Oleh, Dalem Tehang
SEORANG tamping memberi isyarat dari samping pos penjagaan, seluruh tahanan diharuskan masuk kembali ke kamar masing-masing. Karena sebentar lagi akan dilakukan apel pagi.
“Ya sudah, sabar aja ya, Nasir. Nanti kita ngobrol lagi,” kataku sambil menepuk-nepuk bahunya.
“Siap, om. Kata papa, kalau bisa Nasir ikut di kamar om,” ucapnya, setengah berbisik.
“Nanti kita obrolin lagi ya,” ujarku, dan masuk ke kamar bersama dengan penghuni kamar 10 lainnya.
“Emang bener anak tadi itu papanya kawan Babe?” tanya Hendri, begitu kami sudah di kamar.
“Ya dia kan bilangnya gitu. Kalau bener nggak-nya, aku belum tahu, Hen,” sahutku, enteng.
“Pastiin aja dulu, Be. Jangan sampai orang ngaku-ngaku aja,” lanjut Hendri.
Aku menganggukkan kepala. Memahami masukan Hendri. Karena di penjara, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Banyak hal di luar dugaan mendadak bisa terwujud tanpa disangka-sangka.
“Kamu curiga sama anak tadi itu bohong atau apa ya, Hen?” tanya Nedi.
“Nggak, aku nggak ada curiga apa-apa sama anak tadi. Kalau ngelihat gayanya emang sopan dan kelihatan anak sekolahan. Aku cuma nanya aja ke Babe. Nggak ada salahnya cari kepastian statusnya bener anak kawan Babe apa ngaku-ngaku aja,” sahut Hendri mengurai.
“Misalnya bener, dia anak kawan Babe, emang kenapa?” tanya Nedi lagi.
“Ya nggak apa-apa juga. Yang penting kan jelas statusnya itu maksudku. Jangan sampai Babe dibohongin,” lanjut Hendri.
Tampak Nedi tidak puas dengan jawaban Hendri. Aku lihat, ada kecurigaan Nedi pada Hendri yang menanyakan soal Nasir.
Petugas jaga melakukan apel. Kami berbaris rapih di kamar. Menghitung mulai dari nomor satu hingga selesai.
“Semua sehat kan? Atau ada yang lagi sakit?” tanya petugas piket setelah kami mengabsenkan diri.
“Alhamdulillah semua sehat, Dan,” jawab Atmo yang berdiri di dekat jeruji.
“Alhamdulillah. Kalau ada yang sakit, cepet lapor ya. Nanti kita kawal ke poliklinik. Saya nggak mau ada tahanan sakit tapi diem aja. Tiba-tiba geger karena sudah sekarat,” sambung petugas piket.
Baru saja selesai apel, seorang tamping membuka pintu sel. Membawa dua kantong plastik makanan.
“Om ini hantaran sarapannya. Anak om yang nganter. Katanya pengen ketemu,” ucap tamping itu.
Spontan aku bangun dari tempat dudukku dan bergegas menuju pos penjagaan. Ternyata anakku Bulan dan Halilintar yang datang membawakan sarapan.
Dari balik jeruji besi, ku peluk bergantian nduk-ku Bulan dan cah ragil-ku Halilintar. Ada keharuan yang mendadak menggelegak. Ku pandangi mereka bergantian. Memakai seragam sekolah.
“Kok nduk sama adek yang anter sarapan? Om Rayhan kemana emang?” tanyaku pada mereka.
“Bunda sejak semalem demam tinggi, ayah. Pagi ini ke dokter. Om Rayhan nyupirin bunda. Jadi kami yang anter sarapan ayah,” kata Bulan. Suaranya pelan. Penuh kesedihan.
“Masyaallah. Tapi bener bunda cuma demam aja yo, nduk,” kataku penuh kekhawatiran.
“Iya, demam aja kok, ayah. Semaleman panasnya tinggi bener. Sampai nafasnya juga panas,” lanjut Bulan.
“Emang nduk sama adek nggak sekolah?” tanyaku lagi.
“Kami izin sebentar dari sekolah. Satu jam mata pelajaran. Kan ayah mesti sarapan. Jadi kami nganterin sarapan dulu, dari sini balik ke sekolah lagi,” ucap Halilintar.
“Naik apa kesini tadi?” tanyaku lagi. Dengan perasaan tidak karuan.
“Naik motor-lah, ayah. Adek kan sudah bisa bawa motor. Tadi pinjem motor kawan adek,” jelas Halilintar.
“Oh ya? Adek sudah bisa bawa motor sekarang? Siapa yang ngajarin?” ucapku penuh keheranan.
“Bisa-lah, ayah. Diajarin om Rayhan. Jadi kalau di rumah perlu mendadak dan om Rayhan sudah pulang, adek tinggal naik motor aja,” sambung Halilintar. Ada senyum kebanggaan di bibirnya. Menepis kekhawatiranku.
“Ya Allah. Maafin ayah yo, le. Nggak sempet ngajarin kamu bawa motor. Tetep hati-hati kalau bawa motor ya,” kataku sambil menepuk bahu Halilintar.
“Gitu aja dulu ya, ayah. Mbak sama adek kan harus balik ke sekolah,” kata Bulan kemudian.
“Lain kali, kalau lagi jam sekolah, nggak usah maksain anter sarapan ayah yo, nduk dan adek. Ayah paham kok,” kataku dengan memandangi Bulan dan Halilintar.
“Iya ayah. Tapi ini tadi kan sambil kasih tahu ayah kalau bunda lagi sakit. Kalau bisa, nanti ayah telepon bunda ya,” sahut Bulan seraya melepaskan senyum indahnya. Senyum yang meruntuhkan jiwa.
“Iyo, nanti ayah upayain telepon bunda. Nduk sama adek sing ati-ati. Terus baca Bismillah,” ujarku sambil memegang kedua tangan Bulan dan Halilintar dari sela-sela jeruji besi.
Dan setelah ku peluk cium penuh rasa sayang dan keharuan, Bulan dan Halilintar pun berpamitan. Ku pandangi langkah mereka menuju parkiran kendaraan. Tergopoh-gopoh sambil bergandengan tangan. Saling menjaga dan menguatkan.
Tidak terasa, ada air bergulir di pipiku. Mataku pun basah. Sedih dan tersayat-sayat rasanya hati ini. Aku tak mampu bicara apa-apa. Hanya berdoa dari jiwa yang terdalam, untuk keduanya. Anak-anak kebanggaan.
Sesampai di kamar, aku minta Hasbi menyiapkan tempat untuk kami sarapan. Selepas itu, buru-buru aku mandi. Meski badan masih terasa belum fit benar.
Seusai mandi, aku duduk tepekur di atas sajadah yang ada di tempat tidur. Memejamkan mata. Menyatukan pikiran dan jiwa. Melantunkan doa untuk istriku Laksmi yang sedang sakit. Cukup lama dan penuh kekhusu’an, ku jalani prosesi pengiriman doa dan pengharapan pada Yang Kuasa.
Baru saja aku katupkan kedua tangan ke wajahku, sebagai akhir dari rangkaian doa, ku dengar suara yang sangat aku kenali. Suara pak Rudy.
“Nah, itu sudah selesai pak Mario berdoa,” kata pak Rudy.
Segera aku bangkit dan mendekat ke jeruji besi. Menyalami komandan kompleks rumah tahanan itu dengan penuh hormat.
“Sehat-sehat aja kan, pak Mario?” sapa pak Rudy sambil tersenyum penuh keramahan.
“Alhamdulillah, sehat, pak. Pak Rudy juga sehat ya,” sahutku juga dengan tersenyum.
“Alhamdulillah. Berkat doa pak Mario dan kawan-kawan disini, saya sekeluarga tetap diberi kesehatan oleh Tuhan,” kata dia dan memerintahkan tamping yang berdiri di belakangnya untuk membuka pintu kamarku.
Segera aku ke luar kamar dan berbincang dengan pak Rudy. Bersamaan dengan itu, dari arah pos penjagaan tampak Bagus kepala blok tahanan beserta mandor dan seorang petugas piket tengah berjalan menuju ke tempat kami berbincang.
“Jadi, saya inginnya di sudut selasar kamar 10, kamar 5, dan kamar 1 ada sebuah taman kecil. Air mancur saja. Tidak perlu lebar-lebar. Kecil tapi cantik. Kalau soal bentuknya seperti apa, silahkan didiskusikan saja,” kata pak Rudy saat kami sudah berkumpul di depan kamar 10.
“Bagaimana kalau beli saja hiasan air mancurnya, pak. Lebih sederhana pengerjaannya,” kata mandor.
“Mau saya juga begitu. Tapi yang kecil saja ya. Inget, mau saya bentuknya yang kecil tapi cantik. Gemericik airnya itu yang menguatkan kecantikan tampilannya,” tanggap pak Rudy.
“Siap, pak. Segera saya beli sekalian untuk tambahan tower dan mesin air,” ucap mandor.
“Oke, hari ini harus selesai semua ya, pak. Saya tidak suka pekerjaan yang mundur-mundur,” tegas pak Rudy.
“Siap, pak,” kata mandor dan bergerak meninggalkan kami.
“Sudah mengecek hasil renovasi kamar belum, pak? Kalau belum, mari kita cek perkamar,” kataku pada pak Rudy.
“Oke, mari kita lihat satu persatu kamarnya,” sahutnya dan langsung memulai pengecekan kamar.
Aku dan Bagus, juga seorang petugas piket serta seorang tamping, mengikuti langkah pak Rudy dari kamar ke kamar. Tampak wajahnya penuh kepuasan melihat hasil renovasi kamar dan bak mandi.
Pada setiap kepala kamar, ia memesankan agar tidak ada lagi pemasangan paku di tembok untuk menggantungkan pakaian.
“Kalau ada yang merusak tembok dengan memasang paku dan pakaian bergelantungan, saya beri sanksi kepala kamarnya,” kata pak Rudy dengan tegas.
Tiba-tiba hp pak Rudy berdering. Terburu-buru ia mengangkatnya. Sebuah suara terdengar dari seberang.
“Siap, Dan,” sahut pak Rudy, dan mematikan kembali telepon genggamnya.
“Maaf, saya dipanggil Kapolres. Tolong tetap diawasi pekerjaan para tukang ya, pak Mario juga Bagus. Nanti sore saya cek lagi,” kata pak Rudy, dan setelah menyalami kami, ia melangkahkan kaki ke luar kompleks rumah tahanan. (bersambung)