanfaat untuk diterapkan dalam kehidupan. Di fakultasnya, ia bahkan lebih banyak belajar tentang semua agama yang ada di Indonesia. “Kita belajar ragam agama, tapi dengan menghormati tanpa membandingkan agama-agama tersebut,” katanya.
Helena dan Lauren, dua mahsiswa dari Amerika, mengatakan masyarakat Amerika terbagi atas berbagai lapis, mulai dari masyarakat yang tidak religius hingga yang sangat religius. Disebutkan bahwa banyak agama yang berkembang di Amerika karena negara memberikan kebebasan kepada warganya untuk menganut agama dan keyakinan masing-masing. “Negara tidak membatasi,” kata Helen.
Selama ini, diskusi dan perdebatan lintas agama kurang begitu diminati di kalangan mahasiswa. Mereka lebih tertarik untuk berdiskusi tentang tema lain, seperti imigrasi, pernikahan, aborsi, politik, dan ekonomi. Hal itu disebabkan sekolah-sekolah publik di Amerika tidak didoktrin atau diajarkan tentang pelajaran agama. “Sekolah publik di sana tidak didoktrin untuk mengenal tuhan lebih dekat, namun betul-betul murni ke akademik,” kata Selena.
Dari diskusi yang berlangsung santai tersebut, para mahasiswa dari UKM kerohanian UGM dan UKDW sepakat bahwa Pancasila sebagai jati diri bangsa hendaknya menjadi titik pijak dalam proses dialog antar umat beragama sehingga perbedaan ideologi keagamaan dapat dijembatani oleh Pancasila sebagai ideologi pemersatu. Pancasila adalah ideologi yang memberi bangunan kebersamaan untuk merajut perbedaan dan jalan pembuka kebuntuan dalam dialog. (Humas UGM/Gusti Grehenson)