Kuasa hukum Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyebutkan tindakan warga Padang, Hardjanto Tutik menarik Presiden sebagai pihak tergugat merupakan hal yang keliru.
Presiden sebagai kepala pemerintahan telah mendelegasikan kewenangannya kepada Menteri untuk melaksanakan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang masing-masing.
"Sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan," kata kuasa hukum presiden, Khaidir dalam jawaban tertulisnya di sidang Pengadilan Negeri Padang, Rabu (9/3/2022).
Khaidir menyebutkan dalam Pasal 7 UU No. 39 Tahun 2008 itu disebutkan kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Khaidir juga menyebut PN Padang tidak berwenang mengadili perkara yang dimohonkan penggugat karena yang dimohonkan adalah menyangkut tindakan administrasi negara.
Sementara kuasa hukum Menteri Keuangan, Ayu Fitriana dalam jawabannya mengatakan eksepsi gugatan kabur karena penggugat tidak menguraikan bentuk, jenis atau dengan cara bagaimana tergugat Menteri Keuangan disangkakan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Ayu menyebutkan Keputusan Menteri Keuangan 466a/1978 tidak bertentangan dengan asas fiksi hukum.
"KMK ditetapkan pada 28 November 1978 sedangkan UU 12/2011 yang jadi acuan penggugat ditetapkan pada 12 Agustus 2011 sehingga bagaimana mungkin suatu kebijakan pemerintah yang diambil pada tahun 1978 mendasarkan pada regulasi yang pada saat itu belum ada," kata Ayu.
Ketua Majelis Hakim Ferry Hardiansyah mengatakan sidang akan dilanjutkan pada Rabu (23/3/2022) mendatang dengan agenda jawaban dari penggugat.
Sebelumnya diberitakan, Pengadilan Negeri Padang, Sumatera Barat mulai menyidangkan kasus gugatan utang Presiden Republik Indonesia terhadap warga Padang, Hardjanto Tutik.
Sidang perdana itu dipimpin majelis hakim Ferry Hardiansyah (hakim ketua), Yose Ana Rosalinda (anggota) dan Egi Nofita, Kamis (24/2/2022) di PN Padang dengan agenda pembacaan gugatan.
Kuasa hukum penggugat Amiziduhu Mendrofa mengatakan, orangtua kliennya, Lim Tjiang Poan telah meminjamkan uang sebesar Rp 80.300 pada negara pada tahun 1950.
Saat itu, negara dalam keadaan krisis dan mengeluarkan kebijakan Undang-undang Darurat RI No. 13 tahun 1950 tentang pinjaman darurat, yang ditetapkan di Jakarta tanggal 18 Maret 1950 dan ditandatangani Presiden RI Soekarno.
Jika ditotalkan utang ditambah bunga maka didapat utang yang harus dibayarkan negara sebanyak 63,913 kilogram emas murni atau sekitar Rp 60 miliar.
Mendrofa menyebutkan dalam gugatannya alasan tergugat tidak mau mengembalikan utang karena sudah kedaluwarsa tidak sesuai dengan asas fiksi hukum yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Untuk itu Mendrofa meminta majelis hakim menghukum tergugat 1 (Presiden RI) dan tergugat 2 (Menteri Keuangan) membayar pinjaman pokok dan bunga yang dikonversikan dalam emas murni menjadi 63,913 kilogram.
Seperti diketahui, seorang warga Padang, Sumatera Barat, Hardjanto Tutik menggugat Presiden Joko Widodo terkait utang Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1950.
Selain Presiden Joko Widodo, Hardjanto juga menggugat Menteri Keuangan dan DPR RI ke Pengadilan Negeri Padang.
Hardjanto merupakan anak kandung dari Lim Tjiang Poan, yang merupakan pengusaha rempah yang meminjamkan uang kepada Pemerintah Republik Indonesia tahun 1950 lalu.
Sebelum masuk ke dalam sidang gugatan, PN Padang sudah memfasilitasi mediasi kedua pihak.
Mediasi yang difasilitasi hakim Reza Himawan Pratama itu tidak menemui kesepakatan antara penggugat dengan tergugat.
Tergugat Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan dan ikut tergugat DPR RI tidak bersedia membayar utang tersebut. [kompas.com]