Balada Seorang Narapidana (Bagian 114)


Oleh, Dalem Tehang


TERUS bisa ketangkepnya kayak mana kamu itu, Danu?” tanya Hasbi.


“Rupanya pemilik burung itu secara khusus masang CCTV ke tempat burung-burungnya, yang ditaruh berjejer di garasi. Jadi jelas ada wajahku di CCTV itu. Nggak bisa ngelak lagi,” aku Danu. Ada tawa kecil setelah ia bicara. Dingin.


“Nggak ada usaha buat damai, apa?” sela Hendri.


“Keluarga sudah coba ngajak damai, tapi yang punya burung nggak mau. Ya sudah, akhirnya aku ada disini,” lanjut Danu. Kali ini dengan suara enteng. Tanpa beban.


“Oke, terus soal kewajiban kamar gimana?” tanyaku, memotong.


“Siap, Be. Malem ini juga aku serahin uangnya. Termasuk yang untuk beli rokok tiga bungkus sebagai tanda perkenalan,” Danu menjawab dengan tegas.


“Sekarang giliran kamu,” kataku sambil menunjuk seorang pemuda berbadan kekar yang duduk di lantai bawah paling sudut.


Dengan gerak cepat, anak muda itu berdiri. Sebelum bicara, ia tatap kami semua satu demi satu. Seakan ingin mengenali hingga ke jantung masing-masing.


“Assalamualaikum. Namaku Tri. Umur 26 tahun. Aku sudah sebulan disini. Sebelumnya satu kamar dengan Danu. Aku kena kasus perkelahian, tepatnya penganiayaan,” kata anak muda itu dengan suara tenang.


“Perkelahiannya kayak mana. Bisa diceritain, Tri,” kata Herman.


“Waktu itu aku pulang dari kampus. Ada kawan yang senggolan motor. Yang kena senggol itu ngegebukin kawanku. Namanya kawan, ya aku bantu. Aku ambil batu besar di pinggir jalan, ku hantemin ke kepala orang itu. Dia langsung jatuh dengan kepala pecah dan pingsan. Aku dan kawanku kabur. Tapi dua hari kemudian, kami ditangkep polisi,” urai Tri.


“Terus kawanmu yang senggolan motor itu masuk juga?” tanya Nedi. Tri menggelengkan kepalanya.


“Kok bisa. Kamu yang ngebantuin aja masuk, kenapa dia nggak?” tanya Nedi lagi.


“Kata polisi, kawanku nggak terbukti lakuin penganiayaan. Justru dia yang dianiaya. Kalau aku kan emang mecahin kepala orang itu pakai batu,” ujar Tri.


“Iyalah, kamu terbukti nganiaya. Tapi kan ada sebabnya. Masak yang ngebuat sebabnya, lenggang kangkung gitu aja,” sambung Nedi. Penasaran.


“Faktanya emang gitu, om. Aku yang masuk sendirian. Lagian, kawanku itu bapaknya orang gedean. Anggota Dewan yang Terhormat. Yang aku pecahin kepalanya juga anak anggota Dewan yang Terhormat. Jadi saling damailah mereka. Tinggal aku yang dikorbanin,” kata Tri dengan senyum penuh kesedihan.


“Kelewatan juga kawanmu itu, Tri. Mestinya dia minta ke orangtuanya buat ngebebasin kamu. Kan kamu ngebantu dia,” ucap Hendri, menyela.


“Kalau punya hati nurani, mestinya gitu, om. Tapi sudahlah. Aku jalani aja yang ada sekarang. Nanti Tuhan yang ngebalesnya,” ucap Tri dengan suara yang kembali tenang dan datar. 


“Kamu sudah punya istri belum, Tri?” tanya Herman.


“Belum, om. Rencananya bulan depan nikah. Ya, terpaksa gagal karena kasus ini. Aku juga baru masuk kerja jadi asisten dosen, terpaksa berhenti juga. Sudah nasibku kayak gini, mau gimana lagi. Jalani aja dengan santai dan tetep deket sama Tuhan,” sahut Tri, dan tersenyum pahit.


“Apes amat nasibmu ya, Tri. Tapi aku salut, kamu tegar dan ikhlas nerima semua ini,” kata Dian sambil memandangi wajah Tri dengan serius. 


“Kalau aku nggak nganggepnya nasib apes kok, om. Ini emang sudah takdirku. Aku cuma bertahan untuk tetep bisa berpikir positif dan optimis aja. Karena dengan itu aku bisa nemuin kebaikan dibalik kesalahan, juga anugerah dibalik musibah,” jawab Tri, tetap dengan tenang.


“Gimana dengan kewajiban kamar, Tri?” tanyaku kemudian.


“Siap, Babe. Tapi aku minta waktu seminggu. Semua pasti aku penuhi. Sekarang ini, ibu lagi mau jual motorku dulu. Inshaallah minggu ini ada yang beli,” sahutnya.                          


“Oke, Tri selesai. Sekarang kamu,” ujarku sambil menunjuk laki-laki berusia 35 tahunan dengan tangan kanan diperban dan diikat tali panjang ke lehernya.


“Assalamualaikum. Namaku Adam. Umur 35 tahun lebih dua bulan. Disini sudah hampir satu bulan, sebelumnya di kamar 7. Aku kena kasus pencurian. Bobol rumah,” kata pria itu.


“Tanganmu itu patah atau kenapa?” tanya Atmo.


“Iya, patah. Dihantem linggis waktu kejadian itu. Dua tulangnya patah. Di bagian bahu dan ruas tangan,” jelas Adam.


“Terus perawatannya gimana itu?” lanjut Atmo.


“Setelah kejadian, aku dibawa ke rumah sakit. Diobati disana. Di-gips tanganku. Ya sudah. Selama disini, nggak ada perawatan sama sekali. Paling ganti perban aja, setelah gips-nya aku pecahin di kamar sebelumnya. Obatnya beras kencur yang dibawain istri dari rumah,” urai Adam.


“Kamu ipis ya, Adam?” tanya Herman, tiba-tiba.


Sontak, mata Adam menatap Herman dengan tajam. Tampak ada ketidaksukaan pada pandangannya.


“Emang kalau aku ipis kenapa?” tanya balik Adam. Nada suaranya meninggi.


“Ya nggak kenapa-kenapa juga. Aku cuma tanya aja. Lagian kalau sudah satu kamar, kita ini jadi saudara. Wajar kalau kita saling ngenal lebih dalam. Gitu yang dipesenin Babe,” sahut Herman.


“Iya, aku emang ipis. Sudah tiga kali ini aku masuk bui. Jangan-jangan aku lebih paham dunia penjara dibanding semua yang ada di kamar ini,” kata Adam, dengan lantang dan percaya diri.


“Ya sudah. Justru kamu yang lebih paham dunia penjara, maka kami senang kamu masuk sini,” ucap Herman, dengan nada kalem.


“Aku paham kenapa yang nggak nurut di kamar ini pasti dipindahin ke kamar lain,” lanjut Adam, dengan memandangi kami satu persatu melalui mata tajamnya.


“Emang nurut kamu karena apa?” tanya Nedi, yang tampak mulai menunjukkan sikap tidak suka pada gaya Adam.


“Karena kamar ini mau ngebuat gank sendiri. Mau jadi kelompok mafia penjara. Dan jujur, itulah yang buatku mau kesini waktu ditawarin sama kepala blok, Bang Bagus. Aku mau ikut ngegabung masuk grup gank Babe,” urai Adam. 


“Sorry ini, Adam. Babe nggak pernah ngajak kami ngebuat gank atau mafia penjara. Dia ngajak kita buat nerima kenyataan dengan deketin diri sama Tuhan. Nggak boleh ganggu tahanan lain. Tapi kalau ada yang ngeganggu, harus dikasih pelajaran,” tiba-tiba Pepen yang sejak tadi hanya diam, menyampaikan perkataan.


“Aku tahu emang, disini rajin solat, ngaji, puasa, dan orangnya sopan-sopan. Justru itu aku mau kesini. Mau belajar solat, ngaji dan kepengen jadi orang baik ke depannya. Kalau aku pakai bahasa gank atau mafia penjara, itu cuma istilah doang. Jangan dinilai negatif,” jelas Adam lagi.


“Kalau kamu pakai bahasa mafia penjara,  negatif orang nilainya, Adam,” Nedi menimpali.


“Ya maaf kalau aku salah ngomong. Maksudku, mafia penjara yang positif. Jujur, aku seneng bisa gabung di kamar ini,” lanjut Adam. 


Dan kali ini, ia tundukkan kepalanya. Pertanda menghormati semua penghuni kamar. Kami saling berpandangan. Ternyata, ungkapan bernada sinis, tidak selamanya berujung pada sisi ketidakbaikan.


Dan teringatlah aku akan sebuah rangkaian kata pada selembar kertas di dalam buku usang yang teronggok kotor di sudut kamar: yang bersalah itu perlu dibina bukan dihina, perlu dirangkul bukan dipukul. Gunakan solusi bukan emosi, kedepankan nilai-nilai kebenaran, bukan mencari-cari pembenaran. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini