Oleh, Dalem Tehang
KELELAPANKU dalam tidur, mendadak terusik. Atmo membangunkan dengan tepukan perlahan di kakiku.
“Maaf, Be. Ngangin,” kata dia begitu aku membuka mata.
“Ya udah, beresin aja. Bangunin kawan-kawan” sahutku, masih enggan bergerak dari sajadah yang menjadi alas tidurku.
“Petugas berdiri di pintu, Be. Ngawasin. Semua disuruh keluar. Kawan-kawan sudah di luar semua,” lanjut Atmo.
Ku tengokkan wajah ke arah luar kamar. Benar. Seorang petugas jaga berdiri disana sambil tangannya memegang jeruji besi.
Mau tidak mau, aku akhirnya bangkit dari tempat tidur. Dan langsung menuju jeruji besi tempat petugas piket itu berdiri.
“Maaf, jam berapa ini, Dan?” tanyaku begitu sudah di depannya. Berbatas jeruji besi.
“Jam 03.20, kap. Nyenyak bener tidurnya, kap. Sorry ini ngeganggu. Kalau-kalau ada rokok, sudah asem ini mulut sejak tengah malem nggak ngerokok,” ucap petugas itu.
Ku alihkan pandangan pada Atmo, sang bendahara kamar, yang berdiri di pintu sel. Ia paham. Dan mengambil stok rokok di kantong plastik tempat ia menyimpannya.
Langsung ku serahkan satu bungkus rokok ke tangan petugas piket itu. Sekaligus menyampaikan kalau aku tidak ke luar kamar. Karena akan solat malam. Sambil menganggukkan kepalanya, ia beranjak pergi dari kamar kami.
Melihat aku ke kamar mandi dan wudhu, Atmo pun masuk kembali. Tidak lama diikuti Hasbi. Mereka memang rutin solat malam. Dan akhirnya, dengan niat masing-masing, kami sama-sama mengisi waktu ngangin dinihari itu, dengan bersenandung bersama Sang Maha Agung.
Tidak berselang lama, suara adzan Subuh menggema dari masjid dan terdengar jelas di kamar. Semua penghuni sel di kompleks rumah tahanan, kembali masuk kamar masing-masing. Kegiatan ngangin selesai.
Tomy buru-buru ke pos penjagaan. Mengambil langsung kain sarung milik penghuni kamar. Yang biasanya meminta tamping untuk mengambilkannya saat waktu Subuh menjelang.
Seusai solat berjamaah, aku meminta semua penghuni kamar untuk membaca surah yasin. Yang biasanya dilakukan setelah solat Maghrib, kini dirubah selepas solat Subuh. Karena ba’da maghriban, diisi dengan mengaji Juz Amma yang dipimpin Hasbi.
“Babe mau kopi sekarang apa nanti?” tanya Hasbi, begitu melihat aku kembali merebahkan badan selepas membaca yasin bersama.
“Nanti aja. Mau tidur dulu,” kataku, pendek. Dan sesaat kemudian, aku pun sudah terlelap.
Aku baru bangun saat mendengar suara mengobrol penghuni kamar yang cukup keras. Perlahan, aku duduk. Bersandar di tembok kamar mandi, tepat di samping bidangku.
“Itu Babe sudah bangun. Langsung aja ngomong sekarang,” kata Tomy sambil memandang Asnawi dan Arya.
“Nanti dulu ngomongnya. Mana Hasbi. Buat kopi dulu,” kataku, seraya mengambil botol air mineral di atas tempatku tidur, dan meminumnya.
Setelah Hasbi menaruhkan secangkir kopi pahit dan aku menikmatinya beberapa teguk, sambil menyulut sebatang rokok, aku beri isyarat pada Asnawi dan Arya untuk mendekat ke tempatku duduk.
“Lapor ini, Be. Kami berdua tadi dipanggil ke pos. Dikasih tahu penyidik kalau nanti sore kami pelimpahan,” kata Asnawi sambil menatapku lekat-lekat.
“O gitu. Alhamdulillah. Emang ini sudah jam berapa ya, kok kalian sudah dikasih tahu mau pelimpahan,” sahutku.
“Sudah lebih dari jam 10-an ini mah, Be. Sarapan Babe aja sudah dari tadi dianter. Pas apel tadi, untung petugasnya nggak maksa Babe harus bangun, jadi kami biarin aja Babe tidur,” ujar Asnawi.
“Astaghfirullah. Lama juga ya aku tidur. Alhamdulillah. Masih dikasih rejeki nikmat tidur,” kataku kemudian.
“Iya emang, tidurnya nyenyak bener lagi, Be. Ngoroknya juga sampai kedengeran di kamar sebelah lo,” kata Tomy menukas. Dan tertawa ngakak.
Kami pun tertawa bersama. Ada saja hal-hal kecil yang bisa melahirkan keceriaan. Meski hanya sesaat.
“Ya sudah, siapin aja barang-barang kalian. Atmo keluarin uang kas Rp 200.000 buat Asnawi sama Arya. Juga beliin nasi bungkus dengan lauk telor bulet buat bekal mereka pelimpahan,” ucapku kepada Atmo bendahara kamar.
Ku tepuk-tepuk bahu Asnawi dan Arya bergantian. Penuh rasa persahabatan. Betapapun, mereka berpuluh hari telah menjadi bagian hidupku. Makan tidur bersama. Terkurung pada kamar yang sama. Tertawa dan sedih bersama.
“Maafin kami kalau selama ini ada salah-salah ya, Be,” kata Asnawi, suaranya bergetar. Ada kesedihan. Karena harus berpisah.
“Sama-sama. Santai aja, Nawi. Nanti kita ketemu lagi di rutan. Segera cari kawan-kawan kita yang dari kamar 10 ini. Bergabung. Atasi semua masalah sama-sama. Salamku buat mereka semua,” kataku memberi pesan.
Aku beri isyarat pada Hasbi untuk menyiapkan sarapan. Hari itu, istriku Laksmi melalui Rayhan mengirim sarapan lontong sayur daging kambing sebanyak delapan bungkus. Kami makan bersama. Saling berbagi, sesuai makanan yang ada. Alhamdulillah.
Selepas sarapan, buru-buru aku mandi. Baru teringat jika aku masih punya tugas mengawasi pekerja renovasi kamar rumah tahanan. Hari ini giliran kamar 1, 3, 5, 7, dan 9.
Baru saja Tomy memanggil tamping untuk dibukakan pintu kamar karena aku akan keluar, Bagus sudah berdiri di depan jeruji besi.
“Alhamdulillah, akhirnya bosku bangun juga,” ujar Bagus begitu melihatku, sambil tertawa renyah.
“Sorry, Gus. Lagi dapet rejeki nikmat tidur, jadi aku bener-bener resepin. Sampai-sampai bangun siang,” sahutku, juga sambil tertawa.
Setelah aku keluar kamar, Bagus bercerita jika semua pekerja telah memulai tugasnya sejak jam 08 tadi. Dan ia bersama petugas piket, telah mengontrol ke kamar-kamar yang sedang direnovasi.
“Nggak ada masalah-kan, Gus?” tanyaku.
“Prinsipnya sih baik-baik aja, Be. Cuma tadi ada kejadian sedikit. Di kamar 5 ada retakan tembok kecil. Setelah diketok palu, ternyata tempat nyimpen barang,” kata Bagus.
“Maksudnya gimana sih?” tanyaku.
“Di deket bak mandi kamar 5, ada retakan di tembok. Kecil sih retakannya. Tukang kan mau molesnya. Dia palu dulu. Eh, keluar bungkusan kecil dari dalemnya. Setelah dibuka, isinya tiga butir obat, Be,” jelas Bagus.
“O gitu, terus lanjutannya gimana?” tanyaku lagi.
“Ku laporin sama petugas piket. Diamanin mereka sekarang barangnya,” ucap Bagus.
“Bakal ditelusuri nggak siapa pemilik barangnya, Gus?” kataku, penasaran.
“Nggak tahu, Be. Terserah petugas aja. Yang penting, barangnya sudah ditangan mereka,” lanjut Bagus.
Aku dan Bagus berjalan keliling, mengontrol lima kamar yang hari itu tengah dilakukan renovasi. Semua kepala kamar juga konsisten menjalankan tugasnya. Mengawasi langsung dan menugaskan dua penghuni kamar membantu pekerjaan tukang. Termasuk di sel perempuan.
Saat kami sedang berbincang di teras kecil samping pos penjagaan, seorang tamping mendekat. Menyampaikan jika Yosep, kepala kamar 6, ingin bertemu.
Bagus menatapku. Meminta pendapat. Aku hanya angkat bahu. Menyerahkan pada dia.
“Kita panggil kesini aja ya, Be. Biar enak ngobrolnya,” kata Bagus.
“Terserah kamu. Tapi izin dulu sama petugas, Gus. Jangan nyelonong-nyelonong aja,” sahutku.
Dan, Bagus pun bergerak. Meminta izin petugas piket untuk mengeluarkan Yosep dari selnya dan mengobrol dengan kami di teras samping pos penjagaan. (bersambung)