NGAJISALAFY.com - Siapa sebenarnya yang pertama kali memiliki ide menciptakan tarkib “Ala Ma’na Gundul" yang hingga saat ini masih tetap digunakan sebagai standar pembacaan kitab kuning di hampir seluruh Indonesia. Nah tahukah anda siapakah orang yang pertama kali menciptakan tarkib tersebut? Ingin tahu yuk! kita simak penjelasannya dibawah ini:
Terdapat suatu keterangan dalam buku yang berjudul Rahasia Sukses Fuqoha’ disebutkan bahwa orang yang pertama kali yang menciptakan ma’na kitab gundul adalah kanjeng Sunan Ampel. Metode makna kitab gundul inilah yang digunakan oleh beliau saat mengajar santri-santrinya di pesantren “Ngampel Dento”, kemudian metode ini disebar luaskan santri santrinya ke segenap penjuru Jawa-Sumatra dan Madura. Sungguh langkah ini merupakan jasa besar yang patut dikenang dan mendapatkan penghargaan.
Dan ternyata satu-satunya yang paling peraktis dan paling efesien diantara metode-metode penerjemahan adalah motede “Ma’na Gundul”. Dengan menggunakan makna utawi, iku, sopo, opo dan makna isyarat yang lain, makna gundul lebih mudah untuk ditangkap. Coba kita bandingkan dengan pengi’raban model arabiyyah yang terlalu berbelit-belit, kita ambil contoh misalnya: زَيْدٌ قَائِمٌ kalau kita memakai ma’na gundul cukup: “utawi zaid iku wongkang ngadek”, tapi kalau kita menggunakan medel pengi’raban terlalu panjang dan jelemit:
زًيْدٌ مُبْتَدَأٌ مًرْفُوْعٌ وَعَلاَمَةُ رَفْعِهِ ضَمَّةٌ ظَاهِرَةٌ
قَائِمٌ خَبَرُهُ مَرْفُوْعٌ بِالْمُبْتَدَاءِ وَعَلاَمَةُ رَفْعِهِ ضَمَّةٌ ظَاهِرَةٌ
Dengan utawi berarti sudah menunjukkan tarkibnya sebagai mubtada dan cukup ditandai dengan huruf mim (م) begitu juga dengan makna iku yang berarti sudah menunjukkan khobar dan cukup ditandai dengan huruf kho (خ).
Kelebihan lain dari makna gundul adalah pada ketetapan menterjemah kosa kata (mufradat) sebab dengan makna gundul satu persatu lafadz dipreteli dapat mengetahui maknanya dengan sangat jelas. Oleh karena itu, untuk menjadi qori’ (pembaca) kitab yang handal harap paham betul “nahwu, shorof, ma’ani, balaghoh, jangan sampai hanya manut pada apa yang pernah di dengar dari gurunya atau kiyainya saja tanpa meneliti lebih jauh menurut tata bahasa yang benar.
Demikianlah penjelasan tentang mengenal orang yang menciptakan rumusan utawi iki iku. Wallhu ‘A’lam