NGAJISALAFY.com | Berikut ini kami ada akan menjelaskan lafadz atau kalimat yang sepintas tidak mengikuti Qaidah atau aturan ilmu Nahwu hanya saja lafadz tersebut ditemukan dalam al-Qur’an. Padahal kita tahu bahwasanya bacaan (qiraat) yang terdapat dalam al-Qur’an itu dinyatakan benar apabila memenuhi tiga unsur atau rukun:
- Sesuai dengan ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab)
- Standar penulisan harus sesuai (dengan rasm usmaniy).
- Memiliki sanad yang sambung secara mutawatir.
Keterangan diatas itu sesuai dengan apa yang telah dikatakan oleh imam al-Jazir berbunyi:
فَكُلُّ مَا وَجْهَ النَّحْوِ # وَكَانَ لِلرَّسْمِ إِحْتِمَالاً يَحْوِي
وَصَحَّ إِسْنَادًا هُوَ الْقُرآنُ # فَهَذِهِ الثَّلاَثَةُ الْأَرْكَانُ
وَحَيْثُمَا يَخْتَلَّ رُكْنٌ أَثْبِتِ # شُذُوْذَهُ لَوْ أَنَّ فِي السَّبْعَةِ
Artinya:
Sesuai dengan ilmu Nahwu (gramatika bahasa arab), standar penulisan harus sesuai.
Dan memiliki sanad yang sah yakni al-Qur’an, maka inilah ketiga rukunnya
Dan ketika tidak ada salah satu dari rukun tersebut, maka bisa dikatakan bacaan itu syadz meskipun terdapat dalam qiraah sab’ah
Sebelum kita membahasa lebih dalam, pertama-tama kita harus menyakini bahwa apa yang terdapat di dalam al-Qur’an itu sudah benar baik dari segi qiraah (bacaan) maupun qaidah bahasa atau ilmu Nahwunya. Karena yang terdapat dalam al-Qur’an, baik dari segi huruf-hurufnya dan cara bacanya sudah mutawatir dari Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan mutawatir disini adalah:
حَيْثُ رَوَاهُ الْجَمْعُ مِنَ الْقُرَّاءِ اَللَّذِيْنَ يَسْتَحِيْلُ تَوَاطَؤُهُمْ عَلىَ الْكَذِبِ
Artinya: "yang menceritakan itu adalah banyak orang dari ahli qurro’ dan mustahil untuk berbohong”
Berikut ini penjelasan tentang lafadz 'alaihu (عَلَيْهُ)
Lafadz ini terdapat dalam al-Qur’an surat al-Fath ayat 10 berbunyi:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya:“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (QS al-Fath: 10)
Penjelasan Rinci
- Dari Segi Qira’ah
Adapun penjelasan lafadz ‘alaihu (عَلَيْهُ) jika ditinjau dari segi qiro’ah (bacaan) maka imam Ibn Mujahid menjelaskan pada lafadz tersebut dalam kitabnya yang berbunyi:
قوله وَمَنْ أَوْفىَ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللهَ قرأ حفظ عن عاصم عليه مضمومة الهاء وقرأ الباقون عليه بكسر الهاء
(السبعة في القراءات ص: ٦٠٣)
Dari redaksi diatas bahwa imam Hafs dari ‘Ashim membaca lafadz ‘Alaihu (عَلَيْهُ) dengan harakat dhammah ha’nya, dan selain imam Hafs membaca (عَلَيْهِ) dengan harakat kasroh ha’nya. Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan diantara ulama ada yang membaca (عَلَيْهُ) dan (عَلَيْهِ).
- Dari Segi Ilmu Gramatikal
Jika ditinjau dari segi ilmu gramatika bahasa Arab atau qawaidul lughohnya hal ini sebagaimana dikatakan oleh imam Sibawaih ketika menjelaskan tentang cara baca ha’ dhamir apakah dibaca dhammah atau kasroh.
الكتاب – لسبويه ص: ٣٨٢
باب ما تكسر فيه الهاء التي هي علامة الإضمار : إعلم أن أصلها الضمّ وبعدها الواو، لأنها في الكلام كله هكذا، إلا ان تدركها هذه العلة التي اذكرها لك. وليس يمنعهم ما أذكر لك أيضا من أن يخرجها على الأصل. فالهاء تكسر إذا كان قبلها يَاءٌ أو كسرةٌ، لأنها خفية كما أن الياء خفية
Artinya
“Ketahuilah bahwa asal dari dhamir tersebut adalah dhammah (karena disini merujuk pada dhomir munfasil dan dhomir yang terdapat pada lafadz ‘Alaihu (عَلَيْهُ) adalah dhomir muttasil) dhamir muttasil itu sama dengan domir munfasil dibaca dhammah yakni (هُ) dan setelelah dhomir tersebut disambung denga wawu jadi هُوَ karena sesuggunya dalam susunan kata itu begitu. Kecuali jika terdapat sebuah alasan yang akan saya sebutkan. Dan itupun tidak dapat mencegah dhammah pada lafadz tersebut. Adapun illat tersebut sebagai berikut: ha’ dibaca kasroh apabila sebelumnya berupa huruf ya atau kasroh seperti (عَلَيْهِ، بِهِ) dengan alasan karena kasroh itu ringan begitu juga dengan ya’.”
- Dari Segi Ma’na
Menurut pendapat sayyid al-Tantawi dalam kitabnya yang berjudul al-Wasith berbunyi:
والهاء في قوله: عَلَيْهُ قرأها حفص بالضمّ، توصلا إلى تفخيم لفظ الجلالة، الملائم لتفخيم أمر العهد المشعر به الكلام، وقرأها الجمهور بالكسر
Imam Hafs dalam hal ini memilih dibaca dhammah dengan alasan karena setelah lafadz ‘alaihu (عَلَيْهُ) itu terdapat lafadz jalalah (الله) sehingga ini sangat penting dibaca dhammah untuk menyesuaikan pada lafad jalalah tersebut atau karena mengagungkan lafadz Allah (لِلتَّعْظِيْمِ).
Redaksi lain menyebutkan bahwa pada ayat tersebut menjelaskan tentang perjanjian sulhu hudaibiyah yang mana disini menujjukan sangat pentingnya perjanjian sulhu hudaibiyah sehingga ummat Islam jangan main-main dalam melafadzkan ‘alaihu (عَلَيْهُ) yakni dengan dibaca dengan keras. Sedangkan menurut ulama yang lain dibaca kasroh (عَلَيْهِ).
Demikianlah penjelasan tentang alasan dibaca 'alaihu (عَلَيْهُ) bukan 'alaihi Qur'an surat al-Fath Ayat: 10