Mengapa Kita Harus Jujur

Kejujuran atau sifat jujur adalah sesuatu yang paling berharga dan bernilai tinggi dalam kehidupan manusia. Dan oleh karena memiliki kejujuran inilah Rasulullah SAW; Muhammad bin Abdullah mendapat tempat terhormat di kalangan penduduk Makkah, sehingga akhirnya beliau diberi gelar kehormatan Al-Amin atau orang yang sangat dipercaya dan terpercaya ucapan dan tindakannya, jauh-jauh hari sebelum beliau mendapat wahyu dan dilantik sebagai utusan Allah.

Imam Al-Qusyairi dan Al-Wasithy (semoga Allah merahmati beliau berdua) menyatakan; Bahwa “kejujuran adalah pangkal Tauhid yang menjadi pokok pangkal dari takwa”  Artinya adalah; bahwa siapa saja yang telah bersyahadat, tapi tidak sepenuhnya melaksanakan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia belum dapat dikatakan memiliki keimanan yang sempurna, dan belum bisa disebut sebagai orang yang bertakwa. Sebab secara umum makna dan hakikat iman itu adalah; ucapkan dengan lidah; benarkan dengan hati; dan buktikan dengan perbuatan nyata.Sedangkan makna takwa secara umum adalah taat melaksanakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah SWT (dan Rasul-Nya).

Pendapat Al-Qusyairi dan Al-Waithy tersebut boleh jadi dapat dibenarkan, jika kita kaitkan dengan sebuah hadis Rasulullah SAW yang  diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al-Bazzar r.a yang menerangkan:

“Bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah, terangkan kepadaku, apa yang paling berat dan apa yang paling ringan dalam beragama Islam?”. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Yang paling ringan dalam beragama Islam ialah membaca syahadat atau kesaksian  bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasulullah. Sedang yang paling berat adalah hidup jujur (dapat dipercaya). Sesungguhnya, tidak ada agama bagi orang yang tidak jujur. Bahkan, tidak ada shalat dan tidak ada zakat bagi mereka yang tidak jujur."

Sementara itu Imam Al-Ghazali menyatakan; “Jujur adalah pangkal ikhlas atau tidaknya semua amal perbuatan seorang hamba. Seseorang tidak akan sampai ke tingkatan ikhlas yang sesungguhnya, jika tidak memiliki kejujuran.”

Menurut Imam Al-Ghazali, seseorang bisa saja ikhlas dalam suatu perbuatan, akan tetapi belum tentu jujur dalam hal lain.

(Contohnya adalah semisal sedekah yang di berikan oleh seorang pencuri/koruptor. Si pencuri/ si koruptor bisa saja ikhlas ketika menyedekahkan sebahagian hasil curian/korupsinya kepada orang lain, tapi belum tentu ia mau mengungkapkan secara jujur, bahwa apa yang disedekahkannya itu adalah hasil curian / koprusi yang dilakukannya)

Berkaitan dengan penjelasan diatas, menurut Syaikh Fathur-rahman menjelaskan pula; bahwa kewajiban berpuasa yang diperintahkan Allah SWT kepada orang yang beriman di setiap bulan Ramadhan, tujuan utamanya bukan hanya sekadar mendidik kita untuk bertakwa sebagaimana yang terangkum dalam firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, diwa-jibkan atas kamu berpuasa sebagaimana yang diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Akan tetapi perintah tersebut langsung atau tidak langsung tujuan akhirnya yang paling utama adalah, agar  di dalam diri setiap orang yang beriman yang melaksanakan kewajiban puasa tersebut tumbuh sifat jujur atau ada kejujuran di dalam dirinya.

Syaikh Fathur-rahman menjelaskan, bahwa tujuan akhir dari puasa sebagaimana yang dimaksudkan di atas (tumbuhnya sifat jujur atau kejujuran dalam diri orang yang berpuasa), secara umum dapat dilihat dari 2(dua) hal:

Pertama: Puasa adalah ibadah yang tersembunyi atau dalam istilah lain ada yang menyebutnya sebagai ibadah bathiniah atau ibadah sirr, dimana kondisi puasa atau tidaknya seseorang  hanya diketahui oleh orang yang berpuasa dan Allah SWT. Tidak ada seorangpun yang dapat menilai atau memprediksi: Apakah seseorang itu sedang puasa atau tidak.  Dan oleh keadaan ini pula, maka ibadah puasa pada akhirnya memiliki nilai tambah tersendiri sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis qudsi:

“Bahwa sesungguhnya  Allah SWT telah ber-firman: “Semua kelakuan anak Adam dapat dicampuri kepentingan hawa nafsunya, kecuali puasa. Maka hal itu melulu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalas-nya.” (HQR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a)

Yang kedua: Besar atau kecilnya nilai ketakwaan seseorang terletak dari besar atau kecilnya nilai-nilai kejujuran yang dia miliki. Hal ini sangat berkaitan dengan apa yang tellah difirmankan  Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakan-lah perkataan yang benar.” (Q.S.Al-Ahzab: 70)

Lebih lanjut  Syaikh  Fathur-rahman menjelaskan, pada akhirnya jika seseorang itu tidak lagi memiliki nilai-nilai kejujuran, maka di saat itulah semua amal ibadah yang dilakukannya  tidak berguna sama sekali. Dan boleh jadi keadaan inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dalam sabda beliau:

“Sesungguhnya, tidak ada agama bagi orang yang tidak jujur. Bahkan, tidak ada shalat dan tidak ada zakat bagi mereka yang tidak jujur.”

Jadi kesimpulannya, jika ingin tahu seberapa tinggi nilai ketakwaan yang kita miliki, maka sebaik-nya kita ukur seberapa besar nilai kejujuran yang ada pada diri kita.




KH. Bachtiar Ahmad
LihatTutupKomentar

Terkini