Oleh : Helmi Hidayat
Abu Nuwas tergopoh-gopoh menuju istana. Dia dipanggil mendadak oleh Khalifah Harun Al-Rasyid. Di istana dia melihat khalifah sedang berbincang dengan gubernur Baghdad, Syekh Jamil Albari. ‘’Oh, gara-gara gubernur saya dipanggil,’’ gumam Abu Nuwas dalam hati.
Tebakan Abu Nuwas tepat. Belum duduk, pujangga Baghdad ini langsung kena semprot. Khalifah kecewa Abu Nuwas, sesuai laporan gubernur, memprovokasi masyarakat agar memboikot program balap unta yang hendak digelar Syekh Jamil.
‘’Sebenarnya saya tidak memprovokasi masyarakat agar memboikot rencana balap unta itu, paduka yang mulia. Hamba hanya bertanya pada masyarakat, buat apa ratusan juta dirham dihambur-hamburkan hanya untuk menonton unta kabur? Padahal dana itu kan bisa digunakan untuk mengatasi banjir atau membuat perumahan murah,’’ jelas Abu Nuwas.
Khalifah melirik sang gubernur.
‘’Masyarakat Baghdad sebenarnya tidak butuh balap unta kabur,’’ lanjut Abu Nuwas. ‘’Pajak yang mereka bayarkan kepada pemerintah bukan untuk melihat unta lari, tapi bagaimana Baghdad terbebas dari banjir. Itu saja sudah cukup. Berapa banyak bisnis mereka hancur akibat banjir.’’
‘’Baginda jangan terprovokasi Abu Nuwas,’’ sergah Syekh Jamil Albari mulai sewot. Dia takut khalifah terpengaruh, lalu program balap unta kabur dibatalkan. ‘’Saya janji, ini bukan balap unta biasa. Ini balap unta kerdil, pasti menarik,’’ lanjutnya merayu.
Abu Nuwas tak mau kalah. Reputasinya sebagai pujangga kelas kakap bisa hancur jika dia kalah argumentasi. Dia sampaikan pada khalifah bahwa untuk membuat Baghdad bebas dari banjir, Syekh Jamil Albari sebenarnya hanya tinggal meneruskan program Syekh Zaenuddin Dahyari, gubernur Baghdad sebelumnya, yang membuat dinding kokoh di sepanjang tanggul sungai Tigris. Proyek ini berhenti di tengah jalan karena Syekh Zaenuddin keburu pensiun.
Kata Abu Nuwas, proyek itu sebenarnya hampir selesai. Tapi, karena Syekh Jamil gengsi tak mau melanjutkan program gubernur sebelumnya, akibatnya fatal. Rumah-rumah di bantaran sungai Tigris yang bertanggul beton tidak banjir, sebaliknya rumah-rumah di sepanjang tanggul yang belum dibeton tenggelam. Padahal, sisa tanggul yang belum dibeton hanya tinggal tiga kilometer ke laut.
‘’Paduka yang mulia bisa bayangkan, daripada pajak rakyat digunakan untuk menonton unta kabur, kan lebih baik untuk membuat dinding di tanggul sungai Tigris,’’ jelas Abu Nuwas, mulai jengkel.
Tapi, karena Syekh Jamil terus ngotot, bahkan berargumetasi balap unta kerdil ini akan membuat Baghdad jadi lebih populer di mata dunia, Abu Nuwas akhirnya melemparkan senjata terakhir.
‘’Begini saja, kita buktikan di lapangan, apakah masyarakat Baghdad benar-benar membutuhkan balap unta atau ingin kota mereka bebas banjir. Biarkan mereka berkumpul di lokasi lomba. Jika nanti mereka menyaksikan balap unta itu dari awal sampai akhir, silakan gubernur menyita rumah saya, ambil semua kekayaan saya. Tapi, jika masyarakat membelakangi lokasi lomba, 100 unta yang diperlombakan jadi milik saya,’’ tantang Abu Nuwas.
Ini sinting, pikir Syekh Jamil. Abu Nuwas pasti kalah. Bagaimana mungkin semua penonton akan membelakangi lokasi lomba secara bersamaan?
Usai pertaruhan yang disaksikan khalifah itu, mereka bubar. Gubernur girang, proyek mercusuar yang bakal melambungkan namanya tetap diizinkan jalan.
Diam-diam Abu Nuwas lalu mendatangi rumah-rumah penduduk sambil membagikan kuis. Juara pertama dijanjikan dapat 15 unta, juara kedua dapat 10 unta, dan juara ketiga dapat lima unta. Kuis harus mereka isi di lokasi balap unta, persis di jam yang sama ketika balap unta digelar.
Benar saja, di hari lomba unta digelar, hampir seluruh penduduk Baghdad hadir. Mereka datang bukan karena tertarik pada lomba unta kontet, tapi tergiur oleh kuis Abu Nuwas.
Beberapa menit sebelum lomba dimulai, khalifah dan gubernur berdiri di panggung. Di depan mereka terbentang tanah luas buat 100 unta berlarian. Penduduk Baghdad berdiri berseberangan dengan kedua pejabat tinggi itu. Di mana Abu Nuwas? Dia berdiri paling belakang penonton. Rupanya, dia sudah memberi kode dalam lembar kuis, pertanyaan akan dibuka oleh Abu Nuwas sendiri persis ketika peluit lomba unta kabur dibunyikan.
Begitu pluit balap unta ditiup, duaaaaaarrrr … serempak semua penonton justru berbalik membelakangi khalifah dan gubernur, tak peduli unta-unta kontet berlarian di belakang mereka. Tak ada sorak, tak ada sorai, semuanya mendekat ke arah Abu Nuwas yang membentangkan kain lebar berisi pertanyaan kuis …
Khalifah melongo, geleng-geleng kepala. Gubernur menangis kalah bertaruh. Abu Nuwas terkekeh-kekeh menyita 100 ekor unta yang diperlombakan, lalu menyerahkan 30 unta kepada para juara lomba kuis yang dia gelar.
Mengapa semua penduduk Baghdad lebih tertarik mengikuti lomba kuis ketimbang menyaksikan balap unta kontet?
Rupanya Abu Nuwas sejak awal berjanji pertanyaan akan dibuat semudah mungkin, sementara hadiahnya menggiurkan. Ada tiga pertanyaan dalam kuis itu:
1) Anda dukung gubernur gelar balap unta atau atasi banjir?
2) Pajak rakyat sebaiknya untuk balap unta atau bangun perumahan murah?
3) Benarkah Baghdad perlu dibuat terkenal lagi di seluruh dunia hanya oleh lomba unta kabur?
Juri untuk kuis ini sebenarnya tidak ada sebab Abu Nuwas buru-buru pergi menyelamatkan 100 ekor unta yang diperlombakan dan kini jadi miliknya. Sekarang Andalah, pembaca, juri lomba kuis ini. Tentukan siapa pemenangnya!