Di Minyak Buntung, Momentum RI Dapat Berkah Dari Batu Bara!

Harga sejumlah komoditas dalam hal ini minyak mentah dunia, gas dan batu bara tengah mengalami gejolak yang luar biasa. Harganya naik 'gila-gilaan' dipicu perang antara Rusia dan Ukraina.

Nah, untuk Indonesia sendiri, tentunya punya dampak yang negatif dan positifnya atas bergejolaknya harga sejumlah komoditas itu. Misalnya saja untuk minyak mentah, selaku negara net importir atau pengimpor minyak, kenaikan harga ini tentu membuat Indonesia buntung, karena Indonesia saat ini mengimpor kebutuhan minyak sebanyak 500 ribuan barel, apalagi di tengah Indonesia yang menganut sistem subsidi.

Anggaran negara atas pembelian impor minyak tentu akan jebol dan tidak sesuai dengan asumsi APBN dalam pembelian minyak mentah yang saat itu diasumsikan mencapai US$ 63 per barel dari harga yang saat ini sudah menembus US$ 100-an per barel.

Meski di sektor minyak Indonesia buntung, sejatinya Indonesia akan memiliki keberkahan di sektor batu bara. Saat ini, harga batu bara juga bergejolak naik sampai pada level US$ 358,45 per ton pada Kamis (3/3/2022) bahkan sempat menyentuh US$ 446 per ton pada (2/3/2022).

Hal ini tentunya jadi momentum pemerintah mendapatkan berkah atas kenaikan harga itu. Maklum, Indonesia memiliki pasar ekspor batu bara yang besar ketimbang di dalam negeri. Dari produksi batu bara Indonesia yang mencapai 663 juta ton, sebanyak 497,2 juta tonnya dijual secara ekspor dan sisanya 165,7 juta ton untuk dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO).

"Dengan skema harga yang tinggi ini seharusnya pemerintah pun mendapatkan devisa melalui PPn dan PPh, termasuk juga royalti. Secara otomatis ada penambahan penerimaan negara," ungkap Pengamat Hukum Sumber Daya Untar, Ahmad Redi kepada CNBC Indonesia, Jumat (4/3/2022).

Seperti yang diketahui sebelumnya, berdasarkan dokumen yang diterima oleh CNBC Indonesia, tercatat bahwa pemerintah mengusulkan agar tarif royalti ekspor batu bara dan domestik dikenakan secara progresif. Hal ini untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor batu bara saat harga sedang mengalami kenaikan.

Tarif royalti progresif itu berdasarkan tingkat harga batu bara. Misalnya, harga batu bara mencapai US$ 70 per ton ke bawah, maka royalti yang akan dikenakan mencapai 14%. Jika harga batu bara US$ 70 - US$ 80, royalti mencapai 16%. Kemudian harga batu bara US$ 80 - US$ 90 per ton royaltinya 19%, dan harga batu bara US$ 90 - US$ 100 royaltinya mencapai 22%. Adapun jika harga batu bara di atas US$ 100 maka royalti yang dikenakan mencapai 24%.

Seperti yang diketahui, saat ini penerapan royalti batu bara dikenakan secara patokan. Berapapun harga batu bara acuan royalti hanya dikenakan 13,5% - 14%.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia membenarkan bahwa saat ini pemerintah sedang membahas mengenai perubahan royalti untuk perusahaan pertambangan batu bara.

"Pemerintah sedang menggodok bahwa tarif royalti IUP pun akan dinaikan yang saat ini 3, 5, 7%. Dan tadi saya katakan IUPK akan dinaikan dalam waktu dekat yang saat ini 13,5%, jadi luar biasa tingginya royalti kita," ungkap Hendra.

Hendra menyampaikan, belum ada lagi pembahasan mengenai royalti tersebut, pun pembahasan mengenai solusi jangka panjang khususnya pembentukan entitas khusus batu bara dan iuran gotong royong. "Belum ada pertemuan lagi (dengan pemerintah)," tandas Hendra.

Yang jelas, kata Hendra, saat ini di tengah harga yang sedang tinggi, anggota APBI tetap berkomitmen untuk melaksanakan kewajiban kontraktual pasokan batu bara kepada PT PLN (Persero).

Ekonom Senior Faisal Basri menyatakan bahwa saat ini kontribusi perusahaan pertambangan batu bara melalui royalti, yang mana royalti tersebut pun hasilnya dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Sejatinya, kata Faisal, negara memiliki otoritas untuk mengambil sebagian dari windfall tax yang dinikmati industri batu bara, yang saat ini harganya tengah mengalami kenaikan sangat tinggi.

"Jadi negara harusnya punya kuasa, sebagaimana diterapkan di CPO, yang ada windfall yang dinikmati eksportir dikenakan pajak ekspor dan juga bea CPO untuk misalnya stabilisasi harga minyak goreng, untuk replanting petani sawit walaupun dapatnya sedikit. Tapi prinsip dasarnya ada fungsi re-distribusi yang didapatkan oleh negara , untuk dinikmati oleh rakyat secara keseluruhan," terang Faisal Basri kepada CNBC Indonesia, Jumat (11/2/2022).

Tanpa adanya pajak atau windfall tax untuk batu bara, nilai ekspor batu bara saat ini dinikmati sepenuhnya oleh perusahaan batu bara. Ia mencatat seusai dengan Kode HS 72 (batu bara) penerimaan ekspor batu bara nyaris Rp 500 triliun atau US$ 33 miliar.

"Katakanlah kalau kita lihat di kode HS 72. Batu bara itu penerimaan ekspornya nyaris Rp 500 triliun atau US$ 33 miliar. Dinikmati oleh sepenuhnya oleh pengusaha batubara tanpa sebagian kecil sekalipun diambil wind fall-nya diambil oleh negara," ungkap Faisal Basri.

Oleh karena itu, dengan adanya pajak ekspor batu bara itu, ia membayangkan pemerintah dan pengusaha akan bahagia. Redistribusi dan juga bea batu bara bisa digunakan untuk membiayai Renewable Energy atau transisi energi yang sedang digalakkan oleh pemerintah untuk mencapai netral karbon atau net zero emission di tahun 2060.

"Nah batu bara tidak perlu lagi dikenakan DMO dan macam macam, karena nanti uang yang diambil pemerintah bisa membiayai PT PLN (Persero) kalau pemerintah tidak ingin tarif listrik turun. Intinya kepastian untuk industri batu bara tidak serta merta dilarang ekspor, itu ngaco juga menurut saya," tandas Faisal Basri.[cnbcindonesia.com]
LihatTutupKomentar

Terkini