Dalam riwayat disebutkan, bahwa lantaran tekanan ekonomi yang terus menderanya, Tsa’labah; seorang sahabat yang amat miskin datang mengadukan halnya kepada Rasulullah SAW dan memohon kepada Rasulullah SAW untuk mendo’akan dirinya, agar kiranya Allah memberikan rezeki yang banyak kepadanya. Semula Rasulullah SAW menolak permintaan tersebut, dan menasehati Tsa’labah agar meniru beliau dalam menjalani kehidupan dunia yang fana ini. Akan tetapi Tsalabah menolak dan terus mendesak Rasulullah dengan argumentasi (alasan) yang nyaris sama dengan apa yang banyak diucapkan orang di masa sekarang ini.
”Ya Rasulullah, bukankah kalau Allah memberikan kekayaan kepadaku, maka aku dapat beramal lebih baik dan lebih banyak dan dapat pula memberikan batuan kepada setiap orang yang membutuhkannya.”
Rasulullah SAW hanya tersenyum mendengar ucapan Tsa’labah, sebab sebagai ”utusan Allah” beliau tentunya lebih paham apa yang akan terjadi kemudian. Namun lantaran terus didesak, Rasulullah SAW lalu mendo’akan dan memberi Tsa’labah seekor kambing sebagai modal awal untuk beternak. Beberapa waktu kemudian usaha ternak Tsa’labah berkembang pesat, dan keadaan ini membuat Tsa’labah harus menternakkan kambingnya ke daerah yang agak jauh dari Madinah.
Demikianlah, hari demi hari Tsa’labah makin disibukkan oleh kambingnya yang makin berkembang biak, sehingga akhirnya ia mulai sering meninggalkan shalat berjamaah bersama Rasulullah SAW, sebelum pada akhirnya ia benar-benar tak sempat lagi datang berjamaah.
Suatu ketika Rasulullah SAW menanyakan perihal Tsa’labah kepada para sahabat, dan oleh sahabat diinformasikan kepada Rasulullah, bahwa saking sibuknya dengan kambing peliharaannya, Tsa’labah memang tak pernah datang lagi berjamaah, ia selalu shalat di tengah-tengah kerumunan kambingnya, dan itupun ia laksanakan senantiasa dalam keadaan mengulur-ngulur waktu shalat. Dan Rasulullah hanya tersenyum mendengar keadaan Tsa’labah tersebut. Lalu turunlah wahyu tentang kewajibab membayar zakat, Rasulullah menugaskan dua orang sahabat untuk menarik zakat dari Tsa’labah.
Namun sayang, Tsa’labah menolak utusan tersebut dan menyatakan akan berpikir-pikir dulu untuk melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah melalui Rasul-Nya tersebut. Dan ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau berkata: “Celakalah Tsa’labah!” dan seiring dengan itu Allah SWT menurunkan wahyu-Nya kepada Rasulullah SAW: “Dan diantara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah; “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.” Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta. Tidaklah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui yang ghaib?” (Q.S.At-Taubah 75-78)
Tatkala berita itu sampai kepada Tsa’labah, maka dengan terburu-buru Tsa’labah pergi menemui Rasulullah SAW sambil menyerahkan “zakat” yang harus ditunaikannya. Akan tetapi Rasulullah SAW menolak sembari mengatakan: “Allah melarangku untuk menerimanya”.
Dan mendengar itu tentu saja Tsa’labah sedih dan menyesal berkepanjangan sampai pada akhirnya Rasulullah SAW wafat. Setelah Rasulullah SAW wafat, Tsa’labah terus berupaya meyerahkan zakat-nya kepada Abu Bakar; kemudian Umar r.a. Akan tetapi kedua “khalifah” tersebut, juga menolak penyerahan zakat Tsa’labah dengan kalimat yang nyaris sama: “Wahai Tsa’labah, kami tak berhak menerima apa yang telah ditolak oleh Rasulullah SAW untuk menerimanya.” Dan keadaan terus berlanjut sampai akhirnya Tsa’labah meninggal dunia di masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan r.a, dan iapun harus membawa kesedihan dan penyesalannya kehadapan Allah SWT.
KH. Bachtiar Ahmad