Balada Seorang Narapidana (Bagian 120)


Oleh, Dalem Tehang


NANTI kalau Babe sudah pergi dari sini, ke siapa aku harus konsultasi soal ini. Belum tentu juga tempatku tuker pikiran bisa mahami,” ujar Hendri setengah mengeluh.


“Jadi gini, Hen. Jangan biarin kebisingan pendapat orang lain nenggelemin suara hatimu sendiri. Yang paling penting, kamu punya keberanian buat ikuti kata hati dan intuisimu. Itu aja. Jadi, tetep tenang. Dan satu lagi, ingetlah kalau pertolongan Allah itu sangat dekat,” ucapku panjang lebar.


Mendadak Tri memanggilku dari pintu kamar. Memberitahu jika pak Rudy ada di pos penjagaan. 


Segera aku pamit kepada Hendri yang masih duduk di depanku. Dengan membawa kantong plastik kecil berisi hp dan cargernya, aku menuju pos penjagaan.


“Selamat siang, pak Rudy,” kataku, menyapa komandan kompleks rumah tahanan titipan.


“Siang juga, pak Mario. Katanya siang nanti akan pelimpahan ya,” sahut pak Rudy dengan gaya khasnya; santun dan tersenyum.


“Rencananya begitu, pak. Inshaallah,” kataku dan langsung masuk pos penjagaan setelah seorang petugas membukakan pintu penghubung dengan kompleks rumah tahanan.


Aku serahkan hp beserta cargernya kepada pak Rudy dan menyampaikan terimakasih atas semua perhatiannya selama aku menjalani penahanan.


“Pak Mario harus tetap tegar ya. Semua ini sudah kehendak Yang Kuasa. Inshaallah hubungan kita tetap terjalin dengan baik ke depannya. Saya juga terimakasih atas kebaikan pak Mario menjaga rumah tahanan ini tetap kondusif dan harmonis. Salam saya untuk ibu dan keluarga,” ujar pak Rudy.


“Semua berkat bimbingan dan kepercayaan pak Rudy. O iya, mohon perkenan pak Rudy. Di kamar 10 ada tahanan bernama Nedi. Dia berencana mendatangkan istrinya kesini untuk bisa melahirkan anak ketiganya ditemani suaminya. Proses perizinan sudah diurus. Semua tergantung kepada pak Rudy, menyetujui atau tidak. Juga saya titip anak sahabat saya, namanya Nasir. Yang baru beberapa hari pindah ke kamar 10,” ucapku kemudian.


“Iya, saya dengar soal Nedi itu. Tentu saya akan bantu, pak. Apalagi dia satu kamar selama ini dengan pak Mario. Saya yakin, didikan pak Mario pasti baik. Begitu juga Nasir, saya akan perhatikan. Kebetulan ayahnya juga sudah menghadap saya kemarin,” sahut pak Rudy, tetap dengan senyum ramahnya.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak, pak Rudy. Inshaallah semua kebaikan pak Rudy menjadi amal ibadah,” kataku sambil menundukkan wajah. Hormat.


“Aamiin. Inilah yang saya suka dengan pak Mario, selalu mengaitkan semua yang kita lakukan sebagai bagian dari ibadah. Padahal, saya ditugaskan pimpinan di tempat yang cukup keras dan bahkan kami terkadang harus bertindak tegas dan kasar,” lanjut pak Rudy.


“Sebenarnya, pak Rudy yang mengajari saya untuk menemukan jalur kebaikan itu. Alhamdulillah betul saya dipertemukan dengan pak Rudy,” ujarku lagi.


“Sesungguhnya tidak begitu juga, pak. Saya terinspirasi dari sebuah hadits Nabi. Dan itu menjadi pegangan, dimanapun saya ditugaskan pimpinan. Beliau bersabda: jika engkau menahan diri untuk tidak berbuat keburukan terhadap manusia, maka itu adalah sedekah darimu untuk dirimu sendiri,” urai pak Rudy.


“Masyaallah. Luar biasa pegangan yang pak Rudy amalin selama ini. Terus yang dilakukan bagaimana,” sahutku penuh kekaguman.


“Jadi, saya mencoba setiap waktu untuk menyedekahi diri saya sendiri, dengan menghindari melakukan keburukan kepada sesama. Alhamdulillah, kehidupan saya menjadi semakin tenang,” lanjut pak Rudy.


Aku hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Kagum dengan kepiawaian dan kesederhanaan komandan kompleks rumah tahanan ini dalam “menyedekahi” dirinya sendiri selama ini. 


Dan aku yakini, dengan pembawaannya yang familiar, setiap hari ia terus mampu memperbanyak penyedekahan itu. Karena dunia penjara yang begitu keras, ia sikapi dengan ketenangan dan tanpa melakukan keburukan bagi yang tengah menjalani penahanan.    


Setelah berbincang beberapa saat, kami akhiri pertemuan sambil bersalaman dan berpelukan dengan erat serta hangat. 


Ada keharuan yang merasuki hati saat badan kami menyatu. Sebuah suasana batin yang terbangun dengan apiknya selama puluhan hari ini. Selepas itu, aku kembali ke kamar. Menunggu waktu pelimpahan perkara.         


Suara adzan Dhuhur menggema. Kami semua bergegas ke kamar mandi. Mengambil wudhu. Mensucikan diri untuk menghadap Ilahi. Solat jamaah siang itu terasa amat beda buatku. Karena menyadari, ini solat terakhirku di tempat ini. Ruang tahanan yang 55 hari menjadi tempat tinggalku.


Siang itu, kami makan pecel lele. Kiriman istri Hendri. Seluruh penghuni kamar mendapat jatah satu bungkus. Suatu jamuan makan yang jarang-jarang bisa kami rasakan.


Atmo mendekat ke tempatku duduk. Membawa kantong plastik. Berisi nasi bungkus dengan lauk telor bulat dan dua gelas air mineral. Ia juga menyerahkan uang Rp 100.000 untuk peganganku menjalani proses pelimpahan. 


“Terimakasih, Atmo. Tetep lakuin hal-hal terbaik disini. Yang selama ini sudah baik, dipertahanin bahkan ditingkatin. Yang kurang baik, cepet-cepet ditinggalin,” pesanku pada Atmo. 


Aku panggil Nedi dan Nasir yang duduk dalam keresahan di tempatnya masing-masing. Setelah mereka di depanku, aku sampaikan bila mereka sudah dititipkan kepada pak Rudy. 


“Jadi nanti aku bisa nemenin istri lahiran ya, Be?” tanya Nedi dengan penuh harap. Aku hanya menganggukkan kepala.


“Alhamdulillah. Allah memang maha pengatur. Terimakasih ya, Be. Ini anugerah yang luar biasa buatku dan istri,” kata Nedi dan memelukku dengan erat.


“Terus berdoa ya, Nedi. Juga segera kenalin diri sama pak Rudy. Inshaallah semua rencanamu dimudahkan Allah,” ucapku berbisik ke telinganya.


Kepada Nasir, aku ceritakan bila papanya sudah menghadap pak Rudy. Sehingga ia mendapat perhatian ekstra oleh komandan kompleks rumah tahanan.


“Meski gitu, kamu harus tetep patuh sama semua aturan disini. Jangan bertindak yang aneh-aneh,” pesanku pada Nasir.


“Siap, om. Nasir banyak belajar selama di kamar ini,” jawab Nasir, dan juga memelukku.


Satu demi satu penghuni kamar 10 mendekat ke tempatku duduk. Dengan wajah penuh keharuan, mereka memelukku bergantian.


“Terawanganmu terbukti, Dian. Aku pelimpahan ada yang nemenin. Hasbi sudah berangkat duluan. Bener kata Hendri, asah terus kemampuanmu itu. Siapa tahu suatu saat nanti kamu jadi orang pinter yang tersohor,” ujarku pada Dian, saat pria bertubuh tambun itu memelukku dengan erat sambil menangis sesenggukan.


“Aku nggak mau jadi orang pinter, Be,” kata Dian, setelah melepaskan pelukannya.


“Kenapa?” tanyaku, pendek.


“Karena yang dateng ke tempatku pasti orang-orang bodoh. Aku mau bergaul sama orang-orang pinter aja. Yang tahu dan ngamalin ajaran agama,” Dian menjelaskan maksudnya. 


“Tapi dengan kelebihan yang diberikan Allah itu, kamu bisa banyak bantu orang, Dian. Niatnya, ya ngebantu orang yang lagi kesusahan aja. Jangan mau diminta yang nganeh-nganeh,” kataku lagi.


“Aku takut kejebak sama perbuatan sirik, Be. Aku kan baru ngenal dan jalanin solat dengan rutin setelah disini. Nggak mau aku rusak sama perbuatan yang dilarang Allah,” kata Dian dengan tegas.


“Ya sudah, ikuti kata hatimu aja. Kita ini dianugerahi pikiran yang sering berubah-ubah. Jalani yang ada dengan sepenuh hati dan terus bersandar pada Yang Maha Kuat,” ujarku lanjut, seraya menepuk-nepuk bahu Dian yang masih sesenggukan. Meletupkan kesedihan. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini