Oleh, Ferdi Gunsan
SAYA merupakan pemilih Presiden Joko Widado (Jokowi) selama dua periode. Alasannya, simple. Jokowi punya konsep revolusi mental yang sangat tepat disuarakan ketika itu. Ditambah, Jokowi bukan anak saudagar atau sultan. Bisa disebut, beliau lahir sebagai pemimpin bukan karena unsur KKN.
Jokowi lahir ketika bangsa ini butuh tipikal pemimpin yang merakyat. Jujur, dan terbebas dari belenggu KKN.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang coba dilawan dalam konsep kepemimpinan nasional dengan visi “Revolusi Mental” itu, seolah berbanding terbalik dengan realitas politik hari ini. Tepatnya, revolusi mental itu dapat dimaknai sebagai sikap plin-plan dan inkonsisten.
Kita ingat, dulu ketika masih jadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi pernah menyatakan, bakal konsisten sebagai gubernur dan belum memikirkan jadi presiden. Sama dengan pernyataan anaknya, Gibran. Yang pernah menyatakan masih 20 tahun lagi baru tertarik masuk politik. Ternyata, baru beberapa tahun, omongannya berubah. Dan jadilah Gibran sebagai Walikota Solo.
Akan tetapi, ya sudahlah. Mungkin inkonsistensi itu bisa berubah jika sudah menjabat.
Namun demikian, layak kita pertanyakan, setiap kebijakan presiden sejak “revolusi mental” menjadi jargon Jokowi, adakah mental-mental rakyat maupun pejabat yang sudah direvolusi? Lalu apa parameter keberhasilan revolusi mental itu?
Faktanya, mental-mental para pembantu presiden belakangan makin terlihat aneh, mereka terus menarasikan wacana-wacana yang membuat gaduh dan kepanikan di tengah warga. Terbaru, disebut kelangkaan minyak goreng, dipaksa dengan membuat kebijakan HET (harga eceran tertinggi), lalu ada kepanikan warga kelas bawah, setelah diserahkan ke mekanisme pasar, ternyata ada subsidi minyak goreng, begitu subsidi gagal, menyebut ada sindikat dan kartel yang mengambil keuntungan dari minyak goreng, semakin aneh. Kian membuat pernyataan, tambah terlihat anehnya pemerintah ini.
Pertanyaannya apakah sindikat dan mafia minyak goreng yang mengekspor itu, bisa terbentuk hanya dalam dua bulan? Saya jadi berpikir, itu bukan sindikat tetapi calo. Seperti calo konser music.
Lebih aneh lagi kok para pembantu yang mentalnya hanya kekuasaan, dibiarkan terus memproduksi wacana yang membuat gaduh public?
Lagi-lagi, apakah ini Revolusi Mental ala Jokowi. Dimana setelah gaduh, bak pahlawan, seperti ketika mengumumkan BLT Minyak Goreng, Jokowi turun bak pemadam kebakaran hutan. Sayang kebakaran terus terjadi dan apinya tak bisa padam.
Saya dan mungkin banyak masyarakat kian bingung, apa indikator keberhasilan revolusi mental ala Jokowi itu? Sebagai pemilih Jokowi dua periode, saya berharap (tadinya) Jokowi bisa menjadi contoh terbaik pemimpin Indonesia untuk anak cucu. Apalagi yang diinginkan Jokowi, beliau sudah ada di titik puncak dalam karier politik. Yakni, Presiden Republik Indonesia dua periode, kekuasaan paling maksimal dan tertinggi sesuai konstitusi. Yang sudah disepakati sejak reformasi sebagai jawaban atas kekuasaan Presiden Soeharto yang terus diperpanjang.
Ditambah, anak dan menantu sudah menjadi walikota di usia yang sangat muda, jika beruntung, sebentar lagi juga bisa menjadi calon gubernur, atau lanjut sebagai calon presiden.
Dulu, mungkin Jokowi iri dengan Soeharto, begitu juga sekarang. Ketika Jokowi sudah jadi presiden dan anak menantu sudah jadi walikota, pasti ada yang iri.
Tapi yang jelas, semakin kita dedah dalam kiprah dan beragam kinerja Jokowi, menegaskan, semakin tidak jelas aturan main revolusi mental itu. Apalagi tolok ukur keberhasilannya, bukan saja dari konsep yang sepertinya asal comot, kerja, kerja, kerja. Tapi faktanya, terus untuk membenarkan laku lacung dan menabalkan kesalahan.
Ah, kekuasaan memang seringkali melupakan visi misi. (*)
Ferdi Gunsan
Pernah jadi Dirut BUMD Wahana Raharja