Oleh, Dalem Tehang
SAAT kami masih berbincang ringan, Nasir berdiri di depan jeruji besi. Didampingi seorang tamping.
“Om Mario, papa pengen ketemu,” kata dia sambil memandangku.
“Oh, ada papa kamu ya. Oke, buka aja pintunya, om keluar,” kataku dan bergegas menuju pintu kamar.
Begitu sampai pos penjagaan, aku terhenyak. Tampilan Nasrul, papanya Nasir, benar-benar sangat beda dibanding masa kuliah dulu.
Kini badannya berisi, kumisnya melintang rapih, pakaiannya necis, dan bau minyak wangi dari sebuah merek terkenal, menyeruak saat kami berpelukan dari sela-sela jeruji besi.
“Kamu ini hebat, Nasrul. Sukses hidupmu. Aku seneng lihat kamu begini,” kataku sambil menepuk-nepuk bahunya. Penuh kebanggaan.
“Alhamdulillah, Mario. Cuma tetep aja, ada ujian yang aku alami,” ujarnya. Nada suaranya mendadak penuh kesedihan.
“Hei, Rul. Nggak ada alasan buat kita ngurangi rasa syukur karena adanya ujian. Sebab, hidup itu emang penuh ujian, godaan, musibah, dan sebagainya. Gitu juga ada tawa, bahagia, sukacita, dan sebagainya,” kataku menyahuti kegundahannya.
“Tapi ujian sekali ini luar biasa dampaknya buatku, Mario,” Nasrul kembali mengeluarkan keluhan.
“Sejak kapan kamu jadi orang yang ngecilin rasa syukur cuma karena lagi ada ujian,” kataku lagi. Mencoba membangunkan kembali ketegarannya.
“Iya, maaf, Mario. Aku tahu gimana kuatnya mentalmu. Tapi gara-gara Nasir kena kasus ini, jujur, aku sekeluarga jadi drop,” ujar Nasrul, berterusterang.
“Kamu kan pengacara, biasa tangani kasus dengan beragam bentuknya. Kenapa jadi nge-drop hanya gara-gara Nasir kena kasus? Disyukuri ajalah. Dibalik ujian kata kamu ini, pasti ada hikmahnya. Cuma jangan tanya aku, apa hikmahnya, karena aku juga nggak tahu. Dientengin aja. Syukuri, Nasir masuk sini ketemu aku. Ini bukan kebetulan. Tapi sudah diatur sama Yang Kuasa. Sore tadi Nasir, aku tarik ke kamarku, seperti pesen kamu. Jadi nggak usah pusing mikirin Nasir. Kamu urus aja proses hukumnya sesuai dengan keahlianmu,” ucapku panjang lebar.
Tampak Nasrul memandangiku dengan sorot mata yang sangat tajam. Perlahan, ia pegang tanganku. Digenggamnya kuat-kuat.
“Maaf ini, Mario. Sudah puluhan orang klienku yang masuk penjara kayak gini, tapi baru pas ketemu kamu, aku bener-bener dapet surprise,” kata Nasrul sambil terus memandangiku dengan tajam.
“Maksudnya dapet surprise itu apa?” tanyaku.
“Ya, baru ketemu kamu inilah ada orang yang lagi di penjara malah nguatin orang yang bebas. Biasanya, justru kami orang bebas diluaran ini yang ngebesarin hati orang yang lagi di dalem. Ini kok malah terbalik. Makanya ku bilang kalau dapet surprise dateng kesini malem ini,” urai Nasrul. Ada senyum kecil di sudut bibirnya.
“Santai aja, Rul. Aku ada disini anggep-anggep aja lagi kontrak rumah. Buat perbaiki diri. Soal masalahnya, ya biar aja bergulir sesuai alurnya. Ngapain nambah-nambah beban pikiran dan batin. Dan yang pasti, masuk penjara itu bukan berarti kiamat. Tetep ada kesempatan buat perbaiki diri dan nanti kalau sudah bebas, berbuat yang terbaik,” kataku mengurai.
“Sudah bener kamu ikut om Mario disini, Nasir. Ini kesempatan buatmu untuk banyak-banyak menimba ilmu,” ucap Nasrul sambil memandang Nasir yang berdiri di sebelahku.
Ku peluk bahu Nasir. Aku tunjukkan pada Nasrul, bila anak sulungnya dalam penjagaan dan pengawasanku selama menjalani penahanan di mapolres ini. Agar hati Nasrul kembali tenang. Dan tidak selalu memikirkan kondisi Nasir yang ada di dalam sel.
Seorang petugas piket memberi isyarat untuk kami segera mengakhiri pertemuan. Karena malam hari, hanya orang-orang tertentu yang diperkenankan bertemu dengan tahanan, dan waktunya pun memang sangat dibatasi.
“Titip Nasir ya, Mario. Anggep dia anakmu sendiri. Ajari dia yang bener. Aku percaya sama kamu,” kata Nasrul saat berpamitan. Aku menganggukkan kepala.
Mata Nasrul berkaca-kaca penuh kesedihan ketika memeluk Nasir dengan eratnya. Betapapun, seorang ayah tidak akan pernah tega melihat anaknya hidup di dalam penjara.
Nasrul meninggalkan pos penjagaan dengan berjalan gontai, sambil menundukkan wajahnya. Melihat kondisi papanya yang begitu terpuruk, Nasir pun menangis. Sesenggukan. Dan memelukku. Mencari tempat penguat batinnya.
Sambil merangkul Nasir, kami kembali ke dalam sel. Aku kuatkan hatinya. Ku bisikkan kata-kata sederhana sebagai penyemangat.
“Jangan pernah air matamu dilihat kawan sesama penghuni kamar. Hapus ya,” kataku pada Nasir, sesaat sebelum masuk kamar.
Anak muda berstatus mahasiswa itu segera menghapus air mata dengan ujung kaos yang dipakainya. Dan kembali menunjukkan wajah ceria dihiasi sebuah senyuman.
Acapkali, disadari atau tidak, kita memang terjebak dalam praktik bersandiwara pada beragam sisi kehidupan ini. Dan itulah, dinamika yang amat alamiah.
Sesampai di kamar, aku langsung merebahkan badan. Kawan-kawan masih asyik dengan kegiatannya. Bermain catur, bermain kartu, dan ada juga yang melamun. Menghabiskan waktu menunggu kantuk datang.
Sambil merebahkan badan di atas sajadah sebagai alas tidur, alam pikiran melambung. Ku pejamkan mata. Dan terasa, ruh badan ini terbang. Menembus plafon. Mengangkasa. Kian menjauh. Melayang di tengah gumpalan awan. Mencari tempat bergelantungan.
“Be, kalau sudah mau tidur, aku pijit ya,” suara Irfan mengejutkanku.
Ruh yang tengah berkeliaran di atas awan itu, sontak kembali menyatu ke ragaku.
“Iya, mulai pijit aja sekarang, Fan,” sahutku kemudian.
Sambil menikmati sentuhan pijatan tangan Irfan di telapak kaki yang meninabobokkan, ku coba untuk kembali menikmati berkeliarannya ruhku di alam bebas merdeka hingga ke gumpalan awan. Namun, tidak lagi terjadi. Makin aku coba, semakin sulit untuk bisa menikmatinya kembali.
Kelelapanku dalam tidur yang tetap tanpa mimpi, terganggu dengan suara nyaring seorang tamping. Petugas piket meminta semua kamar cas-cas-an rokok minimal tiga bungkus. Dengan harga perbungkusnya Rp 40.000.
Sesuai janjinya, Nasir mengeluarkan uang, membeli tiga bungkus rokok. Memenuhi salah satu persyaratan sebagai tanda perkenalan penghuni baru di kamar 10.
Saat tamping menyampaikan kepadaku jika petugas piket minta dibelikan sebungkus rokok, Herman berdiri dan mengeluarkan uangnya.
“Sudah, ini aja, Be,” kata Herman sambil memandangku dan menyerahkan uangnya kepada tamping.
“Terimakasih ya, Man,” kataku pendek. Herman tersenyum, dan menganggukkan kepala.
Berkali-kali ku coba untuk tidur kembali, namun tidak bisa juga. Apalagi suara tahanan dari kamar lain yang tengah bernyanyi riang dilengkapi gendangan dari galon air mineral, menyeruak dibawa angin malam. Suara gemericik air mancur kecil di sudut depan kamar, seakan justru menjadi pengayun senandung dari suara fals para tahanan.
Ku ambil buku dan pulpen dari tas kecilku. Mulailah aku menulis kisah selama menjalani proses penahanan di mapolres ini. Begitu asyiknya mengisi waktu dinihari itu dengan menulis, hingga tanpa ku sadari, suara adzan Subuh telah menggema.
Bagiku, waktu di dalam sel berjalan begitu cepatnya. Namun, bagi kebanyakan tahanan, detik demi detik bergeser begitu lambannya. Ternyata, siklus kehidupan hadir pada masing-masing orang dengan penilaiannya sendiri. Tidak akan pernah sama. Satu bukti, bila guliran waktu adalah misteri. (bersambung)