Berdasarkan pendapat mereka tersebut dengan sendirinya mereka membagi bid’ah kedalam dua kategori yakni urusan dunia dan urusan agama walaupun hadits yang berbunyi “kullu bid’atin dholalah” mereka maknai sebagai “seluruh bid’ah adalah dholalah”. Dalam hadits tersebut yang dimaksud dengan bid’ah (mereka katakan) adalah bid’ah (perkara baru) dalam urusan agama. Terlihat inkonsistensi mereka dalam memaknai bid'ah.
Hati-hatilah jangan sampai terjerumus ke dalam paham sekulerisme, paham yang memisahkan urusan dunia dan urusan agama (urusan akhirat).
Firman Allah Azza wa Jalla, alyawma akmaltu lakum diinakum, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu” (QS Al Maaidah [5]:3)
Islam itu din yang sempurna, tercakup di dalamnya semua aspek kehidupan di dunia untuk kebahagiaan di akhirat. Aspek-aspek itu antara lain kehidupan berpolitik, bermasyarakat, bernegara, bermuamalah dan sebagainya
Apakah sikap dan perbuatan yang termasuk urusan dunia boleh bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah ?
Setiap sikap dan perbuatan manusia urusan dunia maupun urusan akhirat harus tetap merujuk dengan Al Qur’an dan As Sunnah dan menetapkannya dalam hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah). Perbuatan merujuk dengan Al Qur’an dan As Sunnah termasuk dzikrullah (mengingat Allah).
Jadi urusan dunia adalah ibadah juga. Jika urusan dunia tersebut bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah maka termasuk amal keburukan (sayyiah) dan jika urusan dunia tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah maka termasuk amal kebaikan.
Urusan dunia yang tidak bertentangan dengan Al qur'an dan As Sunnah dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maka termasuk juga ke dalam bid'ah hasanah. Urusan dunia tidak boleh dilepaskan dengan urusan akhirat, bahkan urusan dunia seperti "jual beli" terkait pula dengan perkara syariat.
Perkara syariat atau disebut dalam beberapa hadits sebagai "urusan agama" atau "urusan kami" adalah, "segala perkara yang telah disyaratkan oleh Allah Azza wa Jalla yang harus dipenuhi sebagai hamba Allah yakni menjalankan segala apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya, wajib dijalankan dan wajib dijauhi, meliputi menjalankan kewajibanNya yang jika ditinggalkan berdosa, menjauhi segala yang telah dilarangNya yang jika dilanggar berdosa dan menjauhi segala yang telah diharamkanNya yang jika dilanggar berdosa".
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Sebagai hamba Allah maka seluruh sikap dan perbuatan kita adalah untuk beribadah kepada Allah ta’ala karena itulah tujuan kita diciptakanNya. Firman Allah ta’ala yang artinya, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS Adz Dzaariyaat 51 : 56) dan “Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (QS al Hijr [15] : 99)