Balada Seorang Narapidana (Bagian 111)


Oleh, Dalem Tehang

      

SEUSAI solat Subuh berjamaah dan membaca yasin, ku minta semua penghuni kamar tetap duduk di tempatnya. Pepen yang masih tidur, ku minta untuk dibangunkan.


Aku sampaikan penyidik telah memberitahu bila dalam dua hari ke depan, aku akan menjalani proses pelimpahan perkara. 


“Kok bisa Babe duluan ya yang pelimpahan. Aku sama Irfan aja belum,” sela Tomy. Aku hanya angkat bahu.


Ku pesankan penghuni kamar 10 untuk tetap menjaga kegiatan ibadah yang selama ini telah berjalan dengan baik. Menjaga kekompakan, dan tetap optimis akan hadirnya hari depan penuh kebebasan untuk berbuat yang terbaik bagi keluarga. 


Saat ku sampaikan beberapa hal tersebut, semua penghuni kamar 10 tampak hanya menunduk. Ada keharuan dan beragam pernik rasa bakal kehilangan.


“Jangan pada melo-lah. Nanti kita juga bakal ketemu lagi di rutan. Jadi santai aja,” kataku, memahami perasaan kawan-kawan.


Ketika tamping membuka pintu kamar untuk penghuni sel berolahraga, aku tutup pertemuan. Semua kembali ke tempatnya. Merapihkan tempat tidur dan kemudian keluar kamar. Berolahraga di selasar.


Setelah berolahraga beberapa waktu dan keringat mulai membasahi badan, aku duduk di samping air mancur kecil nan cantik yang ada di sudut depan kamar. 


Ku nikmati putaran airnya. Begitu teratur. Meski tetap saja ada yang memercik keluar dari tempatnya. Seakan menyadarkanku, begitulah putaran kehidupan. Seteratur apapun perjalanannya, tetap saja ada hal-hal yang diluar keteraturan. Keluar dari tempat yang semestinya.


Hasbi mendekatiku ditemani Nasir sambil membawa secangkir kopi pahit dan rokokku. Ku sambut mereka dengan senyuman. Dengan tetap menikmati suara percikan air mancur yang terus bertalu. Ringan penuh keindahan.


“Kalau Babe sudah pelimpahan, siapa nanti kepala kamarnya?” tanya Hasbi, yang mengambil tempat duduk bersama Nasir di depanku.


“Ya, gimana maunya kawan-kawan aja, Hasbi. Aku ikut aja,” ucapku, enteng.


“Nasir juga kayak mana kalau om sudah pelimpahan,” kata Nasir. Ada nada kekhawatiran dari perkataannya.


“Kalian nggak usah resah ya. Ini semua memang sudah sesuai alurnya. Nanti pasti aku titipin kalian. Tenang aja,” kataku, menenangkan Hasbi dan Nasir.


Saat kami masih berbincang, Bagus kepala blok yang baru selesai berolahraga, mendekat dan langsung duduk berbaur.


“Gus, rencananya dua hari lagi aku pelimpahan. Titip Hasbi dan Nasir ya. Kasih tahu petugas piket juga, selain para kepala kamar,” ujarku kemudian.


“Oh gitu. Kok cepet proses pelimpahannya, Be. Bukannya aku duluan yang masuk sini?” kata Bagus, penuh tandatanya.


Aku hanya mengangkat bahu. Tidak tahu apapun terkait dengan agenda pelimpahan. Meski sebenarnya, aku sudah cukup lama menjalani penahanan di mapolres ini. Sudah 53 hari sampai dengan saat ini.  


“Babe nggak tanya kenapa pelimpahannya bisa cepet gini,” kata Bagus. 


Aku menggelengkan kepala sambil mengangkat bahu. Menunjukkan aku tidak bertanya dan memang bukan kewenanganku untuk mengatur waktu pelimpahan perkara.


Ketika waktu apel pagi menjelang, semua tahanan kembali masuk kamar. Pelaksanaan apel pagi kali ini disertai dengan pemeriksaan masing-masing kamar. Bagus sebagai kepala blok tahanan, ikut mendampingi. Semua barang yang dilarang ada di kamar, disita.


Mulai dari gunting kuku, kaca cermin, kain sarung yang tidak ditaruh di laci pos penjagaan, sampai kepada sikat gigi yang tidak dipotong pun, diamankan. Termasuk piring, cangkir dan gelas yang terbuat dari kaca. Juga sendok dan garpu yang terbuat dari besi.


Praktis, semua barang yang bisa dijadikan alat untuk melakukan perbuatan yang tidak baik, langsung disita oleh petugas jaga. 


Selepas mandi pagi, Rayhan datang mengantar sarapan yang dikirim istriku, Laksmi. Kami penghuni kamar 10 pun makan pagi bersama seperti biasa. 


Sambil makan, aku ingatkan kawan-kawan agar ke depannya tetap bisa mengatasi semua masalah di kamar secara bersama-sama. Mengatur ritme makan agar tetap terjaga kondisi badan, hingga air bak mandi yang harus terus dijaga kebersihannya dari beragam bakteri.


“Aku juga pesen, jangan kerdilkan diri kita dengan takabur, jangan sempitkan dada dengan dengki, jangan keruhkan pikiran dengan amarah. Dan yakin seyakin-yakinnya, apapun yang kita alami adalah kehendak-Nya. Jadi kembalilah kita pada Yang Maha Kuasa dan jangan pernah menjauh lagi dari-Nya dalam kondisi apapun,” kataku panjang lebar.


Seusai sarapan, masing-masing kembali pada kegiatannya. Mencari penghiburan. Tomy dan Irfan bermain catur. Hendri, Herman, Dian, dan Pepen bermain kartu.


Atmo dan Hasbi asyik membaca buku soal agama, sementara Nasir sedang membolak-balik buku primbon yang diambilnya dari tumpukan buku di sudut kamar. 


Hanya Nedi yang tampak melamun. Merebahkan diri di bidang tempatnya, sambil matanya menatap plafon kamar. 


“Nedi, ngapain kamu ngelamun. Coba sini dulu,” kataku memanggil Nedi. 


Posisi Nedi berada di paling ujung kamar, dekat tembok pembatas dengan selasar yang berjeruji besi. Sedang aku paling ujung bagian dalam, dekat kamar mandi.


Dengan gerak cepat, pecatan militer itu bangun, dan sesaat kemudian telah duduk di depanku yang tengah bersandar di tembok pembatas kamar mandi.


“Jujur, Be. Aku sedih bener begitu denger Babe mau pelimpahan. Bukan cuma bisa gagal rencanaku buat nungguin istri yang mau lahiran, tapi juga gimana kami ngejaga ketenangan dan keamanan kamar setelah Babe pergi,” urai Nedi setelah beberapa saat menenangkan dirinya.


“Santai aja, Nedi. Aku inget pesen seorang guru; saat hidupmu terasa seperti di ujung tanduk, yakinlah pada Allah dengan sepenuhnya. Karena hanya dua hal yang akan terjadi padamu, yaitu Allah akan mengurus urusanmu semuanya atau kamu akan belajar bagaimana mengambil hikmahnya. Jadi serahin aja pada Sang Maha Pengatur. Nanti pasti ada yang digerakin-Nya buat bantu atasi masalahmu,” sahutku. 


Nedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampak ia mulai menemukan keasyikan sendiri ketika rona kehidupan disentuhkan pada wewangi akan kuasa Yang Maha Esa. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini