Balada Seorang Narapidana (Bagian 117)


Oleh, Dalem Tehang


SUASANA kompleks rumah tahanan titipan mapolres kembali sunyi. Bahkan terasa masih mencekam bagi kami yang menghuni kamar 10, akibat peristiwa kurang mengenakkan dengan salah satu petugas jaga.


Dalam suasana yang seakan tanpa kejelasan itu, Hasbi mengeluarkan beberapa bungkus mie instan dan meminta air panas pada tamping. 


Sementara, aku tetap duduk bersandar tembok pembatas kamar mandi. Sambil memandangi Nasir yang sudah tergolek di sampingku. 


Lelap dengan sejuta perasaan dan pikiran. Tertidur karena kelelahan akibat deraan pernak-pernik kehidupan yang datang bergantian tanpa ia sangka sebelumnya.


Ada rasa kasihan dan prihatin atas nasib anak muda berstatus mahasiswa yang harus menjalani proses hukum akibat sepeda motornya digunakan seorang kawan untuk melakukan tindak kejahatan tanpa sepengetahuannya itu. Ironisnya, pelaku yang sesungguhnya, menghilang.


“Kasihan ngelihat nasib Nasir ini ya, Be,” kata Dian, yang mendekat ke tempatku duduk. Aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum.


“Banyak pelajaran yang kita dapet disini, Dian. Ada yang masuk karena emang dia milih jalan kriminal sebagai kehidupannya, tak jarang yang terseret ombak kejahatan akibat pergaulannya. Tapi nurutku, apapun latar belakangnya, satu-satunya jalan buat ngedamaiin diri kita sama kenyataan ini ya cuma nerimo kalau ini semua takdir kita,” sahutku panjang lebar.


“Tapi aku tetep nggak iso terimo sama perbuatan mantuku, Be. Wes kelewatan bener dia itu,” ujar Dian, mendadak nada suaranya meninggi. 


“Pelan-pelan dimaafin ya, Dian. Menungso kuwi anggone salah lan khilaf. Entengin pikiran lebih penting dibanding ngegerendek di hati,” kataku menimpali.


Hasbi menaruhkan mie instan di baskom besar, dan ia siapkan piring untuk masing-masing mengambil sesuai keinginan. Seluruh penghuni kamar 10 dinihari itu makan bersama. Asupan kuah mie instan sontak menghangatkan badan. 


Sambil menikmati mie instan rebus, kami terus berbincang. Saling berbagi pengalaman. Saling asah, asih, dan asuh. Sebuah kebersamaan dengan latar belakang yang beragam, justru memperkaya khasanah pengetahuan. 


Dengan 13 orang sebagai penghuni kamar, memang terasa padat. Namun kami seakan bersepakat untuk terus menjaga keceriaan dan menikmati kenyataan dengan hati yang lapang. 


Tanpa terasa, waktu solat Subuh menjelang. Suara adzan dari masjid di samping mapolres begitu kencang. Tidak perlu dikomando lagi, semua bergantian ke kamar mandi. Wudhu. Dilanjutkan dengan solat berjamaah dan mengaji surah yasin. 


Kecuali Pepen, yang atas inisiatifnya sendiri menggantikan tugas Hasbi; mencuci peralatan makan yang sebelumnya kami gunakan untuk menikmati sedapnya mie instan. Meski tanpa dilengkapi telor. 


Baru saja Tomy melipat kain-kain sarung yang kami pergunakan untuk solat Subuh berjamaah, pintu kamar dibuka. Tiga petugas jaga masuk, dan salah satunya petugas yang sebelumnya mengancam Hendri.


“Pagi, kap. Ini saya mengantar kawan yang semalam sempat salah paham dengan kap dan kawan-kawan disini. Dia mengakui kesalahannya, dan akan meminta maaf,” ucap seorang petugas jaga.


“Iya, saya kesini untuk nyampein permohonan maaf. Karena semalem saya emosi dan tidak terkendali. Moga-moga kawan-kawan disini mau maafin,” kata petugas jaga yang sempat berniat mem-bagal Hendri.


Spontan aku berdiri. Menyalami dan memeluk petugas itu sambil menyampaikan permohonan maaf juga. Dia pun memelukku dengan erat. Hendri berdiri dari tempatnya, menyalami dan memeluk petugas tersebut. Dan sama-sama memaafkan. Nedi juga melakukan hal yang sama. Walau tampak ia memaafkan dengan setengah hati. 


“Terimakasih semuanya ya. Jangan lagi ada selisih paham ke depannya. Kita sama-sama jaga kenyamanan rumah tahanan ini,” kata petugas yang menjadi juru bicara.


Kami semua penghuni kamar 10 menganggukkan kepala. Dan menyalami ketiga petugas dengan penuh hormat. Tidak lama kemudian, mereka keluar kamar. Kembali ke pos penjagaan.


“Begitu indahnya akhir dari sebuah cerita yang sempat menggoyahkan jiwa,” tiba-tiba Danu melontarkan kata-kata nan puitis.


Kami semua tersenyum mendengarnya. Seakan semua memahami, tatkala kekerasan dunia ditingkahi dengan letupan kata yang lahir dari khalwat batin terdalam, kedamaian itulah yang merasuki sukma. Melunturkan segala keegoisan lahiriyah kemanusiaan.


“Pandai juga rupanya kau ini berpuisi, Danu,” ucap Adam sambil mengacungkan kedua jempolnya.


Anak muda yang terlilit kasus pencurian burung akibat tidak kuasa menahan gelegak persaingan itu, hanya tersenyum. Sebuah senyum yang menyiratkan adanya penerimaan atas kenyataan yang ada.


Hasbi menaruhkan kopi pahit di depan tempatku duduk. Bersamaan dengan itu, pintu kamar dibuka. Saatnya berolahraga. Kami semua keluar kamar. Menyegarkan badan dengan melakukan kegiatan olahraga. Walau sekadarnya.


Setelah tiga kali berjalan berputaran di selasar, aku duduk di sudut dekat air mancur kecil yang terus mengeluarkan senandung menyegarkan. Sambil menikmati kopi pahit dan sebatang rokok. 


Ku pandangi selasar memanjang itu. Pintu-pintu kamar sel yang berjejeran rapih. Juga lalu lalang para tahanan yang tengah berolahraga. Tanpa terasa, ada seberkas kesedihan. Lebih dari 50 hari aku menyatu dengan semua yang ada ini. Menjalani kehidupan di dalam kompleks rumah tahanan. 


Dan tersadarlah, ternyata sudah tujuh kali solat Jum’at, aku tidak pernah mengikutinya. Masihkah Tuhan memberiku atribut seorang muslim? Sebuah pertanyaan yang mendadak muncul di hati.  


“Hasbi, gimana kita yang nggak pernah jum’atan lebih dari tiga kali ini?” tanyaku pada Hasbi saat ia duduk di dekatku, di sudut selasar depan kamar.


“Kita kan berhalangan tetap, Be. Jadi tidak berdosa, sepanjang kita tetap solat dhuhur. Kecuali kita meninggalkan solat jum’at tanpa alasan yang jelas,” kata Hasbi.


“Alhamdulillah kalau gitu, Hasbi. Jujur, mendadak kok aku khawatir soal ninggalin Jum’atan selama kita di dalem sini,” sahutku, dan mengatupkan kedua telapak tangan, mengusapkan ke wajahku. Ekspresi rasa syukur.


“Inshaallah kita tidak bermasalah dengan Allah dalam hal ini, Be. Dan saya seneng melihat Babe sudah masuk tahap menjalankan kesabaran dengan mantap,” ujar Hasbi, seraya tersenyum ke arahku.


“Maksudnya apa itu, Hasbi?” tanyaku. Tidak paham dengan apa yang dikatakannya. 


“Sepengetahuan saya dari membaca beberapa buku, kesabaran itu memiliki tiga potret. Pertama, tidak menceritakan derita kita. Kedua, tidak mengeluhkan atas musibah yang dialami, dan ketiga, tidak menganggap diri suci. Menurut pandangan saya, Babe telah memasuki ketiga potret kesabaran tersebut,” urai Hasbi dengan bahasa yang terinci.


Aku hanya diam. Beristighfar dalam hati. Ada sebuah ketakutan yang tiba-tiba menyeruak. Takut menjadi takabur dan kembali terbelenggu dengan pikiran dan perilaku sombong.


“Penilaianmu itu sangat berlebihan, Hasbi. Aku belum apa-apa. Masih belum bisa ngendaliin amarah. Masih banyak ngelakuin hal-hal yang nggak bener. Baik dalam pikiran maupun hati. Aku lagi terus berusaha jadi orang baik. Baik di mata Allah dan sesama,” kataku kemudian. 


“Inilah yang buat saya kagum sama, Babe. Tetap merendah. Dan itu sudah tepat. Karena kalau kita sudah merasa baik, akan sulit diperbaiki. Begitu juga, hati yang buta oleh kebenaran, jauh lebih dahsyat keburukan dan bahayanya daripada kedua mata yang tidak bisa melihat,” lanjut Hasbi, tetap dengan gaya bicaranya yang runtut dan santun.


“Apa pula yang mau kita sombongin, Hasbi. Lagian, kita di bui kayak gini. Tahu diri itulah yang penting,” ucapku menyahuti.


Tiba-tiba Nasir, Danu, dan Tri bergabung dengan kami. Masing-masing membawa cangkir tempat minumnya. 


“Boleh ikut ngobrol ya, Be,” kata Danu sambil duduk ndeprok dan memberiku satu bungkus rokok.


“Alhamdulillah. Terimakasih rokoknya, Danu. Ya kumpul aja disini. Kita manfaatin waktu buat tukar pengalaman. Saling nambah wawasan, dan yang lebih penting ngebuka hati dan pikiran buat nerima kenyataan dengan deketin diri sama Tuhan,” kataku. 


Nasir, Danu, Tri, dan juga Hasbi adalah anak-anak muda berusia dibawah 30 tahun yang sesungguhnya memiliki potensi dan kemampuan sendiri-sendiri. Yang penting untuk menjadi catatan, mereka semua anak sekolahan dengan pendidikan yang lumayan tinggi. Hanya tulisan takdir yang membawa mereka harus menikmati kerasnya neraka dunia berupa hidup di penjara. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini