Oleh, Dalem Tehang
TIBA-tiba jaksa wanita itu memasuki ruang khusus yang disediakan bagi tahanan tertentu, sebelum melanjutkan proses penahanan di rutan tersebut.
“Tadi itu pengacaranya ya, bang,” kata dia begitu masuk pintu. Aku menganggukkan kepala.
“Kenapa nggak pakai pengacara yang sudah kami kenal aja. Jadi enak koordinasi perkara abang,” lanjutnya.
Aku tersenyum dalam hati. Kembali apa yang disampaikan Nedi, terbukti. Tetap terbuka celah untuk melakukan lobi-lobi. Hukum adalah bagian dari praktik industri seperti ucapan Nedi, kian menemukan bentuknya.
Karena aku dan istri tidak menanggapi perkataannya, tidak lama kemudian jaksa wanita itu pun membalikkan badan. Keluar ruangan. Tampak ada raut kecewa di wajahnya, yang sejak awal memang tidak bersahabat. Menunjukkan wajah batem.
Sebuah kue bawaan istri, perlahan aku makan dan mengunyahnya dengan perlahan. Seakan ingin betul-betul menikmati setiap potongnya hingga ke dasar. Merasakan adonan bahan-bahannya. Pun saat meminum dari botol air mineral, ku lakukan dengan perlahan.
Istriku memahami. Bila itu bagian dari caraku untuk menenangkan hati, sehingga ia hanya memandang dan menungguku menyelesaikan aktivitas mengisi perut dengan panganan ringan tersebut, penuh rasa sabar dan tetap memeluk dengan erat.
Sebuah pengalihan atas situasi yang begitu mendera jiwa, memang sudah terbiasa ku lakukan sejak menjalani penahanan. Karena hanya dengan itu, aku tetap mampu berdiri tegak dan tampilan yang selalu tegar.
Saat aku masih menikmati kedamaian yang menyusup kalbu dalam pelukan istri, terdengar suara gaduh dari tempat pemeriksaan administrasi pelimpahan perkara. Melalui jendela kaca cukup besar di ruang khusus, aku lihat apa yang terjadi.
Rupanya, ada enam tahanan yang tengah menjalani proses pemeriksaan administrasinya. Dua di antara mereka sangat aku kenali, yaitu Bagus dan Yosep.
Atas izin istri, aku keluar ruangan. Menemui Bagus dan Yosep. Kami berpelukan.
“Akhirnya, kita tetep bareng juga ya, Be. Alhamdulillah,” ucap Bagus dengan suara haru.
Mereka yang baru sampai kantor kejaksaan, wajib menjalani pemberkasan terlebih dahulu dengan jaksa penuntut umumnya masing-masing. Termasuk Bagus dan Yosep.
Ketika melewati ruang tempatku dan istri menunggu dibawa ke rutan, Bagus dan Yosep menyalami istriku.
“Kami anak didik Babe selama ini, bu. Mohon doanya kami semua sehat dan tetep kuat,” kata Bagus sambil menyalami istriku dengan kuat.
“Tetep sabar aja ya. Dan terus deketin diri sama Yang Kuasa,” sahut istriku, menenangkan.
Suara adzan Ashar mengalun sayup, terdengar hingga ke ruangan khusus tempatku berada. Aku hanya beristighfar. Memohon ampun kepada Sang Pencipta, karena tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk sujud kepada-Nya akibat situasi yang sangat tidak memungkinkan.
“Nggak bisa solat ya, ayah. Coba bunda tanya ke petugas dulu ya,” kata istriku yang mengetahui betapa resah hatiku karena harus meninggalkan solat Ashar.
Tidak lama kemudian, istriku kembali ke ruangan. Sambil menatapku, ia menggelengkan kepalanya dengan lemah. Usahanya agar aku bisa solat, gagal. Petugas jaga di kejaksaan tidak memberi izin.
“Ya sudah, istighfar aja banyak-banyak ya, ayah. Allah lebih tahu kondisi ayah saat ini,” ucap istriku seraya mengelus punggungku dengan pelan.
Seorang petugas kejaksaan masuk ke ruangan. Memberitahu proses penahanan di rutan segera dilaksanakan. Aku diminta bergabung dengan tahanan lain.
Petang itu, ada 20 orang tahanan yang menjalani pelimpahan perkara dilanjutkan perpanjangan penahanan dengan menitipkan kami di rutan. Empat diantaranya wanita.
Sebuah kendaraan pembawa tahanan yang sudah tua, parkir di depan pintu sel tahanan sementara. Satu demi satu tahanan disebut namanya dan naik ke mobil tahanan.
Aku cium dan peluk istriku penuh keharuan, saat namaku disebut untuk segera naik ke kendaraan khusus yang akan menghantarkanku kembali masuk sel, kali ini di rumah tahanan negara alias rutan.
“Tetep tenang, sabar, dan ikhlas ya, ayah. Yakin Allah menjaga ayah. Bunda sama anak-anak terus doain ayah,” ucap istriku, juga dengan nada haru saat kami berpelukan.
Aku merupakan tahanan yang terakhir naik ke kendaraan tahanan. Mataku menengok ke kanan-kiri, mencari tempat duduk di antara belasan tahanan. Dua bangku memanjang di dalam kendaraan sudah terisi penuh.
“Be, sini. Kami sudah siapin buat Babe,” tiba-tiba Bagus memanggilku.
Ia berada tepat di bagian belakang pengemudi. Hanya berbatas jeruji. Perlahan, aku menuju ke tempat Bagus. Dan benar, setelah Bagus bergeser sedikit, aku mendapat tempat di sampingnya.
Di depanku duduk, ada Hasbi, Yosep, dan beberapa tahanan yang sebelumnya sempat bertemu di sel tikus denganku. Dari jendela kendaraan tahanan yang berjeruji, ku lihat istriku masih berdiri di dekat mobil.
Tampak ia mencari dimana posisiku. Buru-buru aku lambaikan tangan dari dalam kendaraan. Begitu melihat posisiku, istriku Laksmi mendekat. Ia pegang tanganku dari balik jeruji besi kendaraan tahanan.
“Bunda langsung pulang aja ya. Kan sudah ada Laksa sama lawyer yang nunggu ayah sampai di rutan. Salam untuk anak-anak,” kataku. Laksmi istriku hanya mengangguk.
Pintu mobil tahanan ditutup kencang. Empat tahanan wanita masuk di bagian belakang, yang dipisah dengan pintu bagi kami yang sudah di dalam. Setelah tahanan wanita masuk, pintu terakhir ditutup dan digembok.
Suara sirine mobil tahanan mengaum. Membelah keheningan petang hari itu. Dan segera meluncur kencang meninggalkan kantor kejaksaan dengan satu tujuan: rumah tahanan negara.
Kepadatan lalulintas disibak dengan piawainya oleh pengemudi mobil tahanan yang terus mengaktifkan sirinenya. Sempat ku lihat, istriku mengikuti perjalanan mobil tahanan dengan kendaraannya. Namun tidak lama kemudian, ia berbelok. Ke jalan raya arah pulang ke rumah.
Sepanjang perjalanan, kami semua hanya diam. Masing-masing asyik dengan pergulatan batin dan pikirannya. Meski mobil tahanan dipasang air conditioner alias AC, namun alat pendingin ruangan itu telah rusak sejak lama. Tampak dari debu menggumpal yang menutupinya.
Tak ayal, meski mayoritas hanya memakai rompi, hawa panas membuat tahanan merasa gerah. Keringat pun mengucur. Menebar berbagai bau tidak sedap. Buru-buru ku sulut rokokku. Mencari solusi untuk tidak terus menerus menghisap bau keringat dari belasan orang yang ada di dalam kendaraan itu.
Melihat aku menghidupkan rokok, beberapa tahanan lain mengikuti. Akhirnya, ruang kabin kendaraan dipenuhi dengan asap rokok. Meski hanya sesaat, karena segera terbawa derasnya angin yang masuk melalui jendela tanpa kaca namun berjeruji besi.
Hampir satu jam perjalanan, ketika kendaraan tahanan mengurangi kecepatan lajunya saat memasuki kawasan perkampungan padat penduduk dengan kondisi jalan yang rusak dan sempit.
“Sebentar lagi sampai, Be. Nanti semua rompi langsung dilepas, tinggalin aja di mobil,” kata Yosep.
Aku, Bagus, dan Hasbi menganggukkan kepala. Yosep memang sudah untuk kedua kalinya menjalani hukuman. Hingga telah memahami lika-liku proses yang harus dilakoni.
Mobil tahanan mendadak berhenti di depan sebuah bangunan tinggi dan kokoh. Aku pandangi situasi diluar.
“Nganter tahanan wanita dulu, baru kita yang masuk rutan. Kalau yang wanita langsung ke lapas,” ucap Yosep, memberi penjelasan.
Setelah menurunkan tahanan wanita sebanyak empat orang, mobil kembali berjalan. Memutar sebentar, sampailah kami di tempat tujuan. Rutan.
Satu demi satu kami turun dari mobil, setelah melepaskan rompi dan meninggalkan di dalam mobil. Aku yang masih memakai kaos dibalik rompi, diminta melepasnya.
Saat aku turun dari kendaraan tahanan, Laksa dan dua lawyer mendekat. Aku hanya bisa sesaat menyapa mereka. Karena petugas kejaksaan dan petugas rutan, didampingi dua anggota Polri dengan senjata laras panjang ditangan, langsung menggiringku masuk ke dalam bangunan dengan pintu gerbang tinggi besar yang terbuat dari besi baja itu. (bersambung)