Memaknai Kebhinnekaan Dari Secarik Kain Sarung

Ilustrasi, (Foto : Tim Kreatif)
17 Agustus merupakan moment yang sangat ditunggu–tunggu, khususnya bagi bangsa Indonesia karena pada tanggal inilah bangsa kita merdeka. Rasa bangga harus diwujudkan dengan semangat nasionalisme berbangsa dan bernegara.

Ekspresi mewujudkannya pun tidak harus sama, harus beragam. Misalkan menghias halaman rumah dengan simbol–simbol negara dan banyak lagi serangkaian cara yang bisa dilakukan demi menyambut hari kemerdekaan bangsa ini dengan semangat nasionalisme berbangsa dan bernegara.

Jangan seperti barisan sakit hati. Bagi mereka, 17 Agustus sama saja dengan hari–hari lainnya bahkan beberapa golongan barisan sakit hati mengharamkan untuk menyambut kemerdekaan yang menjadi ruh suatu bangsa ini. Parah sekali.

Baca Juga : 

Salah satu contohnya adalah hormat kepada Bendera Merah Putih yang dihukumi haram oleh mereka, tunduk kepada falsafah Pancasila pun dituding atau dianggap tunduk kepada Thoghut dan masih banyak lagi contoh paham-paham anti nasionalisme.

Pemahaman ekstrem ini tentunya bukan hal baru bagi kalangan warga NU “Lagu lama”. Banyak orang memahami dan beranggapan bahwa hubungan bangsa dan agama amatlah pelik dan ruwet. Ibarat air dan minyak, sangat sulit untuk menyatukan dua substansi yang berbeda.

Ditambah lagi dengan pemahaman terhadap agama yang didapatkan secara instan, sehingga sedikit–sedikit teriak “Kafir, murtad, ahli bid’ah” dan banyak lagi jargon–jargon yang mereka lontarkan dan ditujukan kepada kelompok tertentu.

Namun, mau tidak mau kita harus menyadari Indonesia dengan kondisi masyarakat yang sangat beragam dan heterogen. Tercatat dari tahun 2010 kurang lebih ada 1.331 kelompok suku di Indonesia, 652 bahasa daerah dan 5 kepercayaan serta banyak juga penganut pemahaman tertentu yang tersebar di negara ini.

Hal itu semakin menyadarkan kepada kita bahwa wacana kebangsaan merupakan hal fundamental yang harus senantiasa diperhatikan untuk memberi benang merah di tengah pluralitas kebangsaan yang dikenal dengan kebhinnekaan bangsa ini.

Representasi ruwetnya pemikiran ini sudah dapat dijumpai sejak zaman proses lahirnya negara Indonesia, dimana tujuh poin pertama pada piagam Jakarta menimbulkan kontroversi. Yang pada akhirnya dinafikan dengan butir baru pada Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Founding father bangsa ini tentunya bukan tanpa alasan. Indonesia bukan negara ekslusif bagi kalangan tertentu, namun rumah bagi semua golongan. Perseteruan antara kelompok agamis dan nasionalis memang hal yang asyik untuk diperdebatkan sehingga menghasilkan banyak pemikiran–pemikiran baru dan muncul slogan–slogan unik, seperti NKRI Bersyariat, Indonesia Bersyariat dan masih banyak lagi yang lainnya.

Pemikiran dan slogan tersebut tentunya tidak hanya pada satu golongan saja dan satu agama saja. Oleh sebab itu, sangat penting bagi kita untuk memahami makna kebhinnekaan itu sendiri.

Memahami kebhinnekaan tentunya tidak perlu diambil pusing, apa lagi diambil ruwet. Kata Gus Dur, “Gitu aja kok repot”.  Banyak sekali simbol–simbol sederhana di sekitar kita untuk memahami makna kebhinekaan itu sendiri, salah satunya adalah sarung. Busana style sederhana yang biasanya menjadi simbol seorang santri.

Makna kebhinnekaan sudah tertanam dengan otomatis dari citra seorang santri, salah satunya melalui penggunaaan kain sarung. Cobalah sesekali untuk mengamati dengan seksama style santri yang khas dengan sarungnya. Tidak perlu diterawang cukup dengan mata telanjang saja.

Kita tahu, semua itu terlihat sama dan penuh dengan warna dan corak, serta penuh kreasi style cara menggunakannya. Hal ini sudah menunjukkan bahwa sarung penuh dengan keragaman yang menjadi salah satu refleksi dari kebhinnekaan.

Baca Juga :

Sosok santri—kaum sarungan, merupakan simbol dari potret prototipe segala komponen diri bangsa Indonesia yang sesuai dengan jiwa santri yaitu mandiri, iman yang kuat, imun yang tangguh dan tentunya sami’na wa atho’na kepada kiai. Sikap tersebut merupakan salah satu simbol kepatuhan kepada falsafah Indonesia yaitu Pancasila.

Dengan demikian, jika kita refleksi kepada jiwa patriotisme, patuh kepada falsafah Pancasila dan hormat kepada bendera merah putih, bukan berarti bertentangan dengan syariah Islam atau agama lainnya dan menodahi simbol–simbol keagamaan yang sangat sakral.

Terkadang kita harus mencoba belajar dari sarung untuk memahami arti kebhinnekaan, meskipun secarik kain yang menutupi aurat dan organ penting lainnya bagi penggunanya.

Simbol sarung sama dengan negeri ini. Negeri ini akan kokoh jika rasa patriotisme, nasionalisme dipupuk secara kuat dan kokoh dalam bingkai kebhinnekaan bangsa yang sangat beragam ini.


Penulis : Achmad Taufik, Founder Padepokan Djanoko Sulek, Tlogosari, Bondowoso

Editor : Muhlas

LihatTutupKomentar

Terkini