Balada Seorang Narapidana (Bagian 98)


Oleh, Dalem Tehang

  

DAN seperti biasanya, saat suara mengaji dari masjid sebagai pertanda akan segera adzan Maghrib, istriku pun berpamitan.


Lama kami berpelukan. Berkali-kali ia cium tanganku. Ada air hangat mengenai tanganku. Air mata istriku. 


Betapapun tegar dan tangguhnya, dia tetaplah Laksmi yang seorang istri. Yang batinnya menjerit saat mesti tinggal terpisah dengan aku sang suami yang berada di bui.


Meski acapkali, apa yang terlihat bukan berarti apa yang tampak, pun sebaliknya. Karena pada hakekatnya, tidak ada penglihatan yang benar-benar jelas, disebabkan kita hanyalah seorang hamba. Tidak sempurna. 


“Kita terus bangun kesabaran yang indah ya, ayah. Kesabaran yang jauh dari rasa dendam, tanpa amarah dan menyalahkan siapapun, apalagi menghujat Yang Kuasa. Kalau pun takdir ini tidak sesuai keinginan kita, tetaplah yakin bila takdir ini pasti lebih baik buat kita ke depannya,” ucap istriku sambil mengelus-elus kepalaku.        


Ku anggukkan kepalaku. Berkali-kali. Dan kembali mengucap syukur dalam hati, bila pada keterpurukan sekali pun, istriku terus mampu mengelola pergolakan jiwanya dengan rancak. 


“Bunda terus jaga kesehatan juga ya. Seberat apapun hidup di penjara nggak akan membuat ayah patah semangat,” kataku dan memeluknya kembali.


Tepat suara adzan menggema, istriku pamit. Dengan langkah yang dipaksakan tetap tegar, ia meninggalkan kompleks rumah tahanan. Menuju parkiran kendaraan dan pulang.


“Izin, kap. Ini para tukang pada mau pulang,” tiba-tiba seorang petugas piket menyapaku.


“Astaghfirullah, belum pada pulang ya? Maaf kalau karena saya, para tukang jadi terhambat pulangnya,” ucapku sambil mengatupkan kedua tangan di dada. Meminta maaf.


“Nggak enak tadi mau pada pamit. Kap sama ibu kayaknya lagi dalam suasana yang begitu haru,” ujar petugas itu.


Petugas piket segera meminta 15 pekerja renovasi berbaris. Setelah dilakukan pemeriksaan dan diawasi oleh Bagus kepala blok rumah tahanan, mereka keluar pos penjagaan satu demi satu.


“Besok masih kerja kan, pak?” tanyaku pada mandor pekerja.


“Iya, masih, pak. Tapi besok pagi menunggu pengarahan pak Rudy dulu. Karena katanya kan mau menambah tower air, sanyo, juga rencana membuat taman kecil di tiga sudut selasar,” jelas mandor.


“Oke, sampai ketemu besok pagi, pak. Terimakasih atas kerja bagusnya hari ini,” sambungku dan menyalami sang mandor. 


Selepas mereka meninggalkan pos penjagaan, aku berpamitan pada petugas piket untuk kembali ke kamar.


“Kap, sampein ke ibu terimakasih kami. Ibu bawain kami sate padang. Alhamdulillah bener,” kata petugas piket itu sambil tersenyum.


Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum juga, dan berjalan didampingi Adit tamping menuju kamar. 


Sambil berjalan, Adit yang membawakan dua kantong plastik berisi makanan dari istriku, menyampaikan besok siang ia akan pelimpahan.


“O gitu. Besok sebelum berangkat pelimpahan, kasih tahu om ya,” kataku. Dan menepuk-nepuk bahu anak muda ganteng yang tersangkut kasus narkoba itu. 


“Siap, om. Kalau om ada kawan petugas rutan, tolong titipin Adit ya,” ucapnya dengan serius.


“Waduh, om belum tahu ada yang kenal apa nggak disana, Adit. Coba besok om ngobrol sama petugas disini ya. Pastilah ada yang kenal, nanti om titipin kamu sama mereka,” sahutku. 


“Terimakasih banyak sebelumnya, om. Nanti kalau om sudah di rutan juga, Adit mau ikut om,” lanjut anak muda berusia 27 tahun itu.


“Nanti kita atur setelah disana ya. Kamu temuin kawan-kawan yang kemarin di kamar 10. Bilang aja diminta om untuk ngegabung. Inshaallah mereka bisa nerima kamu,” tuturku, terus membesarkan hati Adit. 


Saat masuk kamar, aku terhenyak. Semua penghuni kamar telah memakai kain sarung dan siap untuk maghriban.


“Ini dari mana kalian bisa dapet sarung? Bukannya selama ini cuma ada enam?” tanyaku sambil melihat ke arah Tomy.


“Dari kamar sebelah, Be. Ada empat sarung disana yang selama ini nggak dipakai. Jadi kami lobi mereka, dan sepakat dituker sama rokok dua bungkus,” kata Tomy seraya tersenyum.


“Sudah dikasih belum rokoknya ke mereka?” tanyaku lagi.


“Sudah, Be. Tadi Nedi ngasih uang ke mereka, buat beli rokok dua bungkus,” lanjut Tomy.


“Alhamdulillah. Terimakasih ya, Nedi. Inshaallah jadi amalmu kain sarung empat potong ini,” ucapku sambil mengacungkan jempol ke arah Nedi yang sudah duduk rapih menunggu aku mengimami solat Maghrib.


Selepas maghriban, Hasbi langsung membuka Juz Amma. Mengajar kami untuk membacanya. Bergantian. Sampai suara adzan Isya menggema.


Seusai solat Isya berjamaah dan makan malam, aku buru-buru merebahkan badan. Terasa kurang fit badanku. Masuk angin. Setelah minum obat, ku minta Irfan untuk memijat, dan tidur.


Mendadak aku menggigil. Kedinginan. Ku ambil kain sarung yang selama ini menjadi alas bantalku dari botol air mineral, ku jadikan selimut.


Karena terus menggigil kedinginan, akhirnya aku bangun dari tempat tidur. Duduk bersandar tembok kamar mandi. Sambil membungkus badanku dengan kain sarung. 


Saat meminum air mineral yang ku taruh di samping tempat tidur, mataku melihat ke arah pintu kamar. Ternyata ada Atmo tengah duduk meringkuk disana. Menempelkan kepalanya ke pintu kamar. Lamat-lamat terdengar ia tengah bersenandung. Pelan.


“Kamu ngapain, Atmo?” kataku menyapa.


Tampak Atmo terkejut dengan sapaanku. Hingga kepalanya membentur pintu kamar yang terbuat dari besi baja.


“Oh Babe. Ngagetin aja. Nggak lagi ngapa-ngapain, Be. Belum bisa tidur aja,” jawab Atmo dengan suara tergagap.


“Pasti ada yang lagi kamu rasa, nggak mungkin kalau nggak kenapa-kenapa,” ujarku sekenanya.


“Babe ini bangun tidur kok jadi kayak dukun aja sih. Saya memang lagi suntuk,” kata Atmo. 


“Kamu biasanya solat malem, ini kok malah ngelamun di pintu kamar. Bukannya rasa suntuk itu hilang kalau solat,” kataku lagi.


“Ini masih tengah malem, Be. Nanti pas sepertiga malem terakhir, saya solatnya. Itu yang langsung dilihat sama Allah,” sahut Atmo, dan bergerak meninggalkan pintu kamar kemudian duduk di dekatku. Menyandarkan badannya ke tembok kamar mandi juga.


“Lha ini kenapa to, kok Babe kerukupan sarung kayak gini? Kayak orang di kampung lagi ronda,” tanya Atmo sambil tersenyum melihat posisiku yang melipat kaki dan menutup badan dengan kain sarung.


“Badanku ngegigil. Kedinginan gitu. Tapi sekarang sudah nggak lagi. Kali karena sudah ngobrol sama kamu ya, Atmo,” ucapku dan tertawa kecil.


Tiba-tiba terdengar suara Dian mengigau. Kencang sekali. Ku minta Atmo membangunkan Dian yang tidur bertelanjang dada itu. 


“Subhanallah. Terimakasih, Atmo. Untung kamu bangunin, kalau nggak, mati aku,” kata Dian begitu tersadar dari tidur mengigaunya.


“Mimpi opo to, pakde? Kok sampai ngejerit gitu?” tanya Atmo.


“Mimpi mau digorok leherku sama mantuku itu. Edan tenan kuwi pancen mantuku. Wong dia yang salah, kok malah aku sing mau diteluh,” kata Dian dengan suara khasnya; ngebas.


“Makanya kalau mau tidur itu baca doa dulu, Dian. Lepasin pikiran dari hal-hal yang buat nggak nyaman. Jadi nggak mimpi buruk,” ujarku. 


Tidak lama kemudian, Hasbi juga terbangun dari tidurnya. Disusul Hendri, Robi, Herman, dan Tomy. 


“Enak ngopi kali ya, Be,” kata Robi.


“Ya ngopi aja kalau mau ngopi. Minta tolong Hasbi buatin. Aku nggak usah dibuatin, habis minum obat tadi,” sahutku.


“Apa dibuatin teh anget aja, Be. Nanti dikasih tolak angin. Lebih seger rasanya, sekalian jadi obat juga,” kata Hasbi.


“Nah, boleh juga itu, Hasbi. Tolong buatin ya,” sahutku.


Dengan cekatan, Hasbi bergerak. Memanggil tamping, meminta air panas. Dan menyiapkan kopi untuk kawan-kawan yang terbangun dari tidurnya, serta teh hangat buatku dicampur tolak angin. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini