Balada Seorang Narapidana (Bagian 96)


Oleh, Dalem Tehang

  

YOSEP langsung menyalamiku begitu sampai di teras samping pos penjagaan. Setelah sebelumnya juga menyapa petugas piket.


“Ada apa, Sep. Langsung omongin aja,” kataku, tidak sabaran.


Yosep yang tengah menyulut rokok di tangannya, sempat berhenti sesaat. Ia memandangku, sekilas. Dan kemudian menatap Bagus yang duduk di depannya. Mengambil kursi plastik yang ada di sudut kamar 1. 


“Kok kayaknya tegang amat sih, Be?” ujar Yosep, kemudian.


“Ya bukan, katanya kamu mau ketemu. Kan sudah ketemu ini, omongin aja apa yang mau disampein. Nggak usah berbelit-belit,” kataku, dengan nada meninggi.


Setelah menarik nafas dalam-dalam beberapa kali, Yosep menggeser duduknya. Yang semula bersampingan dengan aku, kini ia memilih bersandar di sudut teras. Sehingga bisa langsung bertatapan saat bicara bertiga.


“Aku mau ngelurusin soal yang kemarin. Masalahku sama Danu itu lo. Kemarin kan ceritaku belum tuntas,” Yosep memulai pembicaraan.


“O soal itu. Buatku sih bukan masalah, Sep. Itu masalah kamu. Lagian, apa pentingnya dengerin ceritamu,” kataku, cuek.


“Ya nggak gitu juga kali, Be. Kemarin kan Babe sama Bagus yang nengahin masalahku sama Danu. Jadi ku anggep wajar kalau aku cerita sama Babe dan Bagus,” lanjut Yosep. 


“Kalau kamu nganggepnya gitu, ya udah ceritain aja,” kataku lagi.


“Jadi gini, setiap aku ngelihat muka Danu, langsung kebayang mantan pacarku. Dia selingkuh pas tinggal dua minggu lagi kami nikah. Dia kabur sama bos di kantornya, dan akhirnya nikah siri karena bosnya sudah punya istri,” kata Yosep mengurai cerita.


“Emang apa kaitan mantan pacarmu itu sama Danu ya, Sep?” tanya Bagus. Kalem.


“Danu itu adik kandung mantan pacarku, Gus. Makanya aku jengkel bener kalau ngelihat dia. Dan ku akui, emang aku sering bener marahin dia selama ini. Bahkan sampai ngemaki-maki juga,” jelas Yosep.


“Kamu ini aneh. Urusan kayak gitu kok nyasar ke orang lain. Sesakit-sakitnya hati kamu karena perbuatan mantan pacarmu, nggak bener juga kalau ngelampiasin sama adiknya. Apa urusan Danu itu coba. Lagian, soal jodoh, rejeki, dan maut itu sepenuhnya urusan Tuhan, Sep,” kataku, menanggapi.


“Iya bener, semaleman aku ngerenung. Aku emang tolol, Be. Bahkan, nurut aku sendiri, aku emang tolol-tolol bener. Mulai hari ini, aku mau coba tenangin hati kalau ngelihat Danu. Karena bisa aja, ini cara Tuhan kembali nguji ketenanganku setelah selama ini bisa tenang ngadepin masalah mantan pacarku itu,” kata Yosep dengan suara datar. 


“Bagus kalau kamu nyadarin gitu, Sep. Itu yang penting. Seribu orang mau nasihatin kita apa aja kalau hati kita nggak kebuka, nggak ada gunanya. Kamu sudah nemuin solusi lewat dirimu sendiri. Itu yang sip. Biar kawan di kamarmu ngomong apa aja, nggak usah kamu ladenin. Jalani aja apa yang sudah kamu temuin dan yakinin,” kataku, kemudian.


“Jangan melo jadi orang itu, Sep. Disini kamu jadi kepala kamar karena kamu punya kemampuan mimpin. Jadilah pemimpin yang ngayomin dan bijaksana. Jangan sia-siain waktu cuma buat nyakitin hati sendiri, apalagi ngenang-ngenang masalah yang buat kamu sakit hati atau sampai kamu ada disini. Ayo bangkit dengan karaktermu yang baru. Yang tangguh dan bisa kendaliin diri,” Bagus menimpali.


Yosep mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kemudian menyalami kami berdua dengan penuh kehangatan.


“Terimakasih masukannya. Tolong bantu aku ngebina diri ya. Kita semua punya kelebihan dan kekurangan. Aku pengen kita bisa saling ngelengkapin,” tutur Yosep. 


Tampak ada sebulir air di matanya. Air mata kesedihan bercampur hasrat untuk menjadi sosok yang lebih bisa mengendalikan diri.           


Bersamaan dengan itu, suara adzan Dhuhur menggema. Pekerja renovasi memiliki waktu istirahat satu jam. Berbaris rapih mereka ke luar kompleks rumah tahanan. Dipimpin sang mandor. Aku dan Bagus kembali ke kamar masing-masing.


Selepas solat Dhuhur, kami penghuni kamar 10 makan siang bersama. Kali ini cukup mewah. Nasi kotak berlauk ayam goreng dan sambel kentang.


“Kiriman dari kawannya Hendri makanan ini, Be,” kata Hasbi, yang memahami kernyitan di dahiku saat di depan tempatku duduk dan kawan-kawan, masing-masing terdapat satu kotak nasi Padang.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak ya, Hen. Sebenernya, kita emang perlu mikirin gimana caranya makan siang kita tetep layak dan enak. Nggak cuma pakai nasi cadong,” kataku.


“Bener juga itu, Be. Gimana caranya ya,” ujar Nedi.


“Jadi gini. Kita kan Senin sama Kamis puasa. Berarti nggak ada makan siang. Selasa dan Jum’at ada besukan. Makan siang aman-lah itu. Tinggal hari Rabu, Sabtu, dan Minggu yang makan siangnya harus sama-sama kita pikirin,” ucapku mengurai.


“Gimana kalau digilir aja, Be. Misalnya hari ini aku, nanti Sabtu siapa, gitu juga hari Minggu-nya siapa,” kata Dian.


“Boleh juga usulan itu, Dian. Coba nanti teknisnya atur sama Atmo aja. Kalau sarapan dan makan malem, inshaallah istriku bisa rutin ngirim, walau emang nggak sejumlah penghuni kamar. Tetep kita harus berbagi makannya,” kataku lagi.


“Siap, Be. Nanti kami obrolin soal ini sama kawan-kawan habis kita makan,” ujar Atmo, bendahara kamar.


Baru saja aku merebahkan badan untuk leyeh-leyeh sebentar, Bagus sudah berdiri di depan jeruji besi.


“Be, sudah ditunggu Bagus. Saatnya bertugas lagi,” ucap Nedi sambil memandangku. 


“Ngapain buru-buru sih, Gus. Biar tukang kerja dulu. Tugas kita kan cuma ngawasin hasil kerjanya. Bukan nongkrongin mereka kerja,” kataku sambil melihat Bagus yang tampak senyum-senyum di balik jeruji besi.


“Emang bener tugas kita cuma ngawasin, Be. Tapi kan enakan di luar daripada di dalem sel. Gimana sih, Babe ini. Dikasih kesempatan bebas keliaran di luar, malah ngehaman di kamar aja,” sahut Bagus, juga masih dengan tersenyum.


“Ya sudah, kamu duluan nongkrong di pos jaga ya. Nanti aku nyusul,” kataku sambil membalikkan badan membelakangi posisi Bagus berdiri.


Aku kepengen betul bisa tidur siang itu, meski sesaat. Panas terik mentari yang seakan menembus hingga lantai tempatku merebahkan badan, tidak mampu mengusir kantukku. Dan beberapa saat kemudian, aku pun tertidur.


“Be, bangun. Ada razia provos, lengkap sama satresnarkoba,” tiba-tiba sebuah suara keras mengejutkanku. Ternyata Tomy yang membangunkanku.


“Sampai kamar berapa?” tanyaku, yang masih kriyep-kriyep.


“Kamar 8 sekarang. Semua penghuni kamar disuruh keluar,” jelas Irfan, yang memantau melalui kaca spion kecil dari sudut jeruji besi di pintu kamar.


Spontan mataku bergerak. Memandang empat penghuni baru di kamarku. Ada kekhawatiran di hatiku, mereka menyimpan sesuatu.


“Aku bersih, Be. Nggak ada barang aneh yang ku bawa,” ujar Hendri, yang segera paham akan tatap mataku.


Sementara, Herman, Robi dan Dian bersamaan menganggukkan kepala. Memastikan mereka juga tidak menyimpan sesuatu yang dilarang masuk sel.


“Bener ya, nggak ada barang aneh-aneh yang kalian bawa. Aku nggak segen-segen ngebagal kalau kalian sampai macem-macem,” kataku sambil menatap tajam ke arah Hendri, Herman, Robi, dan Dian yang baru sehari bergabung di kamar kami.


“Kami ini nggak gila juga kali, Be. Sudah masuk sel gini mau nyimpen barang yang dilarang,” sahut Robi dengan tegas.


“Oke, aku percaya kalian. Kalau nanti dirazia terus tiba-tiba ditemuin barang yang dilarang, kalau bukan punya kita semua, ngomong ya. Aku yang pasang badan,” ucapku sambil memandang semua penghuni kamar.


“Siap, Be. Yakin aja, kami semua bersih,” sahut Nedi sambil mengepalkan tangannya. Menunjukkan sikap gentlemant penghuni kamar. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini