Oleh, Dalem Tehang
BELASAN tahanan yang baru masuk rutan diperintahkan berbaris rapih di ruang dalam. Hanya sekitar dua meter dari pintu gerbang utama yang tinggi menjulang dan kokoh.
Semua barang yang dibawa, ditaruh di depan tempat masing-masing berdiri. Semua tahanan bertelanjang dada. Hanya memakai celana pendek. Bahkan banyak yang tidak memakai alas kaki.
Dengan cekatan, beberapa petugas melakukan pemeriksaan terhadap semua barang yang dibawa tahanan. Rokok yang sudah dibuka bungkusnya, langsung disita. Pun peralatan mandi. Pasta gigi, sikat gigi, sabun cair, juga pengharum badan.
Nasi bungkus yang ku bawa juga dibuka. Diaduk-aduk, hingga berceceran keluar dari tempatnya. Air mineral dua gelas sebagai bekal, juga diambil petugas. Beberapa tahanan yang membawa bekal makanan, pun banyak yang disita.
Pemeriksaan dilanjutkan dengan menggeledah badan. Hingga jahitan celana juga disisir habis.
Selepas pemeriksaan selesai, dan administrasi juga tuntas, pintu penghubung antara ruang depan dengan kompleks rutan, dibuka. Kami digiring satu persatu masuk ke dalam kompleks rumah tahanan.
Di depan sebuah bangunan kantor, kami semua diperintahkan duduk. Ndeprok di lantai dari paving blok. Seorang petugas rutan berdiri di depan kami.
“Selamat datang di rutan. Yang pertama kalian harus ingat, kami tidak pernah mengundang kalian datang kesini. Jadi, kalian bukan tamu yang harus kami layani. Kalian adalah orang-orang bermasalah. Kalian adalah manusia-manusia pelanggar hukum. Yang sangat tidak layak untuk dihargai. Karena itu, jangan berharap kami akan berbaik-baik dengan kalian semua. Disini ada aturan yang harus kalian taati. Yang melanggar akan disanksi,” kata petugas rutan dengan suara kencang. Dan setelah itu, ia berbalik. Kembali masuk ke ruangan kantor.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara adzan Maghrib. Aku mencari asal suara panggilan solat, yang begitu dekat. Ternyata, dari masjid di dalam rutan. Jaraknya tidak lebih 200 meter dari tempat kami duduk ndeprok di paving blok.
Tiba-tiba, hujan rintik. Perlahan tapi pasti, kucuran air dari langit itu kian deras. Tampak kilat berseliweran di langit. Aku dan beberapa tahanan lain, menutupi kepala dengan tas yang menjadi tempat pakaian.
Seorang petugas rutan yang melewati kami untuk menuju masjid, langsung menghardik. Memerintahkan untuk kembali menaruh tas di depan tempat kami duduk.
Beberapa saat kemudian aku baru menyadari, jika di dalam tas kainku terdapat beberapa kantong plastik. Segera aku keluarkan. Ku bungkus tas kainku dengan kantong plastik. Lumayan untuk menahan derasnya air hujan.
Dua kantong plastik lainnya, ku berikan kepada Bagus dan Hasbi. Buru-buru mereka menutup tempat pakaiannya dengan kantong plastik tersebut.
Dalam guyuran hujan yang cukup deras itu, datang seorang pria mendekati kami. Dengan memakai payung, dan bertanya: “Yang namanya Mario mana?”
Spontan aku mengangkat tangan. Dan memandang pria itu. Ia hanya melihatku sesaat, kemudian pergi. Masuk ke pos penjagaan yang ada di depan kantor.
Hampir satu jam kami duduk dibawah guyuran hujan, datang tiga pria lain. Memakai pakaian seragam. Bertuliskan: “tamping regis”.
“Ayo, satu satu ikut kami,” kata salah satunya, sambil berjalan ke arah belakang tempat kami duduk. Menuju sebuah sudut di belakang pos penjagaan.
Ku beri isyarat pada Bagus untuk segera berdiri. Saat aku dan Bagus sudah berjalan mendekati ketiga tamping itu, Yosep menyusul.
“Rambut kita mau dipotong habis ini, Be. Digundul,” ucap Yosep dengan pelan. Terhenyaklah aku.
Dan, ternyata benar. Hanya dengan menggunakan gunting kecil biasa, ketiga tamping itu memangkas rambut kami secara cepat dan asal menjadi plontos. Gundul yang masih menyisakan rambut disana-sini.
Setelah semua tahanan baru dipotong rambutnya hingga gundul meski jauh dari rapih, kami diperintahkan untuk tetap duduk di tempat semula. Selanjutnya satu demi satu kami dipanggil masuk ruangan, untuk pendataan di bagian registrasi.
Saat menunggu giliran, aku lihat pria yang tadi menanyakanku, datang kembali. Tampak ia mencari-cari posisiku.
“Mario tadi mana ya?” tanya dia sambil memandangi kami satu persatu. Aku mengangkat tangan.
“Maaf, jadi nggak ngenalin karena sudah gundul gini,” kata dia saat mendekatiku.
Pria itu duduk di sampingku, kemudian dengan berbisik ia menanyakan apa rokokku. Dengan santai, ku sebutkan rokok yang biasa aku hisap. Selepas itu, ia kembali berdiri. Dan berjalan pergi.
Suara adzan Isya mengalun syahdu dari masjid di dalam kompleks rutan. Tampak beberapa petugas bergegas menuju rumah Allah. Melaksanakan kewajiban sebagai makhluk-Nya.
Kembali aku hanya bisa beristighfar. Memohon ampun karena belum bisa menunaikan prosesi penghambaan.
Aku lihat Bagus menggeser posisi. Mendekatiku. Juga Hasbi. Kami masih sama-sama menunggu giliran untuk pendataan di bagian registrasi.
“Be, siapa orang tadi?” tanya Bagus begitu duduk di sampingku. Aku menggelengkan kepala.
“Jadi Babe nggak kenal ya?” tanyanya lagi. Kembali aku menggeleng.
“Aneh juga ya. Nggak kenal kok sampai segitunya dia nyari Babe,” ucap Bagus kemudian. Tampak ada keheranan dari pernyataannya.
“Kita kan lagi ada dalam suasana nggak lazim, Gus. Masuk area dunia dalam dunia. Bawa nyantai aja. Nanti juga keungkap siapa dan ada apa orang tadi sampai gitu serius nyariin aku,” kataku, mencoba untuk tetap santai. Mengendalikan gejolak tidak beraturan di dalam kalbu.
Tidak lama kemudian, aku mendapat giliran mengikuti pendataan di bagian registrasi rutan. Setelah diukur tinggi dan berat badan, juga tensi darah, dilakukan pengambilan foto dengan memegang kertas bertuliskan pasal yang disangkakan.
Sekitar 20 menit proses pelaksanaan pendataan bagi tahanan baru pada bagian registrasi rutan itu, berlangsung. Setelah aku keluar ruangan, disusul Bagus dan Hasbi. Yang terakhir menjalani proses ini adalah Yosep.
Perlahan, hujan mereda. Meninggalkan genangan air di sela-sela paving blok tempat kami duduk. Meresap melalui celana pendek yang kami gunakan. Hawa dingin pun merayap dari bagian badan paling bawah.
Seorang tahanan baru yang tidak tahan duduk ndeprok, mencoba jongkok. Hanya dalam hitungan menit, datang petugas keamanan rutan.
Tanpa mengeluarkan satu kata pun, petugas itu mengayunkan kakinya. Menghantam badan bagian belakang tahanan tersebut. Yang spontan terjungkal dengan wajah mencium paving blok.
Melihat tahanan yang ditendangnya terjungkal tidak berdaya, petugas itu hanya diam. Berdiri tegak. Bak patung. Tanpa ekspresi apapun. Sambil matanya terus menatap tahanan yang tampak meringis kesakitan saat membersihkan wajahnya. Ada luka gores di dekat mata kirinya.
Beberapa menit kemudian, keluar dua petugas dari dalam ruangan kantor. Memerintahkan kami berdiri dan memegang barang bawaan masing-masing. Bersamaan dengan itu, empat petugas keamanan mendekat.
Kami digiring ke arah dalam kawasan rutan. Setelah membuka pintu pagar berteralis kawat, kami berjalan beriringin. Bagaikan bebek yang diangon oleh peternaknya untuk menuju ke sebuah persawahan. Menuju ke pos penjagaan di bagian dalam kawasan rutan.
Sesampai di depan pos penjagaan, tiga petugas keamanan melakukan pemeriksaan. Bukan hanya diabsen, tetapi semua barang bawaan kembali digeledah. Saat itu, semua rokok dan korek api yang sebelumnya lolos pada pemeriksaan awal, diamankan petugas. (bersambung)