Konsep Berpikir Qur’ani Menurut Mulla Shadra

Mulla Shadra, salah seorang filsuf muslim yang berpengaruh besar terhadap konsep berfikir Qur'ani
Paradigma filsafat sering berubah seiring dengan perkembangan zaman dan tempat. Aristoteles dan Plato telah berhasil menancapkan filsafat dalam bentuk Peripatetik. 

Kemudian perkembangan filsafat itu diakomodir oleh Ibnu Sina yang mengembangkan pemikirannya berbentuk Masyaiyah (Peripatetisme), yang mengambil alih filsafat Aristoteles. Kemudian inspirasi dari corak pemikiran Ibnu Sina memberikan pemikiran baru bagi Suhrawardi al-Maqtul, maka lahirlah Filsafat Isyraqiyah (Iluminasionisme).

Perkembangan filsafat menuai pertentangan antara Peripatetik dan Iluminasi, filsafat dan irfan, atau filsafat dan kalam, yang belum menemukan penyelesaiannya. 

Pertentangan antara para filosof dengan mistisme (penganut mistisme Islam), juga di sisi lain pertentangan mutakallimin (para teolog Islam) dengan al-fuqaha (para ahli fiqh).

Sebagai bukti kesaksian betapa dahsyat pertentangan tersebut dapat dilihat dalam dua karya Al-Ghazali, yaitu Maqashid al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah yang merupakan dekonstruksi Al-Ghazali terhadap para filosof muslim. Dan karya Ibn Rusyd Tahafut al-Tahafut sebagai jawaban atas kritik Al-Ghazali terhadap para filosof seperti Al-Farabi, Ibn Sina.

Baca Juga : 

Kemudian muncullah Shadru al-Dien Muhammad ibn Ibrahim al-Syirazi yang dikenal dengan Mulla Shadra yang sangat relatif baru dalam pergumulan filsafat muslim. 

Ia mencoba mendamaikan ruang pemikiran filsafat ke arah yang lebih komprehensif dan compatible dengan pola “Berpikir Qur’ani”, yaitu dengan menawarkan metode berpikir al-Hikmah al-Muta’aliyah yang kemudian diartikan sebagai Filsafat Transeden. 

Adapula yang memahami sebagai Filsafat Eksistensialisme, Filsafat Teosofi, atau di kalangan para pemikir muslim dikatakan sebagai Filsafat Irfani.

Sekilas tentang Mulla Shadra

Nama lengkap Mulla Shadra adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi, dan diberi gelar Shadr al-Dien. Ia lebih populer disebut dengan Mulla Shadra atau Shadr al-Muta’allihin (Syaifan Nur, 2002: 42-43). 

Mulla Shadra adalah salah seorang filosof muslim besar dimasanya. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun 979-80 H/ 1571-1572 M dari keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam.

Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, salah seorang yang berilmu dan saleh, dan dikatakan pernah menjabat sebagai Gubernur Provinsi Fars. Secara sosial-politik, ia memiliki kekuasaan yang istimewa di kota asalnya, Syiraz. (Syaifan Nur, 2002: 42-43).

Mulla Shadra mendapatkan pelajaran pertama di kota Syiraz. Selain dibimbing oleh keluarganya yang juga berasal dari keluarga terpandang dan terpelajar, ia juga mendapatkan pelajaran dari sekolah dasar di kota tersebut (Syaifan Nur, 2002: 44).

Mulla Shadra adalah murid pertama dari Syaikh Al-Baha’i dan murid dari Mir Damad, pendiri Mazhab Filsafat Islam Isfahan. Di bawah asuhan keduanya, Mulla Shadra memiliki keunggulan ilmu di bidang filsafat, tafsir, hadits, dan irfan.

Setelah merampungkan pendidikan formalnya, ia terpaksa meninggalkan Isfahan, karena kritik sengit terhadap pandangan-pandangannya dari kaum Syiah dogmatis. Dan pada periode kedua, dia menarik diri dari khalayak dan menjalani uzlah di sebuah desa kecil dekat Qum. 

Selama periode ini, pengetahuan yang pernah diperolehnya mengalami kristalisasi yang semakin utuh, dan kreativitasnya menemukan tempat penyalurannya.

Tak hanya itu, karya-karyanya hampir 50 tentang pelbagai persoalan setiap disiplin ilmu tradisional Islam. Di antara karyanya ialah al-Hikmah al-Arsyiyyah, al-Hikmah al-Muta’alliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba’ah, al-Lama’ah al-Masyriqiyyah fi al-Funun al-Mantiqiyyah, al-Mabda’ wa al-Ma’ad, al-Masya’ir, al-Mazahir al-Ilahiyyah fi al-Asrar al-Ulum al-Kamaliyyah, al-Syawahid al-Rububiyyah fi al-Manahij al-Sulukiyyah, al-Tasawwur wa al-Tasdiq, dan masih banyak lagi karya lainnya. (Mustamin Al-Mandary, 2003:11-12).

Berpikir Qur’ani menurut Mulla Shadra

Mulla Shadra mengkritisi pemikiran filsafat Islam ke dalam pendekatan sintesis akhir berbagai pemikiran filsafat. Basis utama pemikirannya yaitu bertumpu pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, filsafat Peripatetik, iluminatif, kalam sunni serta irfani (gnosis).

Mulla Shadra membuat sistesis secara menyeluruh yang kemudian ia namakan al-Hikmah al-Muta’aliyah. Mulla Shadra merasa yakin bahwa ada tiga jalan terbuka bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan; wahyu, akal dan intelektual, dan visi batin atau pencerahan (kasyf).

Ungkapan al-Hikmah al-Muta’aliyah, terdiri atas dua istilah yaitu al-Hikmah (teosofi) dan al-Muta’aliyah (tinggi atau transenden). Al-Muta’aliyah dimaksudkan sebagai sistem filsafat yang melebihi wacana sebelumnya, yaitu Peripatetik, Iluminasionisme dan Gnostis.

Apabila teologi menekankan pada teologi argumentasi naqli, apabila Peripatetik lebih menekankan pada argumentasi emontratif, dan apabila Iluminasionisme serta Gnostis lebih menekankan pada pembenaran intuisi (dzawq), maka al-Hikmah al-Muta’aliyah mengabungkan ketiga metode di atas kemudian direlevansikan dengan al-Quran, hadits Nabi dan perkataan sahabat, khususnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Secara epistemologi, al-Hikmah al-Muta’aliyah ini berarti kebijaksanaan yang didasarkan pada tiga prinsip, yaitu intuisi intektual (dzawq atau isyraq), pembuktian rasional (aql atau istidlal), dan syari’at.

Dengan demikian, al-Hikmah al-Muta’aliyah adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh melalui pencerahan ruhaniah atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan argumentasi-argumentasi rasional. 

Baca Juga : 

Al-Hikmah al-Muta’aliyah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif, tapi juga realisasi yang mengubah wujud penerima pencerahan untuk merealisasikan pengetahuan. Sehingga terjadinya transformasi wujud hanya dapat dicapai dengan mengikuti syari’at.

Adapun pengertian al-Hikmah al-Muta’aliyah menurut Mulla Shadra adalah pengetahuan yang didasarkan pada argumentasi rasional atau burhani, teologi dan filsafat, visi rohani atau dzawq, tasawuf, serta sesuai dengan syari’at.

Di samping itu, Mulla Shadra juga mempertemukannya dengan kebenaran Al-Qur’an dan Hadits. Harmonisasi yang dilakukannya menghasilkan sebuah sintesa yakni mengintegrasikan melalui tiga jalan; al-Qur’an (wahyu), burhan (demonstrasi atau inteleksi), dan irfan (spiritual atau mistis), karena memang ketiganya tidak bertentangan dengan tujuannya mencapai kebenaran.

Musalla Shadra berhasil melakukan sintesis dan penyatuan terhadap tiga arus kebenaran utama; wahyu, demonstrasi rasional dan penyucian jiwa, yang membelokkan arah filsafat menuju iluminasi.

Baginya, gnostik, filsafat dan wahyu agama merupakan elemen harmonisasi yang keharmonisannya bermuara pada pola kebaikan hidup manusia. 

Dia memformulasi sebuah perspektif dalam kerangka demonstrasi rasional filsafat sekalipun tidak terbatas pada filsafat Yunani, namun juga menjadi sangat erat kaitannya dengan al-Qur’an, hadits dan pernyataan para Imam. Semuanya menyatu dalam doktrin gnostik sebagai hasil dari iluminasi yang diterima melalui penyucian diri.


Penulis : Salman Akif Faylasuf, Kader Aktif PMII Unuja sekaligus Santri Aktif PP. Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo

Editor   : Muhlas

LihatTutupKomentar

Terkini