Tekanan yang hebat terhadap dakwah di Makkah menyebabkan Rasulullah SAW memerintahkan sebagian kaum Muslimin untuk hijrah ke Habasyah, sebuah negeri Nasrani yang dipimpin oleh Najasyi, seorang raja yang dipandang cukup adil terhadap rakyatnya. Puluhan sahabat Rasulullah menetap di wilayah Nasrani tersebut.
Selama sepuluh tahun hidup di negeri orang, tentu bukan waktu yang sedikit untuk sebuah interaksi sosial yang bisa saling mempengaruhi. Ubaidillah bin Jahsy adalah salah seorang dari rombongan kaum Muslimin yang terpengaruh oleh budaya dan keyakinan masyarakat setempat. Awalnya ia tergoda untuk mengunjungi warung-warung minuman keras orang Habasyah. Selanjutnya, karena sering berada di tempat bermabuk-mabukan itu, lama-kelamaan pergaulannya dengan rakyat Habasyah membuat keyakinan dan perilakunya berubah drastis. Puncaknya, Ubaidillah keluar dari Islam alias murtad.
Dalam sejarah Islam, barangkali Ubaidillah bin Jahsy adalah fenomena pertama runtuhnya semangat keislaman akibat terkikis oleh arus lingkungan. Bagaimana seseorang dapat mengalami kemunduran di jalan dakwah yang telah ia tekuni bahkan hingga bertaruh nyawa? Secara maknawiyah mungkin itu adalah rahasia Allah SWT. Tetapi dengan kemampuan analisis dan daya ikhtiar, kita harus mencari sebab-sebabnya untuk menjadi pelajaran.
Selain faktor lingkungan, tekanan mental seseorang juga bisa mempengaruhi tingkah laku dan keimanan seseorang. Situasi ini kadang membuat manusia kehilangan keseimbangan dan akal sehatnya. Setiap perjuangan dakwah memang membutuhkn pengorbanan dan pengorbanan selalu identik dengan kesulitan dan penderitaan.
Namun tragisnya, kadangkala seseorang melarikan diri dari situasi kesulitan itu ke arah yang justru berlawanan dengan cita-cita awal perjuangannya. Sukar dibayangkan bagaimanakah seorang aktivis dakwah melarikan diri ke jalan yang bertentangan dengan tujuan dakwahnya sendiri? Tetapi inilah kenyataannya.
Tidak sedikit kasus yang mencerminkan realitas orang-orang yang terpental dari jalan kebenaran. Dalam salah satu riwayat dikisahkan, suatu ketika dalam perang Hunain, Abu Hurairah melihat laki-laki yang bertempur dengan sangat gigih dan membunuh banyak musuh. Dengan luka parah ia kemudian kembali dari pertempuran. Tetapi kemudian esoknya laki-laki itu meninggal. Mengetahui hal itu Rasulullah justru berkata, “Dia masuk neraka.”
Sebagian kaum Muslimin sempat meragukan pernyataan Rasulullah tersebut. Namun kemudian tersebarlah berita bahwa sesungguhnya laki-laki yang terluka sangat berat itu pada malam harinya tidak sabar atas sakitnya, kemudian ia bunuh diri. Berita itu kemudian disampaikan kepada Rasulullah. Maka beliau bersabda: “Allahu Akbar! Saksikan bahwa sesungguhnya aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya.“ Rasulullah selanjutnya berpidato di hadapan para sahabat.
“Sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali seorang yang jiwanya menyerahkan diri (kepada Allah). Dan sesungguhnya Allah mengokohkan agama ini dengan orang-orang yang berdosa (fajir).” (HR Muslim)
Lelaki itu sangat berjasa kepada dakwah Islam, karena ia membunuhi banyak musuh dalam perang Hunain. Tetapi saying ia mati bunuh diri lantaran tak kuat menahan sakit pada luka-luka di tubuhnya. Ini adalah contoh bagaimana seorang Muslim pada masa kenabian mengakhiri jalan dakwahnya dengan cara yang amat tragis.
Dua kisah di atas menjadi pelajaran pada kita, bahwa fenomena kegagalan seseorang untuk tetap berada di atas rel dakwah adalah problema yang muncul pada setiap zaman. Jangankan orang di zaman ini, orang-orang yang dibina langsung oleh Rasulullah pun ada yang akhirnya tergelincir. Jadi siapapun dapat terjangkit penyakit futur manakala membiarkan dirinya mengalami penurunan kualitas ruhani yang terus-menerus, sehingga akhirnya terlepas sama sekali dari komitmen terhadap ajaran Islam dan jamahnya.
Untung Wahono