Balada Seorang Narapidana (Bagian 100)


Oleh, Dalem Tehang

     

COBA, gimana nurut kamu, Hasbi. Bener kan kita nggak perlu terus-terusan dibayangi pikiran sama hal-hal yang belum tentu kejadian?” tanyaku, sambil terus menikmati mie rebus.


“Bener itu, Be. Sebenernya, memang bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi ketakutan itu yang membuat kita merasa sulit. Jadi baiknya, jangan mempersulit keadaan yang jelas-jelas belum terjadi apa-apa,” ucap Hasbi.


“Kadang-kadang, kitanya tenang, tapi kawan yang ngebuat kita jadi ketakutan,” sahut Nedi.


“Biasa itu, om. Karena kawan kan juga banyak karakternya. Ada kawan yang asyik, ada yang baik, ada yang licik, ada yang munafik, bahkan banyak juga kawan yang syirik. Yang penting, tetep saja menjadi diri sendiri,” sambung Hasbi dengan kalem. 


“Jadi, nikmat-nikmati ajalah kenyataan ini apa adanya, biar hati tetep tenang. Gitu kan, Hasbi,” sela Tomy.


“Iya, gitu saja. Saya inget, seorang filosof pernah bilang begini; jika kamu menderita, nikmatilah, sebab penderitaan itu membersihkan hati dan membuka jalan bagi masuknya cahaya Tuhan,” sahut Hasbi. Ada senyum tulus di sudut bibirnya.


Kami semua terbawa dengan untaian kata dari mulut Hasbi. Meski masih muda usia, pemahamannya terhadap ilmu agama sudah cukup matang. Hal ini, perlahan tapi pasti, disadari ataupun tidak, telah membawa kami pada suasana kehidupan agamis di dalam penjara.


“Nurut kamu, yang paling penting harus kita jaga selagi di penjara gini apa, Hasbi?” tanya Dian.


“Jaga saja hati kita, untuk tetap sehat dan bercahaya,” tanggap Hasbi. Dengan gaya khasnya; santai dan tetap merendah.


“Maksudnya kayak mana?” Dian bertanya lagi.


“Menurut buku yang pernah saya baca, hati manusia itu terbagi tiga, pakde. Hati yang sehat, hati yang sakit, dan hati yang mati,” kata Hasbi. 


“Jelasin yang rinci dong, Hasbi,” Nedi menyela.


“Hati yang sehat itu disebut juga hati bercahaya. Ini punyanya orang yang beriman, yang ikhlas pada kondisi apapun, dan penuh cinta kasih dengan sesama. Terus hati yang sakit, diwujudin sama perilaku orang yang sedikit-sedikit jengkel, dendam, su’udzon, suka marah, menghasut, ghibah, dan sebagainya itu. Kalau hati yang mati, milik orang yang ingkar dan durhaka sama Allah dan Rasulullah,” urai Hasbi panjang lebar.


“Kamu ini kelihatan selalu tenang, pasti ada kan sesuatu yang kamu jadiin pegangan selama di bui ini. Kalau boleh tahu, apa itu Hasbi,” ujar Atmo.


“Sebenernya saya juga diliputi kegalauan kok. Bohong kalau selalu tenang hati ini. Tapi, setiap kali rasa galau dan menyayat itu datang, saya ingat pesan ibu,” sahut Hasbi. Suaranya datar.


“Emang apa pesan ibumu?” tanya Atmo, memotong.


“Dia bilang begini; anakku, selama kamu menjalani kehidupan di penjara, carilah kebenaran, bukan pembenaran. Dengan begitu, kesalahan dalam dirimu bisa diperbaiki. Tapi kalau kamu mencari pembenaran, kesalahanmu akan semakin bertambah parah,” ucap Hasbi, mendadak suaranya dihiasi dengan nada kesedihan.


Sesaat kami semua terdiam. Masing-masing mencoba menelaah pesan ibu Hasbi, yang begitu sederhana namun sarat makna. 


Dan saat itu juga, aku rasakan betapa ada desir angin kedamaian menyusup pada jiwa. Berkat untaian perkataan yang menjadi makanan sanubari dalam perbincangan ringan ini. Sebuah perdialogan pengisi batin yang lahir dari mulut dan hati orang-orang yang tengah di bui.


Tidak berselang lama, terdengar suara mengaji dari masjid di samping mapolres. Pertanda sebentar lagi waktu Subuh menjelang. Hasbi dan Atmo mendadak bangkit. 


Setelah membersihkan piring bekas kami  makan mie instan, Hasbi buru-buru wudhu. Menyusul Atmo yang sudah mengambil air untuk sahnya solat itu, terlebih dahulu.


“Kalian solat di tempatku aja. Aku turun ke bawah,” kataku pada Hasbi dan Atmo.


Tidak lama kemudian, keduanya memulai solat tahajud. Di bidang tempatku selama ini tidur. Aku bergabung dengan kawan-kawan lain yang duduk santai di lantai bawah. 


Sambil menyandarkan badan di pintu kamar, ku pandangi Hasbi dan Atmo yang tengah menyatukan jiwa, raga, dan pikirannya pada Yang Maha Kuasa. Begitu damai yang mereka rasakan.


“Nggak terasa, sudah mau pagi lagi. Sebentar kemudian, sudah siang. Terus sore, lanjut malem. Pagi lagi. Jadi apalah hidup kita ini,” tiba-tiba Dian mengeluarkan gerutuan.


“Jangan ngomelin kehidupan, pakde. Kalau masih mau hidup bener,” kata Nedi, menyela gerutuan Dian.


“Yo bukan ngomelin kehidupan maksudnya, Nedi. Cuma kok yo kayak gini to uripku sekarang. Kebayang juga nggak pernah, bakalan masuk penjara kayak gini,” ujar Dian. Suaranya memelas.


“Ini sudah takdir kita, Dian. 50 ribu tahun sebelum kita lahir, garis tangan hidup kita sudah ditulis sama Tuhan. Jadi ya sudah, ikhlas aja,” kata Hendri. Mencoba menenangkan.


“Aku juga paham soal itu, Hen. Cuma aku ngerasa gagal aja jadi manusia bersih karena masuk penjara gini,” lanjut Dian.


“Ukuran orang bersih atau kotor itu bukan karena masuk penjara apa nggak, pakde. Lagian, kalau pakde itu muslim yang tawakkal, sebenernya nggak pernah ada kata gagal. Yang ada, keberhasilan yang dikasih sama Tuhan, beda sama yang kita mauin. Itu aja kok sebenernya,” urai Nedi dengan suara santai.


Aku makin hanyut dengan perdialogan sesama penghuni kamar 10, yang ternyata, penuh untaian kata bijak dan perlahan begitu dalam merasuki sukma.


Sungguh tidak ku sangka, para pelaku kriminal ini memiliki pengetahuan keagamaan dan pemahaman kehidupan yang luas dan sederhana dalam mengekspresikannya.


Suara adzan Subuh menggema. Menyeruak ke dalam sel. Tanpa diperintah, semua bangun dari tempat duduk masing-masing. Hanya Pepen yang kembali ke tempatnya, dan merebahkan badan. Kami bergantian ke kamar mandi, wudhu. Seusai solat jamaahan, membaca surah yasin secara bersamaan.


Berselang sekitar setengah jam setelah kami selesai prosesi mengisi batin dengan membaca surah yasin, pintu kamar sel dibuka. Waktu untuk berolahraga. 


Aku langsung keluar kamar. Menggerakkan badan di selasar. Mencari keringat. Melawan demam yang hampir semalaman bersemayam di badan. Sambil membuka kaos, aku berjalan bolak-balik di sepanjang selasar. Hingga keringat bercucuran.


Setelah aku duduk ndeprok di sudut selasar, Hasbi mengantarkan secangkir kopi pahit. Juga membawakan rokok dan kue bolu kiriman dari adik istriku, Laksa. 


Nedi, Hendri, Herman, Dian, dan Irfan juga Pepen langsung bergabung. Beberapa tahanan dari kamar lain juga menimbrung. Memperbincangkan berbagai hal dengan ringan di pagi hari itu. Sambil menikmati sorot mentari yang mulai bergerak meninggi dan memanas.


Seorang pemuda tampan berusia sekira 23 tahunan mendekat, setelah berbicara dengan dua tahanan lain. Tidak jauh dari tempat kami bercengkrama.


“Om Mario ya?” tanya pemuda itu dan menyalamiku dengan kedua tangannya, setelah duduk di dekatku. 


“Iya, saya Mario. Kamu siapa?” sahutku. Pendek.


“Saya Nasir, om. Anaknya Nasrul, temen om waktu kuliah,” jelasnya. Aku mengernyitkan dahi. Mengingat-ingat nama Nasrul yang ia sebut.


“Kata papa, dulu om suka pakai motor vespa kalau ke kampus dan papa sering nebeng. Juga sering nginep di rumah om. Ngebuat tugas dari dosen, barengan,” lanjut Nasir, mencoba membangun ingatanku akan hubungan dengan papanya, Nasrul.


“O iya, om inget. Papamu itu orangnya disiplin, tegas, dan pinter. Sekarang kalau nggak salah jadi pengacara ya,” ucapku begitu sudah teringat pada Nasrul. Salah satu sahabat yang cukup dekat semasa kuliah.


“Iya, om. Papa sekarang pengacara. Kemarin dia dateng kesini. Terus pesen disuruh cari om dan ngenalin diri. Makanya Nasir beraniin diri nemuin om,” kata anak muda berwajah ganteng dengan postur besar tinggi itu.


“Kamu kena kasus apa?” tanyaku.


“Pencurian dengan pemberatan, om,” jawabnya. Pendek.


“Kok bisa-bisanya kamu sampai terlibat kasus begituan. Setahu om, papamu kan berkecukupan. Kaya raya bahkan. Nggak kurang-kurang-lah kalau soal materi,” ujarku, tidak mempercayai jika Nasir sampai terjerumus ke dalam tindak kriminal kelas tersebut.


“Panjang ceritanya, om. Nasir sendiri nggak nyangka bakal sampai ngalamin kayak gini, om. Cuma kata papa, jalani dengan sabar akibat keteledoran kamu, dan sudah takdir kamu harus masuk bui di usia semuda begini. Ya sudah, Nasir jalani aja, mau kayak mana lagi,” tutur Nasir dengan suara tercekat. 


Aku terdiam. Terbayang bagaimana sosok Nasrul, papanya Nasir. Selain disiplin, tegas, dan pintar, ia juga tidak pernah mentolerir jika ada yang berbuat salah. Baginya, hitam ya hitam, putih ya putih. Tidak pernah bersepakat untuk abu-abu. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini