Keanehan Sekte Salafi Wahabi (Part 2)

Ilustrasi sekte salafi dan keanehannya, (Foto : Tim Kreatif)
Aku buru-buru kembali ke pesantren dari Wonosari setelah mendapatkan obat yang kubeli. Sampai di pesantren aku langsung mengantarkan obat ke salah satu lora. Sepeda motorku sengaja kusuruh santri yang meletakkan ke tempat semula.

“Hati-hati. Jangan sampai ada yang tergores,” kataku memperingati sambil tertawa.

Agak lama aku mengantarkan obat karena pintu lora tertutup dan tidak ada jawaban salam. Kutunggu selama lima menit kemudian mengucapkan salam lagi. Satu dua salam belum terbalas. Ketiga kalinya alhamdulillah terbalas dan langsung kuserahkan obatnya.

Biasanya aku masih diajak berunding oleh lora, tapi kali ini tidak. Alhamdulillah, kataku dalam hati. Kasian Hakki dan Basri khawatir menunggu terlalu lama untuk sekadar melanjutkan musyawarah yang sempat terpotong tadi.

Sesegera mungkin aku kembali ke kamar. Dan, ternyata Hakki dan Basri tidak ada. Kutanya santri yang lain katanya disuruh-suruh keluarga pesantren. Sambil menunggu mereka datang kumanjakan lisanku dengan mengonsumsi nasi goreng. Makanan khas memang. Tiap usai jam belajar pasti ada yang jual dan langsung diserbu oleh para santri.

Baca Juga : 

Untuk mendapatkan bungkusan nasi goreng ini para santri harus berlomba. Siapa cepat dia dapat. Masalah bayar bisa belakangan, yang penting dapat nasi goreng dulu. Seharusnya aku sudah tidak kebagian nasi goreng, tapi alhamdulillah sudah dilainkan dua bungkus untukku lengkap dengan lauk pauknya.

Nasi goreng ini harganya seribuan perbungkus. Harga santri banget. Isinya lumayan banyak. Dua bungkus saja sudah bisa bikin santri kenyang. Kulahap habis dua bungkus nasi goreng serta lauk pauknya. 

Sampai jam 23:00 WIB Hakki dan Basri belum juga terlihat batang hidungnya Mungkin masih belum selesai, pikirku. Untuk mengurangi rasa bosan, kutunggu mereka sambil menikmati buku karya Ustad Muhammad Idrus Ramli yang berjudul Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi.

Buku sudah kubaca hingga separuh. Jam pun menunjukkan pukul 23:30 WIB. Mereka belum juga datang. Terpaksa kutinggal tidur saja agar esok bisa bangun lebih awal.

* * *

Dzikir setelah adzan Subuh menggema, berlomba dengan suara ayam. Aku telat bangun. Biasanya pas adzan berkumandang aku sudah terjaga dari tidur. Tapi sekarang aku malah bangun setelah adzan, mungkin karena semalam terlalu malam.

Masih mengantuk tentu tapi mau bagaimana lagi. Harus bangun, wudlu’, membangunkan santri yang masih tidur kemudian salat. Pas ketika mau ambil sabun di lemari, kulihat Hakki dan Basri masih tertidur pulas. Entah jam berapa mereka yang ke kamar aku tidak tahu. Yang jelas, mereka ke kamar pas waktu aku tidur.

“Bangun, bangun, Lek,” kataku menarik-narik lengan mereka.

Tak berkutik sama sekali. Jangankan membuka mata atau mengucapkan sesuatu, untuk mendehem saja mereka tak lakukan. Benar-benar penat mungkin, pikirku. Kubiarkan saja mereka tertidur di kamar, sedang aku langsung ke kamar mandi.

Setelah wudlu’, mereka masih pulas dalam tidurnya. Kutarik lagi lengan mereka dengan tanganku yang basah. Suara dehem keluar dari lisan mereka, tapi matanya tetap tertutup. Kusuruh santri kamarku mengambilkan air kemudian kusiram mereka dengan air. Mereka langsung bangun dan langsung duduk sambil mengucek matanya.

Kusuruh mereka langsung ke kamar mandi biar nutut ikut salat Subuh berjamaah. Sekali duakali ucapanku mereka hiraukan. Ketiga kalinya aku tak banyak cakap, kusiram lagi mereka agar segera ke kamar mandi. Kubuntuti mereka sampai kamar mandi agar tidak pindah kamar untuk tidur. Biasanya begitu. Dari kamar yang satu pindah ke yang lain.

Bukan hanya kubuntuti tapi juga kutunggui mereka di kamar mandi agar lekas berwudlu’ kemudian ke musalla untuk salat Subuh berjamaah. Mereka kuperhatikan masih mengantuk. Langkahnya saja gontai menuju musalla saat kubuntuti. Beruntung sampai di musalla sudah waktunya iqamah. Kalau masih menunggu beberapa menit lagi, aku yakin mereka akan tertidur di musalla.

Rencana akan kulanjutkan ba’da Subuh musyawarah semalam. Tapi aku tidak terlalu yakin mereka akan nyambung dengan penjelasanku nantinya. Akhirnya kuputuskan untuk menundanya. Lagi pula jam 09:00 WIB aku harus kuliah.

Jam 08:30 WIB aku sudah berangkat dari pesantren. Perjalanan ke kampus kutempuh sekitar 20 sampai 25 menit. Artinya, aku masih punya waktu untuk sekadar menyapa sahabat-sahabat pergerakanku di kampus, baik yang senior, sesama angkatan ataupun yang junior.

* * *

Tak sengaja kulihat guru tugas asyik sekali mengisi kajian kitab setelah salat Isya’ berjamaah. Aku masih berhanduk saat melihat guru tugas. Kuliah tadi membuatku sedikit penat. Usai jam kuliah disambung dengan rapat intern pergerakan.

Baca Juga :

Entah jam berapa aku pulang dari Bondowoso. Intinya, aku sampai ke pesantren usai salat Maghrib. Salat Maghrib kutunaikan di masjid terdekat sesuai rute perjalanan dari kampus menuju pesantren.

Usai ganti baju aku langsung ke musalla menunaikan salat Isya’ sendirian. Setelah itu ke musalla mendengarkan kajian kitab dari guru tugas. Menarik sekali pembahasannya. Tapi, aku tidak akan menuliskannya di sini karena bukan itu yang kumaksut dalam tulisan ini.

“Nanti lagi, Kak Las, pas jam belajar,” kata Hakki berbisik. Hakki duduk pas di sebelah kananku, sedang Basri berada di depan.

“Teeng, teeng, teeng.” Pukul 20:00 WIB pas bel berbunyi nyaring sekali. Selama 30 menit ke depan kajian kitab akan diambil alih oleh lora. Setelah itu baru jam belajar sampai pukul 21:00 WIB. Kitab yang dikaji oleh lora adalah kitab Fathul Qarib dengan metode sorogan.

30 menit berlalu. Kajian kitab diakhiri dengan pembacaan qasidah idzaa kunta fii amrin dst… Aku, Hakki dan Basri langsung duduk bersila di serambi musalla. Belum lagi kulanjutkan musyawarah semalam, pengurus yang lain berdatangan ikut nimbrung setelah mengontrol para santri ke kelas jam belajar perdaerah.

“Lanjutkan yang kemarin malam, Kak Las,” kata Basri.

Aku pun menyuruh ia mengambilkan buku Khazanah Aswaja di kamar. Tadi aku lupa tidak langsung membawanya ke musalla. Beruntung jarak antara musalla dan kamarku cukup dekat, jadi tidak butuh waktu lama Basri mengambilkan bukuku.

“Kesimpulannya yang kemarin itu bahwa Imam Abu Hanifah, Imam Malik ibn Anas, Imam Syafi’i, Imam Hanbali, dan Imam Abu Hasan al-Asy’ari serta Imam Abu Manshur al-Maturidi adalah ulama salaf. Pengikutnya sangat pantas dikatakan salafi, seperti kita ini yang memang berpaham Ahlussunnah wal Jamaah,” kataku mulai menjelaskan.

“Di Indonesia, organisasi Islam yang berpaham aswaja itu ada dua; NU dan Muhammadiyah. Kita NU dan sangat jelas NU menganut paham aswaja yang dalam hal fiqih, NU mengikuti salah satu dari madzhab fiqih yang empat itu. Dari segi akidah, NU mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi yang memang kesemuanya diakui oleh ulama sedunia bahwa golongan aswaja adalah pengikut para imam yang aku sebut tadi itu,” lanjutku.

“Seharusnya, kita-kita inilah yang pantas menyandang gelar Salafi karena yang kita ikuti memang ulama salaf, bukan si Wakabi yang ngaku-ngaku Salafi itu,” ucapku penuh tekanan.

Sebagian pengurus tertawa mendengarku mengucapkan Wakabi. Ya, kata Wakabi itulah yang membuat sebagian dari mereka tertawa. Termasuk Basri. Malah Basri mengulang-ulang kata itu sambil tertawa.

“Kok Wakabi, Kak Las? Siapa Wakabi itu, Kak Las?” kata seorang dari mereka, bukan Basri bukan Hakki.

“Wahabi kan ya, Kak Las?” Tanya Basri memastikan dugaannya.

Hakki mengiyakan sambil ikut tertawa. Memang kebiasaannya begitu. Tertawa setelah yang lainnya berhenti tertawa. Aku sendiri pun ikut tertawa karenanya diikuti yang lain tertawa lagi. Sungguh aneh satu ini, kataku dalam hati.

“Begitu aneh Wakabi itu, Lek. Sok mengaku Salafi tapi yang diikutinya bukan termasuk ulama salaf. Tahu kalian siapa yang mereka ikuti?” Tanyaku. Mereka pun bervariasi menjawab pertanyaanku; ada yang diam membisu, menggelengkan kepala, ada yang saling tatap, dan yang terakhir ini yang aku suka, ada yang menjawab tidak tahu secara terang-terangan.

Kalau memang tidak tahu katakan saja tidak tahu, kataku. Setidaknya dijawablah kalau ada yang bertanya. Rasanya dunia ini gelap kalau ada pertanyaan tanpa jawaban. Sontak semuanya mengatakan, “Siyaaah,” kemudian tertawa terbahak-bahak.

“Kenapa kok Wakabi tidak pantas menamakan dirinya sebagai Salafi, Kak Las?” Kata seorang lainnya.

“Karena yang mereka ikuti itu, Lek, bukan ulama salaf. Ulama salaf ini adalah ulama yang hidup pada 0-300 Hijriyah. Yang mereka sanjung-sanjungkan itu adalah Ibn Taimiyah yang lahir pada 661 H dan Muhammad bin Abdul Wahhab yang lahirnya pada 1115 H. Jauh sekali ini, Lek. Pas dengan begitu percaya dirinya mereka mengatakan kalau mereka adalah golongan Salafi yang hari ini dikenal Salafi Wahabi, Lek,” sahutku diiringi tawa.

Baca Juga : Keanehan Sekte Salafi Wahabi (Part 1)

“Boo, sek dulu, Bos,” kata Basri menambah suasana tawa.

“Sangat aneh Wakabi ini, Lek. Imam rujukan mereka itu jauh dari zaman salaf, tapi anehnya, lagi-lagi aneh, mereka menamai dirinya Salafi Wahabi. Yoo angel, Bos. Hahaha.”

Tak kuat perutku menahan tawa. Malah di antara pengurus yang bermusyawarah denganku ada yang mengatakan, “Tertawalah selama tertawa masih gratis.” Sedang yang lain menambahi, “Tertawalah sebelum dibid’ahkan atau diharamkan.”

Semuanya tertawa sampai akhirnya bel berbunyi tiga kali seperti bel permulaan jam belajar akan dimulai. Kami pun membubarkan diri sesuai keinginan masing-masing. Aku, Hakki dan Basri tidak langsung ke kamar, kami langsung menuju penjual nasi goreng sekadar mengobati perut yang kroncongan. Sedang yang lain kulihat langsung menuju kamarnya masing-masing.

Berbeda dengan kami yang memilih ke penjual nasi goreng. Karena bagi kami, “Makan adalah kebutuhan. Kebutuhan bukan hanya sekadar kebutuhan kenyang, melainkan kebutuhan meningkatkan imun. Hahaha.”


Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng

Editor : Gufron

LihatTutupKomentar

Terkini