Al-Ghazali Dari Ber-Karya Hingga Meng-Kritik (Part 2)

Abu Hamid al-Ghazali (Imam Al-Ghazali)
Nama Imam Al-Ghazali (Abu Hamid al-Ghazali) sangat populer di lingkungan umat Islam. Rasanya amat jarang pelajar Islam yang tidak mengenal tokoh ini. Bahkan, ia menempati kedudukan istimewa di hadapan umat Islam. 

Sejumlah kitab karya Al-Ghazali menjadi obyek kajian di berbagai lembaga pendidikan Islam, mulai dari pesantren hingga perguruan tinggi Islam, baik di dalam maupun di luar negeri. Hampir semua pondok pesantren di Indonesia terutama di Jawa dan Madura mengajarkan kitab-kitab tasawuf karya Al-Ghazali seperti Bidayat al-Hidayah, Minhaj al-Abidin, hingga kitab Ihya‘ Ulumuddin.

Al-Ghazali kritik sampai tasawuf

Al-Ghazali melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap para filsuf. Adapun yang dimaksud dengan para filsuf disini dalam berbagai literatur disebutkan ialah selain Aristoteles dan Plato, juga Al-Farabi dan Ibnu Sina, karena kedua filsuf muslim ini di pandangan Al-Ghazali sangat bertanggung jawab dalam menerima dan menyebarluaskan pemikiran filsuf dari yunani ( Sokrates, Aristoteles, dan Plato) didunia islam. 

Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal dengan judul Tahafut Al-Falasifah. Dalam bukunya itu ia mendemonstrasikan kepalsuan dalam filsuf serta doktrin-doktrin mereka. Sebelumnya, ia mempelajari filsafat tanpa bantuan seorang guru dan menghabiskan waktu selama dua tahun.

Baca Juga : 

Setelah dihayati secara seksama, lalu ia tuangkan dalam bukunya Maqashid Al-Falasifah (tujuan pemikiran para filsuf). Dengan adanya buku tersebut ada orang yang mengatakan bahwa ia benar-benar menguasai argumen yang dipergunakan para filsuf. 

Hal itu didukung oleh pendapat Al-Ghazali yang menegaskan, bahwa menolak sebuah madzhab sebelum memahaminya dan menelaahnya dengan seksama sedalam-dalamnya yang berarti menolak dalam kebutaan. Perlu dipahami pendapat yang seperti di atas perlu lebih dicermati, dari kehadiran buku Maqasyid al-Falasifah itu dapat dikatakan bahwa Al-Ghazali menjelaskan maksud dan tujuan filsafat para filsuf, yang tentu saja menurut Al-Ghazali belum tentu cocok dengan pendapat para filsuf. 

Pendapat ini dapat dibuktikan ketika ia mengkritik, bahkan mengkafirkan para filsuf yang sebenarnya berbeda dari maksud para filsuf itu sendiri. 

Jika mencermati kegelisahan akademik Al-Ghazali dalam karya Magnum Opusnya, Tahafut Al-Falasifah, jelas sekali bahwa yang menjadi titik tumpu kritiknya terhadap para filsuf, adalah karena dia melihat perilaku para filsuf metafisika waktu itu telah menyalahi syari’ah.  

Berangkat dari hipotesis bahwa perilaku para filsuf metafisika waktu itu telah menyalahi agama, Al-Ghazali kemudian tergerak untuk mengkaji dan menganalisis filsafat yang berkembang pada masanya. 

Logika Al-Ghazali bermula dari pemilihan ilmu menjadi dua macam, pertama ilmu rasional murni yang tidak mendapat dorongan dari syari’ah, kedua ilmu naqal murni. 

Tujuan dan keterlibatan keduanya berbeda. Ilmu yang pertama bergelut dengan persoalan keduniaan, seperti politik, ekonomi, sosial dan sebagainya, dan ilmu yang kedua bergelut dengan kepentingan manusia di akhirat kelak. Seperti ilmu hadits, tafsir dan tasawuf. 

Menurut Al-Ghazali kehidupan kedua inilah yang merupakan kehidupan hakiki bagi manusia. Atas dasar itu, maka ilmu yang hakiki yang mendapat restu Tuhan menurut Al-Ghazali adalah ilmu yang berkaitan dengan kehidupan akhirat, yaitu ilmu naqal atau ilmu agama.

Dengan logika seperti ini, Al-Ghazali gelisah melihat serangan para filsuf yang menyepelekan agama. Dia pun memutuskan untuk menganalisis pelbagai aliran filsafat. 

Dalam analisanya, Al-Ghazali  memetakan pemikiran filsafat kala itu menjadi tiga aliran. Pertama, materialisme (ad-dariyyun) yang menolak keberadaan pencipta yang maha mengetahui dan maha mengatur, dan meyakini bahwa alam ada dengan sendirinya. 

Kedua, naturalisme (at-Thabi’iyyyun) yang acap kali menganalisis keagungan alam, hewan dan manusia. Namun, akhirnya berpendapat bahwa ketika jiwa itu mati, ia tidak akan kembali lagi. Terlebih juga menolak keberadaan hari akhirat beserta unsur- unsur yang ada yang di dalamnya seperti, surga, neraka, hari kebangkitan, hari kiamat, yaumul hisab dan sebagainya. 

Ketiga, metafisika (al-ilahiyyun) yang menganilisis pelbagai persoalan ketuhanan seperti Plato dan Aristoteles. Namun,  rancu dalam menganalisis pelbagai macam persoalan.

Dua aliran pertama dianggap zindiq oleh Al-Ghazali sehingga keduanya tidak perlu lagi disanggah. Yang perlu di sanggah adalah aliran ketiga, karena aliran ini berbicara tentang persoalan-persoalan ketuhanan yang bersinggungan dengan ajaran prinsip dalam syari’ah islam, lebih-lebih diikuti oleh para filsuf muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina.

Pada aliran ini, Al-Ghazali membagi menjadi tiga jenis: yang wajib dikafirkan, dibid’ahkan dan tidak wajib diingkari. 

Al-Ghazali juga mencatat empat macam ilmu yang dimiliki para filsuf kala itu: ilmu pasti (al-riyadiyat), logika (al-manthiqiyat) fisika (al-thabiiyat) dan metafisika (al-ilahiyyat) ilmu pasti yang terdiri dari matematika (al-hisabiyat) dan ilmu ukur (handasatun)  yang tidak mendapat sorotan serius Al-Ghazali. Karena, secara prinsip ilmu ini dinilai tidak bertentangan dengan agama. 

Dari keempat ilmu itu, yang terkait dengan agama, baik dari persamaan maupun pertentangan, menurut Al-Ghazali adalah tiga ilmu lainnya: logika, fisika dan metafisika. Atas dasar itu, maka ketiga ilmu filsafat inilah yang menjadi sasaran kritik Al-Ghazali.

Selanjutnya.....


Kontributor : Salman Akif Faylasuf, Kader Aktif PMII Unuja sekaligus Santri Aktif PP. Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Editor : Haris

LihatTutupKomentar

Terkini