Oleh, Dalem Tehang
“AKU sudah solat taubat dan janji nggak bakal jadi perampok lagi. Aku juga solat lima waktu nggak pernah lewat. Juga belajar ngaji. Tapi ngerasa masih jauh dari Allah,” ujar Nedi, kemudian.
“Aku seneng ngelihat perubahanmu. Kamu sudah kembali sama hakekat kehadiran kita di bumi ini. Tapi nggak bisa juga kamu minta semua apa yang kamu harepin segera terwujud,” sahutku.
“Kenapa gitu, Be?” tanya Nedi dengan wajah serius.
“Coba kita masing-masing inget, berapa puluh tahun laku kita yang nggak sesuai sama ketentuan-Nya. Dan baru berapa hari kita coba ikuti aturan hidup dari-Nya. Malulah kita kalau ngarep kelewatan itu, Nedi. Tahu diri aja kita ini. Jadi, perbaiki dulu lahir batin kita, perbanyak istighfar, istiqomah sama aturan-Nya dan nggak usah ngitung-ngitung kebaikan yang kita lakuin. Pokoknya berbuat baik dan bener aja, sudah,” jelasku.
“Bener juga ya, Be. Puluhan tahun aku nggak pernah solat. Kerjaan ngerampok orang. Baru sadar belum lagi seminggu ini, sudah ngarep banyak sama Tuhan. Aku seneng sama Babe ini ngomong apa adanya. Itu yang pas buatku. Tapi Babe tetep bisa bantu aku ke pak Rudy kan,” kata Nedi lagi.
“Iya, nanti aku usahain ketemu pak Rudy. Dan ku titipin kamu termasuk sampein rencanamu itu. Inshaallah semua berjalan baik sepanjang niatmu baik,” ucapku lagi.
“Kalau niatku jelas baik-lah, Be. Nemenin istri ngelahirin. Mana berani aku disini mau macem-macem,” sahut Nedi dengan cepat.
“Ya sudah, makanya santai aja. Nggak usah melo gitu. Kayak bukan ipis aja kamu ini,” kataku lanjut, sambil tersenyum. Spontan, Nedi tertawa ngakak.
Obrolan kami terputus saat seorang tamping membuka pintu kamar dengan cepat. Ia memberitahu Tomy dan Irfan dipanggil ke pos penjagaan.
Seketika Tomy dan Irfan menutup papan catur yang tengah menjadi hiburan mereka. Dan setelah meminta izin kepadaku, keduanya keluar kamar.
“Kayaknya mereka berdua mau pelimpahan hari ini,” kata Dian dengan tiba-tiba, sambil matanya menatap ke atas.
“Gitu ya hasil terawanganmu, Dian,” kata Herman, menyela.
“Iya, gambarannya gitu. Kalau Babe nanti keluar kamar juga nggak sendiri. Ada yang nemenin dari kamar kita. Duluan orang itu beberapa jam, baru Babe nyusul. Tapi belum jelas siapa orangnya,” lanjut Dian sambil terus menatap plafon kamar.
“Saya kali yang temani Babe pelimpahan ya, pakde,” kata Atmo. Dian menggelengkan kepalanya.
Baru saja Hasbi akan bertanya, Dian mendadak menundukkan wajahnya ke lantai. Menatapnya lekat-lekat. Dan kemudian mengusap wajah dengan kedua tangannya.
“Aku tadi ngomong opo yo,” ujar dia, beberapa saat kemudian. Seakan baru sadar dari kelinglungannya.
Atmo menjelaskan apa yang Dian sampaikan, termasuk penolakannya saat ia mengajukan diri sebagai orang yang akan menemaniku waktu pelimpahan nanti.
Setelah mendengar penjelasan Atmo, Dian tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Diem-diem rupanya kamu ini bisa nerawang, Dian. Coba ramal aku dulu. Bakal kena vonis berapa tahun,” kata Nedi.
“Sebenernya aku juga nggak ngerti. Tapi sering tiba-tiba aku dikasih tahu sesuatu. Nggak tahu sama siapa,” aku Dian, terus terang.
“Coba kamu asah terus, Dian. Berarti kamu punya kelebihan, cuma selama ini kamu nggak ngasahnya,” ujar Hendri dengan wajah serius.
“Lha piye carane ngasahnya itu? Aku nggak ngerti,” sahut Dian, polos.
“Pahami aja saat kamu lagi ngerasa apa, kekuatan nerawang itu muncul. Terus biasain lakuinnya. Dirutinin aja. Aku yakin kamu bisa jadi dukun besar nanti,” lanjut Hendri tetap dengan wajah dan suara yang serius.
“Kalau Dian mah dari gayanya bakalan jadi dukun cabul,” ucap Nedi menyela sambil tertawa.
“Asu kowe iki, Nedi. Ngomong sak penak udele,” balas Dian, juga sambil tertawa.
Mendadak, pintu kamar kembali dibuka oleh tamping. Tampak wajah Tomy dan Irfan sangat tegang, begitu masuk kamar. Kami langsung bisa menduga. Mereka akan segera pelimpahan.
“Kowe pelimpahan yo,” sapa Dian kepada Tomy dan Irfan.
Keduanya menganggukkan kepala dan langsung duduk di depanku. Kelihatan betul ada kegamangan pada kedua pria muda yang terlilit kasus pembobolan dan pencurian di konter hp itu.
“Nggak ada yang perlu dikhawatirin. Ikuti aja semua prosesnya dengan tenang dan sabar,” kataku sambil memandang wajah Tomy dan Irfan yang tampak penuh kegalauan.
“Kami nggak khawatir sih, Be. Cuma emang gamang. Gimana nanti kami di rutan sana,” ujar Tomy. Suara pria yang selama ini selalu ceria itu, bergetar.
“Jalani aja dengan tenang dan sabar ya, Tom. Inget, sebenernya nggak ada manusia yang baik-baik aja di dunia ini. Semua lagi berjuang sama ujiannya masing-masing,” kataku, menenangkan.
“Aku takut nggak bisa nahan emosi kalau nanti di rutan dipancing-pancing dengan kelakuan nggak bagus, Be,” kata Irfan sambil menatapku tajam.
“Slow ajalah. Kita juga nggak pernah mimpi bakal masuk sini. Awalnya kan rasanya nggak karuan. Ada takut, malu, dan sebagainya. Tapi nyatanya, semua bisa diatasi dengan baik. Nggak usah ngebayangin hal-hal jelek yang belum tentu kejadian,” uraiku dan menepuk bahu Irfan.
“Kawan-kawan dari kamar 10 yang sudah disana kan banyak. Temui saja mereka. Pasti mau untuk tetep saling menjaga,” kata Hasbi, menyela.
“Kalau kata kakekku dulu. Buat ngadepin situasi yang kita belum tahu gimana kondisinya, belajarlah dari tanah. Dia selalu diem walau diinjak-injak. Tapi tanah juga mampu ngubur orang yang dulu sering nginjak-injaknya,” Hendri membuka suara. Juga mencoba menenangkan Tomy dan Irfan.
“Nah, itu dia, om. Kalau diinjak, aku pasti ngelawan,” ujar Irfan dengan suara serius.
“Yang aku omongin itu tadi kan filosofi lo, Fan. Ngajarin kita buat tetep bisa masuk kemana pun dengan tenang. Diem itu bukan berarti kalah atau nyerah. Diem itu justru nyimpen kekuatan buat ngebalikin situasi. Jadi, jangan emosian. Sabar aja jalani apapun itu,” jelas Hendri dengan suara tenang.
“Dadi ngene lo Tomy dan Irfan. Sing paling susah neng urip iki nerimo kenyataan pahit. Dadi yo percuma juga disesali. Percoyo wae-lah, nek kita punya keyakinan, kabeh iki iso ngubah impian dadi kenyataan. Tetepo berdoa dan tawakkal,” Dian menimpali.
“Gimana nanti kalau begitu masuk rutan kena bully,” ucap Irfan lagi.
“Om, saya pernah baca buku, seorang ulama pernah bilang begini; siapapun yang memuliakanmu, muliakanlah dia. Dan siapapun yang merendahkan atau menghinamu, muliakanlah dirimu dengan menjauhinya. Jadi kalau ada yang nge-bully atau berbuat macem-macem, lebih baik menjauh saja,” kata Hasbi.
Irfan dan Tomy tampak memperhatikan apa yang disampaikan Hasbi. Walau Hasbi menyadari, belum tentu apa yang dikatakannya bisa dicerna dengan jernih oleh keduanya.
Karena, jika hikmah diberikan kepada yang tidak layak menerimanya, akan membuat hikmah menjadi salah makna. Atau juga, jika hikmah ditahan dari orang yang berhak menerimanya, maka kita akan membuat mereka menjadi salah arah. (bersambung)