Oleh, Dalem Tehang
PADA tengah malam nan sunyi itu, tinggal Irfan, Pepen, dan Nedi yang tidur. Nedi yang menggantikan bidang tempat Asnawi selama ini, berada paling ujung dekat jeruji besi. Di sebelahnya, tempat Pepen, yang juga tetap tidur nyenyak.
Sedang Irfan tepat di sampingku. Bidang nomor dua setelah tembok pemisah ruangan dengan kamar mandi. Pria berusia 33 tahun ini tampak begitu lelap dalam buaian mimpinya.
Aku tetap bersandar di tembok pembatas kamar mandi. Juga masih menyelimuti sekujur badan dengan kain sarung. Sambil sesekali meneguk teh hangat dicampur tolak angin yang dibuatkan Hasbi.
Dan harus ku akui, teh hangat bercampur tolak angin itu, ternyata, memang enak. Lebih segar. Aroma jahe dan rempah adonannya juga bisa dihirup melalui hidung. Melegakan pernafasan.
Kawan-kawan lain yang tengah menikmati kopi dan makanan kecil, duduk di lantai bawah. Sambil berbincang pelan, asap rokok mengepul berseliweran di tengah kamar.
Namun tidak lama berputaran, langsung ke luar dibawa angin melalui jendela kecil berjeruji yang ada di tembok bagian belakang ruangan sel.
Sesekali terdengar suara nyanyian ditingkahi alunan gendang dari galon air mineral, yang dibawa angin. Nyanyian dangdut tempo doeloe yang kondang pada jamannya.
“Kamar berapa itu yang lagi nyanyi-nyanyi?” tanyaku.
“Kamar 5, Be. Biasa, mereka kan kerjaannya memang begadang terus. Kalau pagi sampai sore, tidur,” kata Hasbi.
“Emang tiap malem mereka begadangnya?” tanya Hendri.
“Setahu saya memang begitu. Ya pasti ada yang tidur juga, tapi kebanyakan begadang itulah,” lanjut Hasbi.
“Nggak ditegor sama penjaga?” kata Robi, menyela.
“Kalau ditegor, mereka berhenti. Tapi nanti ketimprungan lagi. Namanya juga orang begadang, mana betah diem lama-lama,” sambung Hasbi.
“Kalau yang isinya main kartu terus, kamar berapa ya, Hasbi?” tanya Herman.
“Ini, kamar sebelah kita, om. Kamar 9. Kalau om hobi main kartu pakai uang, ke kamar sebelah aja,” Tomy yang menjelaskan.
“Nah, boleh juga itu, Tom. Pengen juga sesekali main di kamar sebelah. Siapa tahu ada hokiku di penjara ini,” ucap Herman sambil tertawa kecil.
“Boleh, om. Besok aku omongin sama kawan-kawan di kamar sebelah kalau om pengen main,” tanggap Tomy.
“Apa kita main kartu aja sekarang ya. Cuma nggak pakai uang. Yang kalah dipasang karet gelang di kuping,” tiba-tiba Pepen menyambar pembicaraan dan bangun dari tempat tidurnya.
“Wah, bangun juga akhirnya Koh Pepen. Mau kopi apa teh, mumpung masih ada air panasnya ini,” kata Hasbi sambil memandangi Pepen yang masih mengucek-ucek kedua matanya.
“Yang enak, makan mie jam segini itu, Hasbi. Baru ngeteh. Jadi perut nggak kembung,” ujar Nedi, yang juga ikut terbangun dari tidurnya.
“Boleh juga kalau mau makan mie. Saya buatin sekarang. Lima bungkus aja ya buatnya,” kata Hasbi.
“Buatnya enam dong, Hasbi. Masak Babe makannya mau berbagi juga,” Dian menyela.
“Babe mau makan mie? Goreng apa rebus?” tanya Hasbi.
“Buatin mie rebus aja, Hasbi,” sahutku pendek. Sambil menahan badan yang masih sesekali menggigil. Demam.
Saat kami masih menunggu Hasbi menyelesaikan tugasnya membuat mie instan, seorang petugas jaga yang patroli berdiri di depan jeruji besi.
“Bau mienya nyampe ke pos jaga lo. Boleh juga kalau dikasih,” ucap petugas jaga itu dengan entengnya.
Spontan, semua penghuni kamar menatapku. Aku yang masih bersandar di tembok pembatas kamar mandi, pura-pura tidak melihat. Asyik meniupi cangkir berisi teh hangat bercampur tolak angin.
“Oh, Babe belum tidur rupanya ya. Maaf, Be. Tadi bercanda aja minta mie itu,” kata petugas jaga buru-buru, begitu melihatku.
“Bercanda tapi mau juga kan? Iya, nanti dikasih sama Hasbi mienya. Tapi mohon maaf, buat sendiri ya. Atau suruh tamping aja ngebuatinnya,” sahutku.
“Siap, Be. Nanti nyuruh tamping ngebuatinnya,” lanjut petugas jaga.
Aku beri isyarat pada Hasbi untuk memberi satu bungkus mie instan kepada petugas jaga.
“Yang jaga bertiga ya. Yang dua lagi minta ke kamar lain aja, stok di kamar ini nggak ada lagi,” ucapku kemudian.
“Oke, terimakasih banyak, Be,” kata petugas itu dan meninggalkan kamar kami sambil menenteng satu bungkus mie instan.
Hasbi telah menyelesaikan tugasnya menyeduh mie instan. Hanya aku sendiri yang dinihari itu makan satu bungkus mie rebus. Yang lain, berbagi satu bungkus untuk dua orang. Sambil menghangatkan perut, kami terus berbincang ringan.
“Tiap malem emang ada aja petugas yang minta-minta gitu ya, Be?” tanya Dian di sela-sela menyeruput kuah mie instan.
“Nggak juga. Kadang-kadang aja. Itu juga mayoritas yang memang sudah kenal baik sama kita di kamar ini,” kataku.
“Dan selalu dikasih gitu ya,” lanjut Dian.
“Sesekali aja. Kalau lagi ada dan emang nggak bakal ngebuat kita kelaperan. Kalau buat kita makan aja kurang, nggak aku kasih-lah,” jelasku.
“Kalau yang minta-minta uang itu emang ada ya, Be,” ujar Dian lagi.
“Secara langsung sih nggak. Cuma banyak cara lebih manis yang dimainkan. Misalnya, malem ini wajib cas-casan beli rokok minimal tiga bungkus per-kamar. Harga perbungkusnya Rp 40.000. Kan ada kelebihan dari harga rokok di warung. Ya itulah seseran mereka buat beli rokok juga sebenernya. Nggak ada yang sampai masang tarif harus ngasih segini. Nanti juga kamu tahu sendiri gimana seni hidup di penjara ini, Dian. Jalani aja dan ojo gumunan,” kataku panjang lebar.
“Kata kawanku, kalau yang kasus perampokan sering dihajar, bener tah, Be?” tanya Hendri.
“Nggak pasti juga. Yang ku tahu, kalau kasus cabul sama curanmor emang jadi sasaran utama petugas ngelampiasin marahnya. Tapi kalau kamu, kayaknya emang bakal kena hajar nanti sama petugas jaga yang hobi gebukin tahanan, Hen,” uraiku.
“Waduh, kenapa aku malah jadi sasaran, Be?” tanya Hendri dengan nada ketakutan.
“Kamu kan sempet buron. Bertahun-tahun lagi. Berarti kan ngerjain petugas. Dicari-cari, kamu ngilang. Bisa aja ada yang kesel, langsung ngelampiasinnya sama kamu,” ujarku.
“Jangan nakut-nakutin gitu sih, Be. Doain aku nggak jadi sasaran kesel petugas ya, Be,” kata Hendri. Suaranya bergetar.
“Masak badan tinggi besar, keker, dan bertato harimau gini takut kena hajar petugas sih, om. Tadahin aja kalau emang kejadian,” kata Tomy.
“Ini bukan soal takut atau berani, Tom. Masalahnya kita kan tahanan. Ngelawan juga nggak bisa. Malah bakalan kena hajar nggak karuan nanti. Beda kalau kita tarung di luar. Aku siap aja, sampai ada yang menang dan kalah,” sahut Hendri. Suaranya meninggi. Tidak mau dikecilkan.
“Kalau aku, bakal kena hantem juga nggak, Be?” tanya Herman seraya menatapku dengan wajah serius.
“Kayaknya iya, Man. Kakimu yang masih nyimpen peluru itu bakal ditendangin,” sahutku sambil tertawa
“Yang bener dulu, Be. Ditanya serius kok malah jawabnya sambil ketawa,” ucap Herman.
“Kalian nggak usah mikirin yang buruk-buruk sih. Hilangin ketakutan yang nggak jelas itu. Jalani aja apa adanya. Ngapain nambah-nambah pikiran sama hal-hal yang belum tentu kejadian,” uraiku kemudian.
“Tapi kan katanya kalau tahanan baru itu pasti bakal kena hajar, Be. Atau minimal dikerjain gitulah,” sela Hendri.
“Itu kan katanya. Barangkali itu emang pengalaman dari yang ngomong. Tapi masing-masing kita pasti punya pengalaman yang beda. Kalau pun akhirnya bener ngalamin dihajar atau dikerjain, ya seperti kata Tomy tadi, tadahin aja. Mau apa juga coba,” lanjutku dengan tersenyum. Meredakan kegalauan kawan-kawan yang baru menjadi tahanan.
Memang, siapapun juga, bahkan residivis sekali pun, begitu baru masuk penjara, pasti akan disesaki dengan hawa ketakutan. Takut dianiaya dan sebagainya. Dan hawa yang merebak itu begitu menyayat kalbu. Meruntuhkan segala ketenangan dan ketegaran pada jiwa. (bersambung)