Balada Seorang Narapidana (Bagian 126)


Oleh, Dalem Tehang


SEUSAI makan, aku ke kamar mandi. Untuk buang air kecil. Namun akhirnya, aku urungkan. Karena kamar mandinya sangat tidak layak. Bukan hanya amat kecil, tapi juga hanya dibatasi tembok setengah meter. Ironisnya, dari lantai atas, sama sekali tidak tertutup. Bak mandinya pun tidak berfungsi lagi. Bahkan berisi bekas bungkus rokok dan berbagai barang kotor lainnya.


Terdapat jejeran bekas botol air mineral yang telah diisi air keran untuk menyiram kotoran para tahanan. Yang tersusun rapih di atas temboknya. Seakan menjadi penyekat tersendiri bagi yang tengah membuang hajat.


Malam kian larut. Sesekali suara burung liar terdengar bersahutan. Berkejaran melewati atas kamar. Suasana di luar, sangat sunyi. Irfan memintaku merebahkan badan. Dan harus berhimpitan dengan tahanan lain. Hingga tidak bisa untuk sekadar memiringkan badan. 


Setelah aku merebahkan badan, Irfan menaruh badannya di bawah kakiku. Di tepian batas lantai atas dan lantai bawah. Sedang Arya meminta tahanan di samping kananku, bergeser sedikit. Untuk dia duduk. Menjagaku.


“Tidurlah, Be. Aku yang jagain,” kata Arya. 


Ku keluarkan satu bungkus rokok yang dibelikan pria tamping saat aku menuju sel AO, dan ku serahkan kepada Arya. Tahanan yang digeser Arya untuk dia bisa duduk di dekatku, meminta rokok. Arya menatapku. Ku anggukkan kepala. Sebatang rokok, Arya berikan kepada tahanan berusia 45 tahunan tersebut.


“Terimakasih ya, Be. Jangan khawatir, aku juga jagain Babe. Nemenin Arya,” kata tahanan itu sambil menyalamiku.


Kain sarung Arya, menjadi selimut penghangatku malam pertama di rutan. Tanpa terasa, aku mulai mengantuk berat. Irfan kembali duduk. Perlahan, dia pegang telapak kakiku. Kebiasaannya memijatku menjelang tidur selama di kamar tahanan mapolres, kembali dilakukannya. Pijatan meninabobokkan.


Suara adzan Subuh dari masjid yang hanya berjarak sekitar 10 meter dari kamar, menggema kencang, mengejutkanku. Spontan, aku langsung duduk. Arya yang tetap terjaga dan duduk anteng di tempatnya sejak semalam, memandangiku.


“Nggak bisa solat di kamar ini, Be. Nggak ada tempatnya. Lagian, nggak suci air yang ada di botol-botol itu,” kata Arya yang paham dengan kebiasaan kami selama di kamar tahanan mapolres, yang langsung wudhu dan solat begitu mendengar suara adzan.


“Astaghfirullah. Subhanallah. Sejak Ashar kemarin aku nggak solat-solat ini, Arya,” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ada kesedihan yang begitu dalam aku rasakan. 


Dan saat itulah baru aku sadari, perwujudan penghambaan kepada Sang Khaliq, telah menjadi bagian dari jiwa dan ragaku. Yang hadir melalui proses panjang, melelahkan, dan menyakitkan. Karena mesti terkurung di dalam sel tahanan. 


“Babe belum lagi lima waktu ninggalin solat. Lha aku, sudah nggak kehitung lagi. Praktis sejak masuk AO ini, nggak solat-solat,” kata Arya kemudian. Terasa ada nada getir dari suaranya.  


Ku ingat-ingat, kurang lebih satu pekan Arya telah berada di kamar ini. Dan selama itu, pria yang tersangkut kasus pencurian sepeda motor itu, tidak bisa melaksanakan ibadah sama sekali.


“O iya, kamu dulu kan bareng sama Asnawi. Dia dimana sekarang?” tanyaku pada Arya.


“Asnawi sudah keluar, Be. Dia sekarang di kamar penaling. Kamar pengenalan lingkungan maksudnya. Disana bisa solat dan mandi kayak kita dulu di mapolres,” jelas Arya.


“Kenapa kamu belum pindah kesana?” tanyaku, penasaran.


“Kalau nggak ada yang ngurus, bisa sebulan di AO ini, Be. Kecuali masuk tahanan baru dalam jumlah banyak atau sudah banyak tahanan yang geser dari kamar penaling,” lanjut Arya.


Aku menganggukkan kepala. Perlahan, mencoba memahami siklus pergeseran posisi penahanan di rutan ini. 


“Disini biasanya bisa keluar kamarnya jam berapa?” tanyaku lagi.


“Nggak ada bukaan kamar kalau di AO ini, Be. Bisa keluar kalau ada yang nge-bond. Dan buat nge-bond, ada harga yang harus dibayar. Ya, kayak ngangin kalau di mapolres,” ucap Arya.


Pikiranku menjadi berputaran tidak karuan. Kian sesak batinku melihat kondisi yang ada. Terbayang betapa kehidupan lebih sulit telah terbentang lebar di depan mataku. 


Perlahan, mentari bangun dari tidurnya. Sinarnya menyapa seluruh alam. Termasuk tempatku ditahan. Kamar 1 AO. Ku pandangi puluhan tahanan yang mayoritas masih lelap dalam tidurnya. Bahkan, beberapa di antaranya, tidur dalam posisi sambil duduk. Menyandarkan badan ke tembok. Akibat begitu padatnya isi kamar. 


Aku minta Arya merebahkan badannya, untuk tidur. Setelah semalaman hanya duduk menjagaku. Giliran aku yang duduk. Bersandar di tembok yang tidak jelas lagi warna catnya. Antara putih dan abu-abu. Dihiasi berbagai tulisan buatan para tahanan pada berbagai bagiannya.


Mataku menatap posisi pria bertubuh besar dengan tato pada beberapa bagian badannya, yang sempat bersitegang denganku saat aku baru masuk sel tadi malam. Ia masih tidur. Diapit dua pria yang menjadi pengawalnya.


Tiba-tiba Dika berdiri dari tempatnya. Di lantai bawah. Membawa botol air mineral yang isinya tinggal setengah, dan memberikannya kepadaku.


“Lumayan, bang. Buat minum pagi. Gantiin kopi untuk sementara,” ujarnya seraya tersenyum.


“Terimakasih, Dika. Kamu sudah berapa lama di kamar AO ini?” tanyaku dan meminum air mineral pemberiannya.


“Sudah lima hari sama hari ini, bang. Mudah-mudahan hari ini pindah. Lagi diurus sama adik,” sahutnya.


Hari semakin siang. Sorot mentari kian terang dan meninggi. Sinarnya memasuki kamar melalui sela-sela jeruji besi. Membuat beberapa tahanan terbangun dari lelap tidurnya.


Dari tempatku duduk bersandar tembok, aku lihat beberapa orang berdiri di pagar kawat besi keliling yang memisahkan halaman dengan kamar. Mereka seakan mencari seseorang. Celingukan. 


“Ada bang Mario nggak? Ada Babe nggak yang masuk semalem?” sebuah suara keras menggema ke dalam kamar.


Aku kenali suara itu. Aris. Iya, kawan saat di sel mapolres berdiri di balik pagar kawat yang menjulang tersebut.


Dika memintaku berdiri. Aku ikuti sarannya. Begitu aku berdiri, Aris berteriak lagi. 


“Alhamdulillah. Sebentar ya, Be. Nanti aku bond,” kata dia dan bersama beberapa orang yang menemaninya, bergegas pergi dari depan pagar kawat.


Sekitar 10 menit kemudian, seorang petugas keamanan rutan, membuka pintu kamar. Memintaku bersama Irfan dan Arya keluar. Sebelum meninggalkan kamar, aku titipkan tas kepada Dika.


“Titip tas ya, Dika,” ucapku.


“Siap, bang. Aman Dika jagain,” kata dia sambil menerima tasku dan mendekap di dadanya.


Begitu keluar kamar, ku lihat Aris, Iyos, Joko, Ijal, dan Asnawi berdiri di balik pintu pemisah kompleks kamar tahanan dengan sel khusus AO. Wajah mereka ceria. Rasa percaya diriku tumbuh lagi. Kawan-kawan saat di kamar 10 sel mapolres, tetap menjaga kebersamaannya. 


Berebutan mereka memelukku, begitu aku keluar pintu sel khusus AO. Pun kepada Irfan dan Arya. Suasana saat itu demikian mengharukan. Aris bahkan sampai meneteskan air matanya.


“Kita langsung ke kamar Edi, Be. Babe mandi disana. Nanti kita buatin kopi pahit dan beli sarapan,” kata Aris dan menggandeng tanganku.


Sambil berjalan menuju kamar Edi, yang dulu pernah menjadi kapten kamar 10 di tahanan mapolres, mataku merayapi sekeliling. Belasan kamar berisi penuh sesak oleh tahanan. Terlihat dari banyaknya pakaian yang bergelantungan di dalam kamar. 


Saat melewati pos penjagaan yang berdiri sekitar 50 meter dari sel AO, Aris menemui penjaganya. Tampak ia menyerahkan sesuatu ke tangan petugas itu. Yang sebelumnya, membukakan pintu kamar untuk aku, Irfan, dan Arya, keluar.


“Boros juga kamu ini, Ris,” ucapku pelan, sambil berjalan di selasar menuju kamar Edi.


“Bukan soal boros ini mah, Be. Tapi emang caranya gitu kalau nge-bond yang lagi di AO. Karena Babe masuk aja, aku sama kawan-kawan mau sokongan keluar uang. Sebelumnya, Irfan dan Arya juga nggak pernah kami bond,” jelas Aris.


“Jadi selama ini Irfan sama Arya nggak pernah keluar kamar?” tanyaku, memandang wajah Irfan dan Arya.


“Baru inilah kami berdua keluar kamar, Be. Tapi kawan-kawan tetep merhatiin kok. Ngirimin kami gorengan dan rokok. Siang dan sore. Bersyukur semua anak buah Babe di polres tetep nyatu disini,” sahut Irfan dengan nada enteng.


“Tomy dimana sekarang,” ujarku tiba-tiba. 


“Tomy masih di AO, Be. Dia di kamar 2. Maka nggak ketemu sama Babe,” jelas Arya.


Sambil terus berbincang ringan, mataku tetap merayapi sekeliling rutan. Di tengah kompleks terdapat sebuah lapangan yang cukup luas. Di tepian selasar, terdapat taman-taman kecil. Dengan tanaman bunga berbagai jenis. 


Di sebelah selasar yang berbatasan dengan deretan kamar tahanan, juga terdapat berbagai tanaman buah-buahan. Ada pohon jambu, mangga, durian, rambutan, pepaya, dan sebagainya. Lumayan segar dipandang mata. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini