Balada Seorang Narapidana (Bagian 116)


Oleh, Dalem Tehang


SETELAH semua penghuni baru kamar 10 menyampaikan perkenalannya, aku ceritakan pertemuanku dengan penyidik yang menyatakan kemungkinan besok siang aku menjalani proses pelimpahan.


“Rencananya gitu, kita tunggu aja perkembangannya. Semua kita cuma bisa berencana, Tuhan-lah penentunya. Aku harap, kawan-kawan tetep solid, terus jalani ibadah, dan jadiin azab ini sebagai pintu masuk buat perbaiki langkah ke depannya,” kataku dengan sungguh-sungguh.


“Sayang ya, aku nggak bisa belajar banyak dari om,” tiba-tiba Nasir menyela pembicaraanku.


“Belajar yang sesungguhnya itu dari kehidupan, Nasir. Pelajaran itu dibawa oleh angin, oleh sinar matahari, oleh air hujan dan semua seisi alam, dan tentu oleh lingkungan tempat kita berada sekarang ini,” sahutku sambil tersenyum. Menenangkan hati anak muda itu.


“Tapi aku bener-bener lagi down ini, om. Aku dapet kabar, kawan-kawan di kampus mau jatuhin aku dari jabatan ketua Senat Mahasiswa,” lanjut Nasir.


“Santai aja, Nasir. Kita semua harus paham, ketika di bui gini, makin banyak orang yang nggak suka akan bergerombol untuk nengkurepin kita. Tapi jangan pernah takut, dan jangan hiraukan mereka. Yakin aja, mereka akan jatuh dengan sendirinya saat ngelihat kita tetep tegak,” ucapku dengan menepuk-nepuk bahu Nasir. Terus mencoba menenangkannya.  

  

“Sama dengan aku yang dialami Nasir ini, Be. Jabatanku di kantor juga mau digeser ke orang lain,” ucap Agus, yang ternyata merupakan seorang ASN dan memegang jabatan cukup penting di tempat tugasnya.


“Jadi gini. Wajar sebenernya kita yang lagi jalani kehidupan di penjara, digeser dari jabatan yang selama ini kita pegang. Karena organisasi atau birokrasi kan harus tetep jalan. Legowo ajalah. Nggak ada jabatan apapun di dunia ini yang harus kita pertahanin mati-matian,” sahutku.


“Jadi nurut Babe, biarin aja kalau pun digeser dari jabatan?” tanya Agus.


“Ya biarin ajalah. Lagian kamu nggak mungkin bisa jalanin tugas dari sini. Ngapain nambah kepusingan mikirin soal begituan. Lepasin semua urusan dunia luar. Konsentrasi aja ke usaha perbaiki diri dengan deketin batin kita sama Tuhan. Soal perkara kita, biar jalan sesuai alurnya aja. Bagus-bagus disini jaga diri dan bawa badan. Sudah cukup itu,” ujarku lagi.


Tiba-tiba seorang petugas piket berdiri di balik jeruji besi kamar. Tampak ia mencermati kami satu demi satu. Seakan ada yang tengah dicarinya. 


“Yang namanya Hendri mana?” tanya petugas piket itu dengan suara keras.


Spontan Hendri yang tengah duduk santai sambil menghisap rokok, berdiri. Ia jatuhkan rokok di tangannya ke lantai.


“Kamu yang buron selama beberapa tahun itu kan?” tanya petugas piket sambil menatap tajam ke arah Hendri.


“Siap, iya pak,” jawab Hendri dengan suara bergetar.


“Kasus pecah kaca yang ngerampok uang nasabah bank Rp 450 juta itu kan?” tanya petugas lagi. Hendri menganggukkan kepalanya.


“Gara-gara kamu ngilang, aku kena sanksi. Dulu aku buser jatanras, sekarang dipindah jaga tahanan karena nggak bisa-bisa nangkep kamu. Emang kamu ngilang kemana,” lanjut petugas piket itu.


“Saya tinggal di gunung, pak,” aku Hendri. Suaranya terus bergetar. Penuh ketakutan.


“Pengen bener aku gebukin kamu sekarang ini. Karena kamu sudah ngebuat aku pindah tugas,” petugas piket itu mengungkapkan kekesalannya.


Suasana kamar langsung penuh ketegangan. Semua penghuni terpaku di tempat masing-masing. Seakan untuk menarik nafas pun, harus diatur perlahan.


Nasir bergeser pelan dari tempatnya. Menempel ke badanku yang tetap menyandar di tembok pembatas kamar mandi sambil terus menikmati sebatang rokok yang ada di tangan. Tetap berusaha santai. 


Tidak bisa dipungkiri, ada ketakutan yang sangat pada diri anak muda yang merupakan putra sulung sahabatku, Nasrul, ini. Hingga badan Nasir bergetaran.


Ku pandangi petugas piket itu lekat-lekat. Tampak tangannya menggenggam penuh emosi saat memegang jeruji besi. Tatapannya nanar, fokus pada sosok Hendri yang berdiri kaku penuh ketakutan.


“Izin, kap. Mau keluarin Hendri sebentar,” ujar petugas piket itu kemudian, sambil menatapku.


“Mohon maaf, pak. Saya nggak izinin Hendri dibawa keluar kalau akan di-bagal,” kataku dengan tegas sambil berdiri dan mendekat ke jeruji besi.


“Berani nantang ya, kap. Lihat aja, aku habisi kamu juga,” ancam petugas itu sambil menunjuk ke arah wajahku.


“Nggak perlu ngancam gitulah, pak. Kita ini sama-sama manusia. Bapak disini bertugas menjaga kami para tahanan. Tapi kalau bapak maksa mau lakuin penganiayaan, kami pasti lapor ke provos,” kata Nedi, yang tiba-tiba berdiri disampingku.


“Jadi kamu nantang?” tanya petugas piket itu, berbalik menatap tajam ke arah Nedi.


“Saya tidak nantang, pak. Tapi kalau bapak penasaran, silahkan buka pintu kamar. Buka pakaian dinas bapak dan kita tarung di selasar. Nggak usah main gertak,” sahut Nedi yang tersulut emosi, dan tanpa sadar langsung membuka kaos yang menempel di badannya.


Nedi meminta Hasbi memanggil tamping. Untuk dibukakan pintu kamar sel. Namun, belum lagi tamping sampai, petugas itu langsung pergi. Meninggalkan kamar kami.


Karena sudah terlanjur tersulut emosi hingga meletup-letup sampai di ubun-ubun, Nedi tampak blingsatan tidak karuan. Menendang-nendang dan memukuli tembok berkali-kali. Hendri dan Agus mendekati Nedi. Mengajaknya bicara. Menenangkannya. 


Melihat suasana yang tidak kondusif itu, aku segera ke kamar mandi. Mengambil hp kecil yang ada di dalam ember bersama rendaman pakaian. Dan telepon pak Rudy, komandan kompleks rumah tahanan. Aku ceritakan peristiwa yang baru saja terjadi.


Tidak kurang dari 15 menit kemudian, pintu kamar dibuka. Empat petugas berpakaian dinas masuk kamar. Meminta keteranganku dan kawan-kawan penghuni kamar.


“Kap mau melanjutkan ini dalam laporan tertulis ke provos atau ada langkah lain,” tanya seorang petugas yang melakukan pemeriksaan.


“Kalau petugas yang ngancam tadi mau minta maaf kepada kami dan berjanji tidak akan mem-bagal Hendri, saya tidak akan melanjutkan laporan ini. Tapi kalau dia tidak mau minta maaf, saya siap melaporkan secara tertulis,” jawabku dengan tegas.


Beberapa saat kemudian, keempat petugas itu meninggalkan kamar. Kembali ke pos penjagaan. Aku minta Hasbi membuatkan kopi pahit, juga minuman untuk kawan-kawan yang ingin menghangatkan badannya.


“Be, bahaya nggak kejadian ini buat kami ke depannya. Kalau jadi kan besok Babe mau pelimpahan,” kata Hendri sambil duduk di dekatku dan Nasir.   


“Inshaallah ke depan nggak ada yang berani macem-macem sama kawan-kawan semua. Yang penting, kalian juga jangan nganeh-nganeh. Tetep santai dan tenang. Semua ada standar operasionalnya disini,” jelasku dengan kalem.


“Hen, justru Babe dan aku kelihatan marah itu buat nebarin kabar kalau jangan ada yang macem-macem sama kita di kamar 10 ini. Sebelum Babe pelimpahan, dia pengen ada jaminan ketenangan buat kita dari ulah petugas yang nggak sesuai aturan,” kata Nedi kemudian. 


“Tapi inget pesen Babe tadi. Kita juga jangan nganeh-nganeh. Jangan ngelakuin sesuatu yang ngelanggar aturan, jadi nggak ada alasan buat petugas untuk macem-macem sama kita. Gitukan, Be,” sambung Dian. Aku menganggukkan kepala dan melepas senyum.


Memang, ketika diberitahu segera akan menjalani proses pelimpahan perkara, ada kekhawatiran tersendiri di sudut sanubariku akan nasib kawan-kawan yang selama ini semakan seketiduran denganku di kamar 10 ini.


Betapapun mereka bukan sanak kadang, kenal pun karena dipaksa oleh keadaan di dalam satu sel, namun pada hakekat kebersamaan, mereka telah menjadi bagian dari tarikan nafas kehidupanku. 


Dan, kebersamaan serta kesepahaman pada kondisi terpuruk semacam ini, maknanya sungguh amat luar biasa. Jauh di atas nilai fundamental persahabatan yang dikenal di dunia luar. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini