Oleh, Dalem Tehang
“TERUS nanti kayak mana ngaji kita, Be? Siapa yang gantiin Hasbi ngajarinnya,” tiba-tiba Atmo membuka suara saat aku masih melipat pakaian untuk dimasukkan ke dalam tas kain kecilku.
“Siapa di kamar ini yang bisa ngajar ngaji ya,” tanyaku dan memandang semua penghuni kamar.
“Aku iso, Be. Aku biasa ngajar ngaji anak-anak di musolla dekat rumah,” sahut Dian sambil mengangkat tangannya.
“Beneran kamu bisa, Dian? Jangan ngawur tapi ngajarnya,” Hendri menyela.
“Yo iso-lah, Hen. Nek nggak iso, yo ora ngomong,” balas Dian sambil merengutkan wajahnya yang sangar.
“Oke, berarti Dian yang ngajar ngaji ya. Kalau imam solat, baiknya gantian. Jadi semua punya kesempatan belajar,” ucapku.
Seorang tamping mendekat ke jeruji besi, dan kemudian membuka pintu. Sambil menyerahkan dua kantong plastik berisi makanan, ia menyampaikan kepadaku jika nanti selepas solat Dhuhur akan menjalani proses pelimpahan.
“Yang bilang ke kamu kalau setelah dhuhur Babe mau pelimpahan siapa?” tanya Nedi kepada tamping.
“Tadi petugas piket mesen gitu, untuk disampein ke Babe,” sahut tamping itu.
Setelah tamping kembali mengunci pintu kamar, aku minta Nasir, Danu, dan Tri menyiapkan piring untuk kami sarapan. Hari itu, aku dikirim oleh istriku Laksmi, makanan lontong sayur untuk sarapan, yang diantar oleh sopirku, Rayhan.
Sambil menikmati sarapan, aku sampaikan kepada kawan-kawan penghuni kamar apakah akan segera ditunjuk siapa penggantiku sebagai kepala kamar juga OD menggantikan Hasbi yang baru saja pelimpahan, ataukah nanti malam dilakukannya setelah aku meninggalkan kamar tahanan.
“Baiknya Babe tunjuk aja siapa orang-orangnya,” kata Herman, menyarankan.
“Gimana yang lain. Coba kasih pendapat,” kataku.
Semua sepakat agar aku menunjuk penggantiku dan juga OD, sebelum aku meninggalkan kamar 10 untuk menjalani proses hukum selanjutnya, yaitu pelimpahan berkas perkara ke kejaksaan negeri.
“Kalau aku nunjuk pengganti, bukan berarti kita nggak berdemokrasi ya. Tapi karena kesepakatan kita semua di kamar ini. Musyawarah mufakat itu juga bagian dari demokrasi. Gimana kalau Nedi kepala kamar dan Nasir jadi OD. Sepakat nggak,” ujarku kemudian.
“Kami semua sepakat, Be. Nedi memang senior dan juga selama ini bisa nangani hal-hal yang diperluin. Nasir juga anaknya ringan tangan,” kata Hendri memberi pendapat.
“Oke, kalau kawan-kawan semua sudah sepakat. Tapi inget ya, aku nggak mau apa yang sudah kita putusin diprotes belakangan. Mulai saat ini, semua harus patuh dan loyal sama apapun keputusan Nedi, karena dia kepala kamar. Kalau ada yang macem-macem, kita pasti bakal ketemu di rutan,” ucapku.
Seusai sarapan, aku ke kamar mandi. Mengambil hp dan cargernya. Aku aktifkan telepon seluler itu. Ku hubungi istriku.
“Assalamualaikum, ayah. Gimana kabar ayah? Sehat terus ya,” sahut istriku dari seberang.
“Alhamdulillah sehat. Bunda sudah sehat ya,” ujarku.
“Iya, Alhamdulillah bunda sudah sehat. Sekarang lagi ada acara kantor di luar kota. Tapi cuma sampai siang nanti. Sore sudah pulang. Rencana mau langsung nengok ayah,” kata istriku, nada suaranya ceria.
“Alhamdulillah. Mau kasih kabar, bunda. Nanti habis dhuhur, ayah pelimpahan perkara. Ke kejaksaan negeri. Proses lanjutannya disana, dan tetep jalani penahanan. Masuk ke rutan,” kataku memberi kabar.
“Oh gitu. Terus kayak mana nanti? Sama siapa ke kejaksaannya? Itu Makmun lawyer ayah sudah tahu apa belum?” sahut istriku. Suaranya berubah, galau.
“Dari sini dikawal penyidik. Mestinya Makmun atau timnya ya sudah tahu agenda ini. Tolong bunda kasih tahu Laksa aja dulu. Minta dia nanti ke kejaksaan. Nemenin ayah sampai bunda dateng,” ujarku.
“Ya sudah, habis ini bunda telepon Laksa. Juga mastiin ke Makmun dan tim lawyer. Nanti bunda cepetin pulangnya. Doain semuanya lancar dan bunda bisa nemenin ayah juga di kejaksaan,” sahut istriku yang tampak diliputi keresahan.
“Nggak usah dipaksain kalau acara kantor bunda belum selesai ya. Lagian jarak posisi bunda sekarang kan cukup jauh,” kataku, mencoba menenangkan.
“Nggak jauh-jauh juga sebenernya. Paling satu jam setengah perjalanan sudah sampai ke kejaksaan. Doain bunda ya ayah,” sambung istriku, dan mematikan hubungan telepon selulernya.
Aku masukkan hp dan carger ke dalam kantong plastik kecil dan mengikatnya dengan karet, kencang-kencang.
“Mau dibawa ya om hp-nya?” tanya Nasir. Aku menggelengkan kepala.
“Kok diiket kenceng gitu?” tanya dia lagi.
“Mau om serahin sama pak Rudy, sesuai permintaan beliau waktu itu. Kamu baik-baik disini. Minta papamu ngurus, biar cepet pelimpahan. Nanti om titipin kamu sama pak Rudy,” kataku pada Nasir.
“Siap, om. Alhamdulillah sejak banyak yang tahu aku ponakan om, nggak ada yang berani macem-macem sama Nasir,” sahutnya sambil tersenyum.
“Kuncinya bukan soal kamu ponakan om, Nasir. Tapi pada pembawaanmu sendiri. Anaknya pejabat penting aja karena dia nganeh-nganeh disini, malah kena bagal habis, dan akhirnya dipindahin ke polsek penahanannya,” ujarku memberi pelajaran bagi Nasir untuk tetap pandai-pandai menempatkan diri dan tidak bergantung kepada siapapun.
“Nasir paham, om. Doain Nasir ya, om. Kuat jalani ini semua,” ujar Nasir lagi.
“Bawa santai aja. Anggep-anggep lagi tinggal di kontrakan. Nggak usah pengen tahu yang nggak perlu tahu. Nggak usah dengerin yang nggak perlu didengerin. Baik-baik bawa diri dan patuh sama aturan disini. Itu aja kunci tetep enjoy di tahanan itu, Nasir. Dan om yakin, kamu pasti bisa,” kataku mengurai pesan sederhana.
“Siap, om. Inshaallah Nasir bisa ikuti pesen om,” kata Nasir dan menyalamiku dengan kedua tangannya.
Tiba-tiba pintu kamar dibuka. Ngangin. Hendri, Dian, Nedi, Atmo, Herman, Nasir, dan Tri langsung keluar kamar. Aku pesankan kepada Tri untuk mengecek ke pos penjagaan. Jika ada pak Rudy, segera memberi kabar kepadaku.
Tidak berselang lama, Hendri masuk kembali. Ia langsung duduk di depanku. Yang masih santai menikmati kopi pahit sambil menyandarkan badan di tembok pemisah kamar mandi.
“Bisa ngobrol sebentar, Be. Ada yang penting dan pengen konsultasi,” kata Hendri, dengan suara pelan. Aku mengangguk.
“Jadi gini, Be. Kecurigaanku terbukti. Anak sulungku yang nggak pulang-pulang itu, ternyata emang kabur. Dia takut ditangkep polisi,” ucap Hendri dengan perlahan.
“Emang apa kasusnya?” tanyaku, tidak paham dengan yang dimaksud Hendri.
“Anakku itu kawannya Nasir, Be. Dia yang pinjem motor Nasir buat nyuri hp di konter waktu itu. Baiknya aku cerita apa adanya, apa nggak sama Nasir,” Hendri mengurai.
“Emang kamu tahu dari mana kalau anakmu itu yang kasusnya ngebawa Nasir jadi masuk sini?” tanyaku lagi dengan penasaran.
“Tadi pas ke pos penjagaan, ada istriku dateng. Diizinin petugas ngobrol sebentar. Dia cerita itu. Papanya Nasir juga sudah ke rumah. Dia tahu aku ada disini. Makanya aku bingung harus kayak mana ngadepin soal ini,” Hendri memberi penjelasan.
Aku terdiam. Perlu pertimbangan matang untuk memberi saran kepada Hendri. Bila dia bicara apa adanya pada Nasir, dipastikan ia akan menjadi sasaran amarah Nasir. Sesuai usianya, Nasir masih sering frontal dan amarahnya meledak-ledak. Tidak terkendali.
Namun jika tidak disampaikan, Nasrul papanya Nasir telah mengetahui bila ayah Makmur, kawan Nasir yang meminjam sepeda motor dan melakukan kejahatan, berada di dalam sel yang sama dengan Nasir.
“Jadi apa yang baiknya aku lakuin ya, Be?” tanya Hendri dengan wajah serius. Tampak sekali ia menyimpan beban batin yang sangat berat.
“Lihat perkembangan aja, Hen. Nanti pada saatnya, pasti ketemu jalan buat ngelakuin apa yang pas. Nggak usah jadi beban pikiranmu sekarang ini,” sahutku kemudian.
“Gimana nggak jadi beban pikiran, Be. Sejak awal Nasir ngenalin diri sama Babe di selasar dulu itu, feeling-ku sudah jalan. Jangan-jangan anak ini yang jadi korban perbuatan anak sulungku. Ternyata bener. Subhanallah. Jujur, Be. Aku nggak tahu harus kayak mana ngadepin masalah ini,” ucap Hendri, dengan suara bergetar. Penuh kebingungan.
“Ya sudah, kamu tenangin diri aja. Nggak semua persoalan harus nemuin jawabannya sekarang juga. Slow ajalah. Nanti pada saat diperluin, bakal ketemu jalannya. Yakini aja itu,” kataku sambil menepuk-nepuk bahu Hendri. Mencoba menenangkan. (bersambung)