Balada Seorang Narapidana (Bagian 113)


Oleh, Dalem Tehang


AKU minta Atmo segera memesan dua nasi bungkus dengan lauk telor bulet, juga memberi uang pegangan untuk Tomy dan Irfan, masing-masing sebesar Rp 100.000.


“Terimakasih banyak perhatiannya, Be. Nggak kebayang kayak mana kami ngemulai hidup di rutan setelah pelimpahan kalau nggak dipegangin dana. Kami bener-bener nggak punya uang sama sekali,” tutur Tomy dengan suara bergetar, menahan haru.


“Santai aja, Tom. Itu kan emang uang kalian. Aku cuma ngaturnya dan Atmo sebagai bendahara bertugas keluarinnya. Yakin aja, tetep ada jalan keluar dari masalah serumit apapun, sepanjang kita tenang dan percaya Tuhan nggak bakal biarin kita kesusahan terus-terusan,” sahutku sambil tersenyum. Mencoba meringankan beban batin Tomy dan Irfan.


Selepas solat Dhuhur dan makan siang, Tomy dan Irfan mendapat panggilan dari pos penjagaan untuk segera mengikuti proses pelimpahan.


Kami saling berpelukan. Bahkan Tomy meneteskan air matanya saat berjalan meninggalkan kamar 10. 


“Tetep tenang, Tomy dan Irfan. Babe segera nyusul. Kalian tetep nyatu nanti juga,” kata Nedi, kembali membesarkan hati Tomy dan Irfan yang melangkah pelan menuju pos penjagaan. 


Setelah Tomy dan Irfan pergi, kami semua merebahkan badan. Ku coba pejamkan mata. Namun pikiranku terus berkelana. Menuju rumah. Menyapa kamarku. Membayangkan istriku yang tengah sakit. Tergolek di tempat tidur. Sendirian.


Tanpa terasa, air mata berguliran. Membasahi pipi. Begitu hanyut perasaanku terbawa oleh suasana keprihatinan itu. Di saat istri sakit, aku tidak ada di sampingnya.


Ku pejamkan mata. Batinku melantunkan senandung doa. Menembus awan dan kembali turun ke bumi. Masuk ke kamarku di rumah. Merayapi lahiriyah istri yang tengah tergolek lemah. Memberinya siraman ketenangan. Keyakinan dan kekuatan untuk kesembuhan. Dan aku pun tertidur. Pulas. Meski tetap tanpa mimpi.


“Om, sudah Ashar,” suara Nasir membangunkanku dari kelelapan. 


Sambil bangun dari tempat tidur tanpa alas, ku lihat kawan-kawan telah siap untuk melakukan jamaahan. 


Saat ini, kamar 10 hanya diisi sembilan tahanan. Aku, Pepen, Nedi, Atmo, Hendri, Herman, Dian, Hasbi, dan Nasir. Aku yakin, dalam waktu dekat akan masuk penghuni baru.


Dan benar saja, baru selesai mandi sore, Bagus berdiri di depan jeruji besi. Ia memberitahu ada empat tahanan baru yang masuk. Dua kasus narkoba, satu kasus curanmor, dan seorang lainnya kasus pencabulan.


“Nggak ada yang cocok buat masuk sini, Gus. Sorry ya. Kamu atur aja ke kamar lain,” kataku setelah mendengar penjelasan Bagus.


“Tapi kamar Babe yang paling sedikit orangnya. Petugas piket nyuruh aku koordinasi sama Babe,” ujar Bagus.


“Ya sudah, gini. Pindahin tahanan lain yang sudah ada aja. Masukin kesini empat orang. Pilih sama kamu orangnya,” kataku kemudian.


“Banyak amat tambahannya, Be?” ucap Atmo, menyela. Segera aku beri isyarat untuk dia tidak berkata lagi.


“Siap kalau mau Babe gitu. Yang penting bukan kasus cabul sama curanmor ya, Be,” sahut Bagus, dan segera meninggalkan kamar kami.


Selepas Bagus pergi dari depan jeruji besi, aku jelaskan pada penghuni kamar, jika untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang layak, diperlukan tambahan orang yang agak banyak. Apalagi rencananya besok siang, aku akan pelimpahan.


“Nyambung kalau maksudnya gitu, Be,” sahut Atmo. 


“Makanya dengerin aja dulu kalau Babe lagi ngomong dan ngambil langkah, Atmo. Jangan buru-buru komentar. Pasti punya pertimbangan mateng,” kata Nedi menimpali.


Aku minta Nasir menggantikan posisi yang ditinggalkan Irfan. Tepat di sebelah kiriku. Atmo juga naik ke lantai atas menggantikan posisi Tomy. Yang masih tidur di lantai bawah Hendri, Herman, dan Dian. 


“Nanti kalau empat orang lagi masuk, tinggal Hasbi aja yang di bawah. Delapan lainnya di lantai atas,” kataku. Dan semua penghuni kamar sepakat.


Saat adzan Maghrib menggema, seorang tamping membuka pintu. Membawa dua kantong plastik berisi makanan. Dan satu kantong kecil juga penuh barang.


“Tadi sopirnya yang anter, om. Dia buru-buru pulang,” kata tamping itu sambil menatapku.


“Oke, terimakasih,” sahutku seraya memberinya satu batang rokok.


Selesai kami solat Maghrib jamaahan dan mengaji Juz Amma dilanjut Isyaan dan makan malam, pintu sel dibuka petugas tahti didampingi seorang tamping. Empat orang pria mengikutinya.


“Izin, kap. Ini empat penghuni baru. Kami pindahkan dari kamar-kamar lain,” ujar petugas tahti itu.


“Siap, pak. Terimakasih,” sahutku, dan meminta Atmo mengeluarkan uang dan diserahkan kepada petugas yang mengantar tahanan baru.      

“Wah, terimakasih banyak, kap. O iya, kabarnya besok mau pelimpahan ya. Waduh, kami jadi kehilangan ini, kap,” ujar petugas itu seraya menyalamiku dengan hangat.


“Nanti Allah pertemukan kita kembali dalam suasana yang lebih baik, pak. Inshaallah,” kataku, sambil tersenyum.


Hasbi mengatur posisi empat tahanan yang baru masuk, dengan mengambil tempat di lantai bawah. Sementara Hendri, Dian, serta Herman pindah ke lantai atas. Sesuai arahanku. 


Setelah semua duduk rapih di tempat masing-masing, ku sampaikan tradisi kamar 10 bagi tahanan baru. Yaitu memperkenalkan diri, memberi tiga bungkus rokok sebagai tanda perkenalan atau bernyanyi tiga lagu, dan membayar uang kamar Rp 600.000 untuk satu bulan.


Salah satu dari empat tahanan yang baru masuk adalah Danu, yang sempat terlibat perselisihan dengan Yosep, kepala kamar 6.


“Coba kamu Danu. Kenalin diri dan sampein kasusmu apa,” kataku setelah memperkenalkan penghuni kamar 10 satu demi satu beserta kasusnya.


Pria muda usia 28 tahunan itu berdiri di bidang tempatnya. Tatapan matanya tajam. Bahkan terkesan liar. Berbanding dengan raut wajahnya yang tampan dan mengesankan.


“Assalamualaikum. Namaku Danu. Umur 28 tahun lebih. Aku sudah hampir satu bulan disini. Di kamar 6 sebelumnya. Tersangkut kasus pencurian burung murai,” kata Danu dengan suara tegas.


“Berapa banyak murai yang kamu ambil?” tanya Nedi.


“Cuma satu, om. Bukan ku ambil sebenernya. Tapi aku matiin. Sengaja emang mau matiin aja,” ujar Danu.


“Maksudnya kayak mana sih? Kamu nyuri burung tapi mau dimatiin, kenapa gitu?” lanjut Nedi, tidak paham.


“Iya gitu, om. Sengaja aku buka kandangnya, begitu kepegang burung itu, langsung ku matiin. Aku patahin lehernya,” kata Danu. Tanpa ekspresi.


“Kenapa kayak gitu? Biasanya kan orang nyuri burung itu buat dijual, atau dipelihara karena suaranya bagus,” Nedi makin penasaran.


“Aku kesel berat sama burung itu, om. Gara-gara dia, burungku nggak jadi juara di kontes burung berkicau ngerebutin piala walikota,” jelas Danu, kali ini dengan senyuman yang dingin.


“Oalaah, karena burungmu kalah sama suara burung punya orang, kamu matiin saingan burungmu itu. Gitukan,” Dian menyela. Danu menganggukkan kepalanya. Dan kembali menebar senyum dinginnya. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini