Guru berkata, “Benih mustilah ditanam tepat waktunya. Tatkala ia mulai tumbuh, akar-akarnya menjulur perlahan ke dalam tanah, merambah ke segala arah. Tanaman itu pun berkembang menjadi sebuah pohon, dan pohon itu tumbuh membesar, menghasilkan bunga dan buah-buahan.
Tatkala berbuah, buah-buahan itu terpisah dengan tanah. Meski sebuah pohon terhubung dengan tanah di bawahnya, namun buah-buah itu hanya terhubung dengan manusia dan semua makhluk yang memanfaatkannya.
“Anakku, seperti itu jualah kehidupanmu. Engkau telah tumbuh tinggi, seperti pohon, hubungan dan keterikatan dalam pikiranmu, perhatianmu, dan keinginanmu tertuju pada tanah dan dunia ini. Seperti itulah tingkatanmu sekarang.
“Meski demikian, anakku, engkau memiliki suatu keterhubungan di dalam qalb-mu, hatimu, yang berpikir dan mencari Tuhan. Ijinkan aku menjelaskan bagaimana membangun keterhubungan itu. Camkan dan ikuti dengan baik.
“Betapa pun banyaknya perhatian dan keterhubunganmu pada dunia ini, jika engkau ingin mencari Tuhan, jika engkau hendak mengarungi jalan menuju Tuhan ini, maka dirimu, seluruh doa dan sujudmu haruslah bak sebuah pohon: meski tertancap ke tanah, ia menyerahkan buah-buahnya kepada semua makhluk.
Meski engkau terhubung ke dunia ini seperti pohon, perhatianmu mustilah seperti buah-buahan itu: doa-doamu, pengabdianmu, ibadah dan sujudmu, sifat-sifat dan tidakanmu musti terhubung dengan Tuhan, dan engkau harus melakukan tugas tanpa mementingkan dirimu sendiri, yang bermanfaat bagi seluruh kehidupan. Maka engkau akan selamat dalam perjalanan menuju Tuhanmu.”
Diterjemahkan dari A Seed Must Be Planted At The Correct Time, buku The Golden Words of a Sufi Sheikh, oleh Bawa Muhaiyaddeen.