Oleh, Dalem Tehang
SELEPAS pemeriksaan yang ekstra ketat tersebut, kami kembali digiring berjalan beriringan melalui selasar yang memanjang. Sekitar 250 meter.
Tiba-tiba, pria yang tadi menemuiku di depan ruang kantor rutan, berjalan mendekat. Sambil mengimbangi langkahku, ia menyerahkan satu kantong plastik. Seraya berbisik pelan: “Ini nasi bungkus sama rokoknya, pak Mario!”
Belum sempat aku mengucapkan terimakasih, pria yang memakai pakaian bertuliskan “tamping” tersebut, buru-buru menjauhiku, dan menghilang entah kemana.
Sambil terus berjalan, ku masukkan nasi bungkus dan rokok yang diberi pria tadi ke dalam tas kain yang kini basah kuyup. Saat itu, belasan tahanan baru, berjalan tanpa ada yang berkata sepatah kata pun. Semua hanyut oleh suasana yang sama sekali tidak bisa diperkirakan.
Setelah berjalan sekitar 250 meter, kami sampai di sebuah pintu besi berteralis kawat tebal. Seorang petugas jaga membuka pintu. Kami diperintahkan masuk ke area tersebut.
Di area khusus itu, terdapat dua sel tahanan dengan halaman di depan kamar yang cukup luas. Berpagar kawat keliling dengan tinggi lebih dari 6 meter. Terpisah dari jejeran kamar tahanan lainnya.
“Baris dulu yang rapih. Yang namanya saya sebut, masuk ke kamar 1. Sisanya nanti masuk kamar 2,” kata seorang petugas keamanan yang mengawal kami sejak dari depan ruang kantor rutan.
Aku perhatikan kedua kamar yang ditunjuk petugas keamanan. Berukuran sekitar 6 x 9 meter. Bagian dalamnya terbagi dua, dipisahkan dengan tembok berjeruji dan pintu besi. Baru pintu lagi di bagian depan kamar. Untuk keluar masuk tahanan.
“Penuh amat isi dua kamar ini ya, Be,” ucap Bagus dengan pelan kepadaku yang masih memperhatikan kondisi kedua kamar untuk kami akan ditempatkan.
“Ini namanya kamar AO, Bagus. Kamar admisi orientasi istilahnya. Semua yang masuk, harus kesini dulu. Paling cepet seminggu atau 10 hari disini, kalau nggak ada yang ngurus,” kata Yosep, juga dengan suara pelan.
Petugas menyebut namaku. Masuk ke kamar 1. Buru-buru aku berjalan, mengikuti arahan petugas lain yang berdiri di pintu kamar. Terhenyak aku begitu masuk. Lebih dari 20 orang berada di kamar tersebut. Sangat penuh. Bahkan untuk duduk pun mesti berhimpitan.
“Babe, sini. Duduk sini,” sebuah suara menyapaku. Ternyata Irfan yang memanggilku.
Dia langsung bangun dari tempatnya dan menarikku ke tempatnya. Baru saja aku menaruhkan badan dan menyandar ke tembok, datang Arya. Langsung menyalami dan memelukku penuh haru.
“Arya, kamu sehat-sehat ya,” kataku sambil mengelus punggungnya. Ia menatapku sambil menganggukkan kepalanya dengan lemah.
Petugas membagi 16 tahanan baru dalam dua kamar AO. Bagus, Hasbi, dan Yosep berada di kamar 2. Berpisah denganku.
Irfan memperkenalkan aku kepada penghuni kamar AO yang lain. Yang ternyata jumlahnya mencapai 32 orang dengan tambahan aku dan tujuh tahanan baru lainnya.
“Emang apa hebatnya dia sampai kamu gitu tunduk, Irfan,” seorang tahanan yang duduk pada bagian ujung kamar, bertanya dengan nada tidak suka.
“Babe ini kap kamarku waktu di polres, om,” jelas Irfan kepada pria bertubuh besar dengan tato pada beberapa bagian badannya itu.
“O, cuma kap kamar. Kirain jagoan dari mana. Kalau jagoan, boleh juga kita tes malem ini,” lanjut pria berusia menjelang 50 tahunan yang duduk ongkang kaki dengan posisi bertelanjang dada itu.
Matanya tajam menatapku. Aku tahu, ada ketidaksukaan dia kepadaku. Entah kenapa. Memang, pada kenyataannya, acapkali kita tidak menyukai seseorang dengan tanpa alasan apapun. Bahkan, meski kita tidak mengenal orang tersebut sekalipun.
Sementara, dua pria lain yang duduk di sampingnya, bak pengawal dalam cerita-cerita film mafia, mendadak tertawa. Melontarkan hinaan kepadaku. Atau tepatnya, memancing reaksiku. Sambil mengacungkan jempol tangannya ke arah bawah. Mengecilkan. Terus tertawa dan memandangku.
Arya dan Irfan yang duduk di sampingku, bersamaan menekan pahaku. Agar aku tidak bereaksi apapun. Ku pandangi wajah kawan-kawan yang sebelumnya pernah satu kamar di mapolres ini. Ku tunjukkan senyum ketenanganku. Perlahan, mereka pun tersenyum.
Hatiku terus menyenandungkan istighfar. Jujur, saat itu ada kekhawatiran yang sangat, aku akan mengalami hal-hal yang tidak terbayangkan sebelumnya. Apalagi, kondisi kamar yang begitu penuh sesak. Dengan beragam karakter orang, yang kesemuanya terjerat dalam kasus tindak kriminal.
Tiba-tiba seorang pria berusia 40 tahunan yang sebelumnya duduk di lantai bawah, mendekat. Menyalamiku dengan kedua tangannya, sambil menundukkan wajahnya. Menghormat.
“Sabar dan kendaliin diri ya, bang. Jangan ladeni orang-orang gila itu, kalau abang nggak mau jadi gila juga. Namaku Dika. Mahardika lengkapnya. Aku pernah ikut pembekalan koperasi dan abang pematerinya, maka aku tahu abang,” kata pria bertubuh atletis dengan wajah tampan itu, seraya memandangiku.
Ku anggukkan kepala sambil tersenyum. Dan mencoba mengingat dalam acara pembekalan mengenai koperasi di daerah mana, pria yang bernama Dika pernah menjadi pesertanya.
“Terimakasih, Dika. Seneng aku ketemu kamu,” sahutku kemudian seraya menepuk bahunya. Bersahabat.
Tiba-tiba dua orang yang sebelumnya duduk di samping pria yang sejak awal menunjukkan sikap tidak suka kepadaku, berjalan mendekat, melangkahi beberapa tahanan yang telah rebahan.
Saat posisinya telah dekat dengan tempatku duduk, mendadak tangan salah satu dari mereka mencoba mengambil tas milikku. Dengan spontan, tanganku bergerak. Menghantam wajahnya. Pria itu mengaduh karena gerakan cepat tanganku mengenai mata kirinya. Telak.
Tidak cukup sampai disitu. Aku langsung berdiri. Melancarkan jejakan kaki yang cukup kencang ke badannya. Hingga pria itu terjengkang dan jatuh dengan menabrak beberapa tahanan lain yang sedang rebahan. Seorang lainnya, segera bergeser mundur melihat aku melakukan perlawanan.
Pria bertubuh besar dengan tato pada beberapa bagian badannya itu, langsung berdiri dari tempatnya. Di ujung kamar. Matanya tajam memandangku. Aku yang masih berdiri, juga menatapnya tajam.
Dalam situasi tegang tersebut, mendadak telingaku seakan mendengar suara istriku, pelan: “Kalau takut, jangan berani-berani, kalau berani, jangan takut-takut”. Suara pelan itu, spontan membangunkan semangatku. Siap menghadapi kondisi apapun.
Pada saat bersamaan, beberapa tahanan lain yang berada di lantai atas, bergeser. Bangun dari rebahan. Bahkan ada yang buru-buru turun ke lantai bawah. Seakan memberi kesempatan untuk kami berkelahi.
Tiba-tiba, seorang petugas keamanan rutan berdiri di depan kamar. Matanya menatap ke arah kami yang tengah berdiri di lantai atas dengan semburat emosi. Di sela-sela belasan tahanan lain yang kini duduk meringkuk.
“Kamu kenapa, Danil? Mau ngetes pak Mario? Kalau emang pengen nunjukin kehebatan, kelahi di halaman sini aja,” kata petugas keamanan itu, sambil membuka pintu kamar paling depan.
Aku terkejut saat petugas itu menyebut namaku. Namun buru-buru ku tepis keterkejutanku. Aku sadar, bukan saat yang tepat untuk mencari jawaban atas sebuah keterkejutan.
Aku memilih bergerak. Turun dari lantai atas kamar AO dan keluar. Ke halaman yang relatif luas di depan kamar. Menunjukkan kesiapanku untuk beradu kekuatan dengan pria yang disebut bernama Danil.
“Pak Mario siap untuk kelahi sama Danil?” tanya petugas keamanan sambil menatapku tajam. Aku menganggukkan kepala dengan tegas.
“Danil, sini kamu. Tadi kayaknya kamu nantang bener,” kata petugas itu, sambil masuk ke kamar.
Danil mendadak duduk. Kembali ke tempatnya. Di bagian paling ujung kamar 1 AO.
“Nggak, Dan. Tadi main-main. Ngetes mental dia aja,” ujar Danil, beberapa saat kemudian.
“Dasar pecundang kamu. Inget ya, jangan ada yang nyenggol pak Mario. Siapa pun yang ganggu dia, berhadapan sama aku,” petugas keamanan berbadan tinggi besar itu berkata dengan nada tinggi. Matanya yang melotot, menatap seluruh penghuni kamar 1 AO.
Sesaat kemudian, ia memintaku kembali masuk kamar, dan menggembok pintu AO. Sambil kembali masuk ke dalam sel, aku bersyukur di dalam hati kepada Yang Maha Pengatur. Selalu ada yang membantu dan menyelamatkanku pada saat-saat genting.
Irfan memberikan tempatnya untuk aku duduk. Ku buka tas kainku. Ternyata, hampir semua pakaianku basah kuyup. Tersisa satu kaos yang hanya terkena sedikit tampias air hujan. Itulah yang akhirnya, aku pakai. Menutup badan.
Arya mengeluarkan kain sarung dari kantong plastik tempat pakaiannya. Memberikan kepadaku.
Beberapa waktu kemudian, ku buka nasi bungkus yang dibelikan Atmo, sedangkan nasi bungkus pemberian pria yang tadi menemuiku saat menuju sel AO, ku berikan untuk Arya dan Irfan.
“Alhamdulillah bener, Be. Kami emang cuma makan nasi sekali. Nasi cadong pula,” ucap Irfan dengan raut wajah gembira.
Sambil makan, mataku sesekali melihat ketiga pria yang berada di ujung kamar. Yang tadi langsung mem-bully, begitu aku masuk kamar.
“Tenang aja, Be. Aku sama Irfan pasti jagain Babe. Habis makan, Babe tidur aja. Aku jamin, mereka nggak berani ganggu Babe lagi,” kata Arya dengan pelan, sambil terus makan.
“Nggak boleh ke-pede-an, Arya. Ini penjara. Apa aja bisa kejadian. Ketimbang dicolong, lebih baik ngehajar mereka duluan,” sahutku, juga dengan pelan.
“Nggak bakal kejadian apa-apa, Be. Percaya sama kami. Omongan sipir tadi teges kok. Jangan ada yang ganggu Babe. Mereka bertiga itu sudah hampir 20 hari disini. Jadi sok pemegang kamar. Padahal sebenernya, mereka stres berat. Siapa aja yang baru masuk, pasti dipres habis. Kalau takut, terus-terusan dikerjain,” Irfan menjelaskan perilaku ketiga tahanan yang tadi mencoba menekanku.
Semakin sadarlah aku akan pernyataan bila yang lemah pasti akan menjadi mangsa yang kuat. Dan penjara adalah dunia di dalam dunia. Yang hukum alam pun, acapkali tidak berlaku sebagaimana lazimnya. (bersambung)