Urgensi Digitalisasi Khazanah Santri di Era Disrupsi

Fathor Rahman JM, Alumnus PP Al-Falah Silo, Saat ini berkhidmat sebagai Khodimul Ma'had UIN KHAS Jember
Dunia saat ini mengalami fenomena disrupsi, yaitu suatu ketercerabutan dari akar. Orang-orang tradisional-konvensional menyebutnya zaman ketergangguan, karena eksistensi mereka benar-benar terganggu bahkan terancam oleh karakter zaman ini.

Tatanan lama terguncang, tergantikan oleh struktur dan kultur baru sebagai akibat kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi. Zaman disrupsi ini meniscayakan cara manusia mengada dan berperilaku berubah dalam segala aspek kehidupan.

Dalam aspek ekonomi, misalnya, dulu eksistensi dan keunggulan individu atau kelompok ditentukan kepemilikan terhadap aset tanah dan alat produksi. Saat ini, sebagaimana juga sering didengungkan oleh Renald Kasali, keunggulan individu atau kelompok dalam kontestasi ekonomi ditentukan oleh penguasaannya terhadap data, kemampuannya mengolah data menjadi informasi, seraya mengonversi menjadi peluang, dan akhirnya menyambar peluang itu dengan baik serta cepat (Renald Kasali, 2018).

Perusahaan-perusahaan meraksasa di Indonesia, yang sering dijadikan contoh dalam hal ini adalah Gojek, Grab, Tokopedia, Bukalapak, dan perusahaan lain yang rata-rata mengandalkan data, informasi, serta kemajuan teknologi dan transportasi dalam operasinya.

Baca Juga :

Dalam aspek struktur dan kultur keagamaan juga mengalami hal serupa. Sebelumnya, otoritas keagamaan dipegang oleh kelompok-kelompok yang berada di “Menara Gading” keilmuan dan keagamaan.

Pihak gereja, pemuka agama terdidik nan “suci”, orang-orang pembelajar agama yang konsekuen dan konsisten: masyarakat santri, pembelajar agama dengan cara belajar yang sistematis, terstruktur, mendalam dan tuntas. 

Ilustrasi Santri di era disrupsi, (Foto : Tim Kreatif)
Zaman disrupsi saat ini memberikan celah bagi semua orang untuk merebut otoritas agama. Politisi, aktor kombatan (Senem Bekjan, 2016), penjual jamu dan obat, atau siapapun yang memiliki kemampuan komunikasi publik dan menguasai teknologi informasi, ia bisa merebut otoritas keagamaan dengan cara meretas sistem transmisi otoritas dan menilap validitas isi pesan-pesan keagamaan, demi kepentingan kekuasaan dan kekayaan (Martin Moore, 2018).

Sudah sangat nyata, kerap terjadi kegaduhan di jagat netizen yang merembes ke realitas dunia nyata lantaran ruang siber kita dipenuhi oleh fatwa-fatwa agama dan orang-orang yang tidak memiliki kompetensi dan otoritas agama.

Sementara itu, perilaku masyarakat pada umumnya dalam menyelesaikan persoalan ajaran keagamaan juga berubah. Jika sebelumnya untuk berkonsultasi mereka datang kepada pemuka agama yang jelas terpelajar dan kompeten, saat ini mereka lebih memilih cara instan, yaitu langsung bertanya kepada “Syaikh Google” dan “Ustadz Hashtag” (Gary R. Bunt, 2018).

Sialnya, kedua “guru” ini hanya akan mengantarkan mereka kepada konten-konten yang disediakan oleh algoritma online yang saat ini validitasnya banyak dipertanyakan karena semua orang bisa menyediakan konten-konten itu dengan tanpa kompetensi dan motivasi baik.

Google dan mesin pencari data lain di internet belum memiliki sistem yang dapat menyaring informasi valid secara mekanik dan otonom. Ini tidak mengherankan karena ia hanya mesin pencari, bukan penyedia atau penjamin validitas data-data dan informasi yang ada di internet. 

Sementara itu, Islam dan tradisi intelektualnya (di Indonesia tradisi intelekual pesantren) memiliki sistem transmisi informasi yang cukup mapan untuk menjamin validitas sebuah informasi. Yaitu, tradisi sanad (Zainul Milal Bizawie, 2016: 299), ijazah, dan syahadah (Husein Muhammad, 1999: 270-271).

Hanya murid yang dianggap memiliki kematangan intelektual dan nilai mampu menyerap informasi ilmu dari guru secara lengkap dan sempurna yang akan mendapatkan ijazah wa al-syahadah. 

Di sisi lain, santri tidak bisa lepas dari entitas-entitas yang mengkarakterisasi zaman disrupsi. Di situlah titik urgensi mengapa digitalisasi, transmisi, dan distribusi khazanah Islam santri di medan online sangat penting dan mendesak dilakukan dalam kerangka merebut kembali otoritas keislaman yang diretas dan dirampas oleh pihak-pihak yang memiliki motivasi di luar agama. 

Baca Juga :

Oleh karena itu, satu sisi santri harus mempertahankan paradigma dan kultur intelektualisme yang dimiliki selama ini (al-muhafadzah ala qadim al-shalih). Di sisi lain, santri harus mampu merespons tantangan zaman dengan cara-cara yang baru (wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah), yakni santri harus berani melakukan, meminjam ungkapan Renald Kasali, self disruption! Be disruptive, or you will be disrupted (Renald Kasali, 2018). 

Untuk itu, santri perlu penguatan kepekaan terhadap kondisi realitas disrupsi saat ini; kapasitas keilmuan, nilai, paradigma kepesantrenan, dan perluasan jaringan; kapasitas instrumental untuk mengemas dan mendigitalisasi konten-konten keislaman pesantren sehingga kemasan dan cara penyajian yang cocok dan mudah disebar dengan platform-platform di lingkungan ruang siber, FB, IG, Twitter, Youtube, WA, dan sebagainya.


Penulis : Fathor Rahman JM, Alumnus PP Al-Falah Silo, Saat ini berkhidmat sebagai Khodimul Ma'had UIN KHAS Jember

Editor : Muhlas

LihatTutupKomentar

Terkini