Balada Seorang Narapidana (Bagian 102)


Oleh, Dalem Tehang         

     

SEPENINGGAL pak Rudy, aku dan Bagus duduk di pos penjagaan sambil berbincang ringan dengan petugas piket. Melalui tamping, aku pesankan Hasbi untuk membuatkan kami minuman kopi. 


Seorang petugas piket yang duduk menghadap pintu masuk kompleks rumah tahanan memberi isyarat padaku jika ada tamu yang akan menemuiku. Ternyata Makmun lawyer-ku berikut timnya.


“Izin, bisa kami ngobrol di dalem. Di teras depan kamar 1?” tanyaku pada petugas piket.


Tanpa memberi jawaban, ia langsung membuka gembok pintu pemisah ruang pos penjagaan dengan kompleks rumah tahanan. 


Aku, Makmun dan timnya pun langsung masuk dan berbincang serius di teras kecil di belakang pos penjagaan.


Makmun menyampaikan hal-hal yang telah ia lakukan. Baik koordinasi dengan penyidik maupun dengan Rudolf yang dulu menjadi lawyer-ku.


“Mudah-mudahan mas Mario bisa secepetnya pelimpahan. Maksimal satu minggu ini. Nanti kita bisa lebih enak koordinasinya kalau sudah di rutan,” kata Makmun.


Setelah banyak hal kami perbincangkan sekitar satu jam, Makmun dan timnya pamit. Aku kembali ke pos penjagaan. Berbincang ringan sambil menunggu mandor beserta pekerjanya datang.


“Adeknya itu, Be. Lagi jalan kesini,” kata petugas piket, tiba-tiba. 


Aku menengokkan wajah. Iya, Laksa tengah berjalan menuju pos penjagaan. Buru-buru aku bangkit dari kursi dan menyambutnya di pintu pos penjagaan. 


“Alhamdulillah, sehat ya, kak,” ucap Laksa, begitu melihatku dan kami pun berpelukan hangat.


“Pasti ngabur dari kantor lagi ini ya, dek,” kataku sambil memeluknya, dan mengajaknya duduk di kursi panjang.


“Ya biasa-lah, kak. Pas ada kesempatan, kabur dulu. Nengok kakak,” kata Laksa, sambil menyalami satu persatu petugas piket, juga Bagus.


Ia taruh satu bungkus plastik besar berisi makanan dan rokok di meja petugas piket. Satu plastik lainnya, ia taruh di antara kami duduk.


“Terimakasih, pak. Saya sampai hafal kalau bapak mau dateng. Tangan kiri saya pasti gatel, pertanda mau dapet rejeki,” ucap seorang petugas piket sambil tersenyum dan memandang Laksa.


Kami semua tertawa. Begitu sederhana ucapan petugas piket itu. Namun membawa pesan adanya kedekatan yang terbangun dengan baiknya. 


Aku ceritakan pada Laksa, pagi tadi Bulan dan Halilintar datang mengantar sarapan. Juga kondisi ayuknya, Laksmi, yang sedang sakit. Termasuk kedatangan Makmun beserta tim lawyer yang akan mengurus pelimpahanku bisa dipercepat.


“Yang penting, kakak jaga kesehatan. Tetep tenang, sabar, dan ikhlas. Yakini kalau semua ini memang takdir kakak. Soal ayuk Laksmi yang lagi sakit, nggak perlu dipikirin. Nanti sepulang kantor, saya ke rumah. Ngelihat kondisinya seperti apa,” kata Laksa, dengan nada suaranya yang tenang.


“Inshaallah, dek. Kakak bisa terus tenang dan sabar. Juga berusaha untuk ikhlas. Berat memang semua ini, tapi kakak yakin Allah nggak bakal kasih ujian di atas kemampuan kita ngatasinnya, seperti katamu selama ini,” sahutku, dengan nada sedih.


Terbayang olehku, betapa menderitanya batin istriku. Di saat ia sakit, aku tidak ada di sampingnya. Aku menjadi teringat, semalaman aku juga didera oleh demam. Dan ternyata, hal yang sama dialami oleh istriku, Laksmi.  


“Semalem, kakak juga demam lo, dek. Sampai ngegigil gitu. Ayuk Laksmi juga demam. Kok bisa barengan gini ya kami sakit,” kataku, sambil menatap Laksa.


Adik istriku yang kedekatan batinnya melebihi adik kandungku ini, hanya tersenyum. Sesekali ia menghisap rokok di tangannya, dan menghembuskan asapnya dengan perlahan. Seakan ada sesuatu yang tengah mengular di pikirannya.


“Namanya juga sehati, kak. Jadi apa yang kakak rasain, ayuk rasain juga. Tapi nggak apa-apa kok. Cuma kelelahan aja,” ujar Laksa, beberapa saat kemudian.


“Maksudnya kelelahan kayak mana, dek?” tanyaku, penasaran.


“Ya, lelah badan karena ayuk kan lagi banyak pekerjaan di kantor. Ditambah lelah pikiran, dan tentu lelah batinnya. Dalam situasi semacam inilah ketenangan dan ketawakalan itu diperluin,” jelas Laksa, dan kembali ada seulas senyum di bibirnya.


“Iya sih, kakak juga paham kondisi ayuk, dek. Kakak hanya bisa mendoakan. Inshaallah doa kakak diijabah Allah,” tanggapku.


“Kakak harus yakin doa kakak diijabah. Itu kuncinya. Apalagi mendoakan istri, anak-anak, dan keluarga. Harus penuh keyakinan. Dengan itulah, Allah akan penuhi harapan kakak melalui doa,” urai Laksa, dengan penekanan.


Aku ingat pesan Bulan untuk menelepon istriku bila ada kesempatan. Spontan, aku minta Laksa menelepon istriku. Tidak lama kemudian, tersambung. Telepon genggam Laksa langsung diserahkan padaku.


“Assalamualaikum, bunda,” kataku, begitu terdengar suara istriku yang parau dari seberang.


“Waalaiakum salam. Alhamdulillah, ayah. Adik Laksa lagi ngebesuk ayah ya. Syukur kalau gitu,” ucap istriku.


“Iya, ini Laksa dateng, dan ayah minta teleponin bunda. Gimana kondisi bunda, apa kata dokter,” kataku lagi.


“Alhamdulillah, nggak apa-apa kok, ayah. Cuma demam aja. Sama ada gangguan di pencernaan. Sudah dikasih obat sama dokter. Disuruh istirahat dulu di rumah,” urai istriku.


“Alhamdulillah. Bunda tetep tenang dan jaga makannya ya. Jangan kebanyakan mikir. Lepasin hal-hal yang ngeberatin pikiran. Yakin, ada Allah yang jaga kita semua,” ucapku, dengan suara haru.


“Iya, bunda nggak apa-apa kok. Disuruh istirahat aja. Ayah tetep jaga kesehatan ya. Doain bunda cepet sembuh, jadi bisa nengok ayah lagi,” kata istriku, Laksmi.


Hubungan telepon aku matikan mendadak, karena petugas piket memberi isyarat, ada provos tengah berjalan menuju pos penjagaan. 


Bersamaan dengan itu, suara adzan Dhuhur menggema dari masjid di samping mapolres. Laksa pun berpamitan. Kami berpelukan cukup lama. Menyatukan segala rasa dan doa. 


Begitu Laksa sudah menghilang dari pandangan, aku dan Bagus meninggalkan pos penjagaan. Kembali ke kamar masing-masing. 


Seusai dhuhuran, aku dan kawan-kawan penghuni kamar 10 makan siang. Nasi cadong berlauk mie goreng dan tahu isi. 


Saat Hasbi membersihkan tempat kami makan, aku duduk di lantai bawah. Berbincang sambil menikmati sebatang rokok. Nedi tiba-tiba mendekat.


“Be, aku pengen ngobrol sebentar. Tapi kita berdua aja,” kata Nedi, dengan pelan. Aku menganggukkan kepala. 


Ku lihat, kondisi kamar saat itu tidak memungkinkan untuk bicara berdua. Karena semua masih asyik berkumpul selepas makan siang. Aku minta Nedi memanggil tamping.


“Tolong bukain pintu, Babe mau ke luar. Kami mau ngobrol sebentar,” kata Nedi saat tamping sudah di depan kamar.


“Saya ambil kuncinya dulu ya, om. Ada di pos penjagaan,” sahut tamping itu, dan bergegas ke pos penjagaan.


Tidak lama kemudian, ia telah kembali dan membukakan pintu kamar kami. Aku lihat, Nedi memberi satu batang rokok ke tangan tamping itu. 


Setelah aku ndeprok di sudut selasar, depan kamar, Nedi duduk di depanku. Wajahnya tampak serius. 


“Ada apa kok kayaknya serius bener?” tanyaku.


“Ini emang serius, Be. Dan aku minta Babe mau nge-back up-nya,” ujar Nedi.


“Emang ada apa,” lanjutku.


“Babe kan tahu aku beberapa kali di-bond. Aku kan selalu izin Babe. Jujur ini, aku lagi usaha supaya istriku bisa lahiran di daerah sini, Be. Di rumah bersalin yang deket sama penjara ini. Dan aku juga lagi ngurus, supaya bisa nemenin dia waktu lahiran seperti janjiku,” ujar Nedi.


“Bagus itu, Nedi. Terus ada masalah apa,” tanggapku.


“Jujur ya, Be. Kawan-kawanku di kemiliteran dulu yang ngurus semua ini. Juga ada timku yang sekarang. Semua sebenernya sudah oke. Cuma masalahnya, harus ada persetujuan dari komandan tahti pada saatnya nanti buatku bisa nemenin istri ngelahirin,” urai Nedi.


“Jadi maksudmu, aku minta tolong ke pak Rudy buat ngizinin kamu, gitukan,” kataku, menyela. Nedi menganggukkan kepalanya.  


“Nedi, aku percaya kamu orang baik. Hatimu bersih. Cuma lingkungan dan tuntutan kehidupan yang ngebuatmu milih jadi rampok. Aku mau bantu kamu dengan bilang ke pak Rudy, tapi ada syaratnya,” ujarku kemudian.


“Syaratnya apa, sampein, Be,” kata Nedi dengan wajah sungguh-sungguh. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini