Balada Seorang Narapidana (Bagian 108)


Oleh, Dalem Tehang


SELEPAS solat Dhuhur berjamaah, kami merebahkan badan di tempat masing-masing. Suasana alam nan panas terik tanpa ditingkahi sepoi angin, membuat ruangan sel menjadi amat gerah dan pengap. 


Hampir semua penghuni kamar 10 membuka kaosnya. Bertelanjang dada. Mencoba memperoleh suasana dingin yang masih tersisa dari lantai keramik murahan itu. 


Di tengah upaya untuk bisa tidur siang pada suasana panas terik, terdengar lamat-lamat Atmo sedang berbincang dengan Hasbi. Meski masing-masing tetap sambil merebahkan badan.


“Kasihan emang sama Andri itu. Dia yang mergokin dan akhirnya ngegebuk laki-laki yang selingkuh sama istrinya, malah dia masuk sini. Laki-laki yang mainin istrinya, justru nggak diproses walau sudah dilaporin juga,” terdengar suara Atmo, lirih.


“Karena laki-laki yang memacari istri Andri itu katanya anak pejabat, Atmo. Jadi kebal hukum. Tidak berani polisi meneruskan prosesnya,” ujar Hasbi, menimpali.


“Susah emang ya kalau bukan keluarga pejabat itu, Hasbi,” tanggap Atmo. Ada nada getir penuh pesimisme pada suaranya.


“Andri juga salah sebenarnya. Main pukul saja. Akhirnya, dia kena kasus penganiayaan,” kata Hasbi lagi.


“Andri mukul itu kan karena mergokin istrinya jalan sama laki-laki itu, Hasbi. Dan dia mendadak pulang dari tempat kerjanya, karena selama ini sudah dapat informasi kalau istrinya memang ada main sama laki-laki itu,” urai Atmo. Memahami alur masalahnya.


“Iya betul, tapi Andri tidak punya bukti kalau istrinya ada main sama laki-laki itu, Atmo. Bahwa saat ditunggu di depan rumah, istrinya turun dari mobil laki-laki tersebut, ya benar. Tapi mereka memang satu kantor. Bisa saja kebetulan pulang bareng,” jelas Hasbi.


“Bukan dulu, yang kalian obrolin ini kasusnya siapa?” tiba-tiba Tomy menyela. Dan duduk dari rebahannya.


“Itu lo, si Andri yang di kamar 8. Dia kan mergokin istrinya jalan sama laki-laki. Terus dia gebukin laki-laki itu. Eh, dia masuk penjara. Dilaporin penganiayaan. Andri juga ngelapor, kasus perselingkuhan dan dugaan perzinahan, tapi nggak diproses sampai sekarang. Malah dia begitu dipanggil, diperiksa, langsung ditetepin jadi tersangka, dan ditahan,” ujar Atmo panjang lebar.


“O, anak muda ganteng yang rambutnya gondrong itu ya,” lanjut Tomy. Atmo dan Hasbi menganggukkan kepalanya.


“Aku tahu itu. Istrinya emang cantik. Rambutnya panjang dan diwarnain. Pirang gitu. Ngelihat tampilannya emang rada-rada gitu-lah,” Dian ikut menimbrung pembicaraan.


“Kapan pakde ngelihatnya?” tanya Atmo. Penasaran.


“Kemarin. Pas besukan. Kebetulan aku sama Andri berdiri sampingan di jeruji besi. Jadi aku tahu istrinya,” jelas Dian.


“Maksudnya rada-rada itu apa, pakde?” Hasbi menyela.


“Kira-kira ya agak nakal gitu-lah. Aku ngelihat dari gesturnya aja sih. Kasihan juga sama si Andri kalau ceritanya bener kayak kata kamu tadi Atmo,” lanjut Dian.


“Yang saya ceritain sesuai omongan Andri pas ngangin kemarin. Nggak nambah atau ngurangin, pakde. Kami sempet ngobrol panjang lebar. Dia stres berat sekarang ini. Dia berusaha merjuangin rumah tangganya tetep utuh, malah masuk penjara,” kata Atmo.


“Sudah dulu nge-ghibah itu. Kita ini lagi puasa,” tiba-tiba Nedi menyela. Menyadarkan kawan-kawan yang tengah mengkancah cerita kehidupan sesama tahanan. 


“Bener itu. Nggak usah dilanjut nge-ghibah-nya. Mumpung kita lagi puasa, ayo belajar buat nundukin hati dari prasangka sama orang lain. Banyakin aja muhasabah. Ngelihat jauh ke dalam, kekurangan diri sendiri. Jadi kita nggak ada waktu buat ngorek-ngorek kesalahan orang lain,” kata Hendri, yang juga bangun dari tempat rebahannya.


“Kami tidak bermaksud nge-ghibah, om. Atmo cerita dan saya menanggapi saja. Memang tidak mudah untuk bisa menyelaraskan pola pikir dan perbuatan dengan ajaran kebaikan,” ujar Hasbi.


“Ya emang nggak mudah buat ngebiasain muhasabah diri itu, Hasbi. Tapi kita harus yakini, nggak apa-apa kita kesulitan, asal ini emang nuju jalan yang bener. Ketimbang yang enak-enak, tapi ada di jalan yang salah. Dan nurut aku, kita semua jadi keren kalau perbanyak muhasabah,” lanjut Hendri.


“Kalau kata anakku, keren itu saat kita bisa nikmati hidup apa adanya, tanpa drama, dan tanpa rekayasa,” Dian menyela, dan tertawa.


Semua penghuni kamar menganggukkan kepalanya mendengar perkataan Dian. Yang sederhana, namun apa adanya. Mengena. 


Aku menyukai perbincangan kawan-kawan bila sudah memasuki fase pencerahan. Karena pasti akan lahir pernyataan-pernyataan yang sarat makna. Yang menggambarkan secara nyata, meski terlilit kasus kriminal, mereka adalah orang-orang yang berisi otaknya.


“Kok kamu diem aja dari tadi, Pen? Padahal kamu ngedengerin yang kami obrolin. Komen dong,” kata Nedi kepada Pepen yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan, namun hanya diam.


“Kata orang bijak, terkadang lebih baik diem daripada jelasin apa yang kita rasain. Karena lebih nyakitin saat orang lain bisa denger, tapi nggak bisa ngerti,” sahut Pepen dan tersenyum.


“Ini obrolan kok jadi kesana-sini, nggak nyambung gitu ya,” ucap Irfan, menyela.


“Namanya juga obrolan orang puasa, Fan. Jadi ngalor-ngidul nggak jelas juntrungannya. Asal ngejeplak aja, biar nggak kerasa amat lapernya,” kata Nedi dan tertawa ngakak.


Semua penghuni kamar 10 pun spontan tertawa. Karena memahami, hanya dengan tertawa itulah hal yang paling tepat untuk menyahuti sebuah suasana agar tetap terjaga kestabilan jiwa. 


“Karena kita lagi puasa, baiknya ngobrol yang baik-baik aja. Yang nambah mantep batin kita. Hindari ngomongin orang lain,” ujar Hendri lagi.


“Cocok aku sama omonganmu itu, Hen. Nurutku, hidup emang bukan soal ngelihat terus ngenilai, tapi juga ngedenger, ngertiin, mahamin dan ngerasain,” timpal Dian.  


“Bagus itu, Dian. Aku punya pendapat, nggak semua luka atau kegagalan bakal ngebunuh kita. Karena semua itu cuma proses buat hadirnya kehidupan yang lebih baik. Nah, semua terserah sama kita. Mau bersabar atau jatuh kalah sama takdir,” sambung Herman.


“Kalau prinsip kamu kayak mana, Fan?” tanya Nedi pada Irfan.      


“Aku yang ditanya ya. Sederhana aja kok. Dalam hidup ini nggak perlu iri hati sama siapapun. Nggak perlu bersaing dalam hal apapun sama siapapun. Cukup fokus aja sama hal terbaik yang kita ingini. Dengan gitu, hidup kita tetep asyik dan damai-damai aja,” urai Irfan, beberapa saat kemudian.


“Saya sepakat sama prinsip Irfan. Kalau saya dipesenin sama embok: tutuplah jendela yang membuatmu tersakiti, betapapun indah pemandangannya. Sebab, menjaga hati untuk tetap bahagia mesti diutamakan, dibanding sekadar memanjakan mata,” Atmo menyela.


“Kalau kamu gimana, Hasbi? Dari tadi cuma mandangin muka di kaca cermin aja,” ujar Nedi sambil menatap Hasbi yang tengah memegang kaca untuk bercermin.


“Ya ini. Saya kan dari tadi memegang cermin dan mengaca. Inilah filosofi saya, om. Cermin adalah teman terbaik kita, karena dia tidak pernah tertawa saat kita menangis,” ucap Hasbi, dan melepaskan senyumannya.


“Sekarang Babe, gimana Be?” tanya Nedi. 


“Hiduplah seperti kotoran ayam. Walau di bawah, tapi nggak ada yang berani menginjak,” sahutku, sambil tertawa.


Kembali semua penghuni kamar 10 tertawa. Penuh keceriaan. Mengisi waktu di penjara memang harus pandai-pandai. Jika tidak ingin terus-menerus merasa tertekan, terpuruk, dan terbuang. Sebuah derita psikis yang akan banyak menjadi penyebab munculnya penyakit lahiriyah. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini