Oleh, Dalem Tehang
PADA sebuah pintu kecil terbuat dari besi baja dengan teralis kawat, kami berbelok. Masuk ke kompleks tahanan yang lain. Tertulis di pintu masuk: Blok B.
Terdapat pintu besar terbuat dari besi baja yang cukup besar dan tinggi, untuk bisa masuk ke blok tersebut. Aris dan Iyos yang berjalan di depan, mengarahkan kami ke sebuah kamar. Paling sudut.
Suasana Blok B ini sangat nyaman. Di antara jejeran kamar dengan posisi berhadapan, terdapat lahan dengan lebar sekitar 5 meter nan memanjang 30 meteran, dijadikan taman dengan berbagai bentuk. Unik dan menarik.
Juga terdapat kolam-kolam ikan dilengkapi air mancurnya, dan beberapa sangkar berisikan burung-burung hias. Serta gazebo kecil di bagian paling ujung, dengan sebuah pesawat televisi terpajang disana, sebagai sarana tahanan mencari hiburan dan mengikuti perkembangan dunia luar.
“Adem juga rasanya kalau ngelihat taman-taman indah gini,” kataku, sambil terus mengikuti langkah Aris dan Iyos.
“Ya, inilah hiburan buat mata disini, Be. Dan semua ini yang ngebuat ya para tahanan. Kreatifitas orang-orang terkurung itu ternyata lebih dahsyat,” tanggap Aris.
Aku akui kebenaran perkataan Aris. Lahirnya taman-taman indah dengan berbagai penghias lainnya itu, memang hanya bisa terwujud oleh orang-orang yang memiliki kebebasan dalam berekspresi. Sebuah karya nyata nan fenomenal dari orang-orang yang badannya terpenjara. Jauh dari kebebasan secara lahiriyah.
Aku perhatikan, kawan-kawan yang pernah satu kamar di tahanan mapolres, berpembawaan tetap ceria setelah di rutan. Aku tidak berhenti bersyukur di dalam hati. Tetap dipertemukan dengan kawan-kawan terbaik pada kehidupan yang sangat jauh dari kelaziman ini.
Sampailah kami di kamar 34. Edi langsung keluar. Menyambutku dengan pelukan hangat. Ia juga memeluk Irfan dan Arya.
“Selamat datang di dunia dalam dunia yang sebenernya, Babe. Jangan kagetan, jangan gampang marah, dan jangan pernah ngerasa paling hebat. Itu kunci buat bisa ngerasa tetep nyaman hidup di rutan ini,” kata Edi, memandangku dengan wajah serius.
“Siap, pak Edi. Terimakasih betul atas masukannya,” sahutku dengan melepaskan sebuah senyum.
Sesaat kemudian, seorang tahanan di kamar Edi menyerahkan secangkir minuman.
“Spesial buat Babe. Kopi pahit,” ujar Edi dan tertawa ngakak.
Kami duduk bersama di bagian depan dari sel dengan dua bagian tersebut. Berukuran sekitar 6 x 9 meter, kamar Edi berisikan 13 orang. Dan ia menjadi kap kamarnya.
Edi membuka lemari kecil yang ada di bagian bawah lantai atas tempatnya tidur. Lemari yang menempel dengan lantai. Ia keluarkan handuk. Dan memintaku segera mandi.
Tidak hanya itu. Ia memberiku sebuah sikat gigi yang baru dibuka dari tempatnya. Juga sabun dan shampo sasetan.
Namun sebelumnya, Aris meminta Edi menugaskan kawannya di kamar 34 untuk merapihkan bekas potongan rambut di kepalaku oleh tamping tadi malam yang masih compang-camping tidak karuan. Seorang tahanan dengan menggunakan alat cukuran kumis, membersihkan sisa-sisa rambut yang masih ada di kepalaku. Dan akhirnya, plontos bersih kepalaku. Gundul mengkilat.
Kamar mandi di sel Edi cukup bersih. Bukti bila OD kamar rajin melakukan salah satu tugasnya. Air di dalam bak cukup besar itu, bersih dan dingin. Membuat badanku yang sejak kemarin tidak mandi, langsung merasa segar kembali.
Setelah aku mandi, giliran Irfan dan Arya melakukan hal yang sama. Keduanya cukup lama membersihkan badan. Karena sudah beberapa hari terakhir, tidak pernah mandi.
Ijal yang masuk kamar Edi belakangan, ternyata mendapat tugas dari Aris untuk membeli sarapan. Pagi itu, aku disuguhi nasi kuning dengan lauk telor dadar yang diiris-iris. Cukup nikmat. Kami pun makan bersama, sambil terus berbincang dalam suasana penuh keceriaan.
Tiba-tiba, pria yang tadi malam menemuiku dan memberi nasi bungkus serta rokok, berdiri di depan pintu kamar.
“Maaf, kap. Ada yang mau ketemu pak Mario. Bisa saya ajak pak Mario sebentar,” kata pria itu.
“Oke. Baik-baik kalau ngajak Babe ya, Heru. Kami semua bisa marah kalau dia ada apa-apa,” sahut Edi, dan mempersilahkan aku mengikuti pria berstatus tamping, yang ternyata bernama Heru.
Sambil berjalan, aku ucapkan terimakasih kepada Heru atas perhatian dan bantuannya saat aku baru masuk rutan, tadi malam.
“Sama-sama, pak Mario. Saya hanya jalanin perintah komandan aja,” ujarnya dengan enteng.
Saat melewati pos penjagaan kompleks rutan di bagian dalam, Heru mengajakku masuk. Ia melapor kepada petugas untuk membawaku ke pos depan sesuai perintah komandan. Ada enam petugas jaga disana. Berwajah serius, mendekati sangar. Dengan badan rata-rata tinggi besar.
“Silahkan. Ini yang masuk semalem ya,” kata salah satu petugas jaga. Aku menganggukkan kepala.
Setelah mendapat izin, Heru membawaku ke arah pos penjagaan di bagian depan. Tepat di depan ruang kantor rutan. Tempat tadi malam aku dan tahanan baru duduk dalam posisi hujan lebat untuk mengikuti proses registrasi.
Seorang pria bertubuh tinggi atletis, berdiri dari tempat duduknya saat aku mendekat. Kami bersalaman.
“Kemarin sore adiknya, Laksa, menemui saya. Meminta bantuan untuk bapak,” kata pria berpakaian dinas penjaga keamanan rutan itu, dengan suara kalem.
“O iya, pak. Terimakasih banyak atas bantuannya. Mohon petunjuk selanjutnya,” ujarku kemudian.
“Yang penting, bawa dan jaga diri baik-baik saja. Jangan mudah terpancing dalam situasi apapun. Di dalam sini tempatnya orang menjual kisah, jadi tidak perlu dimasukkan hati kalau ada yang cerita macem-macem. Saya usahakan nanti malem, bapak sudah keluar dari AO,” katanya lagi.
“Siap, pak. Mohon terus bantuannya,” sahutku lagi.
Setelah berbincang beberapa menit, ia meminta Heru kembali membawaku masuk ke dalam.
“Ngobrol saja dulu dengan kawan-kawan di kamar 34 itu. Nggak apa-apa. Tapi nanti begitu adzan Dhuhur, harus kembali ke kamar. Karena jam 13 ada pemeriksaan tahanan,” pesan komandan petugas keamanan rutan saat aku berpamitan untuk masuk ke dalam.
Heru kembali mengantarku sampai ke kamar Edi. Dan bergabung lagi dengan kawan-kawan yang dulu pernah bersama di tahanan mapolres. Banyak kenangan yang menjadi isi perbincangan.
Irfan bercerita tentang peristiwa tadi malam saat aku baru masuk sel AO. Adanya tiga orang yang mencoba menjatuhkan mentalku untuk ke depannya menjadi sapi perah mereka.
“Siapa yang ngelakuinnya? Danil ya,” ujar Doni, yang telah bergabung di kamar Edi.
Irfan dan Arya menganggukkan kepalanya. Tampak wajah Doni memerah. Ada amarah disana.
“Nanti aku gebuk dia, Be. Tenang aja. Waktu aku masuk AO, dia juga coba-coba ngerjain aku. Akhirnya kami berantem. Dia nangis-nangis minta ampun kena hajar mukanya sama tanganku,” kata Doni dengan nada marah.
“Nggak usah, Doni. Sudah selesai kok. Kebetulan ada petugas dateng. Dan dia ngingetin Danil untuk jangan coba-coba nyenggol aku. Setelah itu, dia duduk dan sampai sekarang nggak berbuat aneh-aneh,” ujarku, meredam amarah Doni.
“Tapi tetep ada waktunya Danil perlu dikasih pelajaran, Be. Nanti kalau dia sudah keluar AO dan masuk kamar penaling, pasti ada selipnya dia. Baru aku hantem lagi,” kata Doni, masih dengan meledak-ledak.
“Emang apa kasus dia itu, Doni?” tanyaku. Penasaran.
“Kasus receh, Be. KDRT. Gebukin istri sama anaknya sendiri. Emang sih, dia residivis. Pernah masuk dua kali kasus narkoba, sekali kasus pembunuhan, dan sekarang karena nganiaya istri sama anaknya,” urai Doni, menjelaskan siapa Danil.
“Sudah, ngapain kita ngomongin Danil. Kecil amat urusan. Yang penting sekarang, gimana caranya Babe dan kawan-kawan kita cepet keluar AO,” kata Edi, mengalihkan pembicaraan.
Aku ceritakan pertemuanku dengan komandan petugas keamanan rutan, yang akan mengusahakanku nanti malam pindah dari kamar AO.
“Berarti Babe sudah aman. Tinggal Irfan, Arya, dan Tomy yang kita pikirin,” lanjut Edi.
“Masih ada satu lagi, pak Edi. Hasbi. Dia terakhir OD di kamar 10. Dan pelimpahannya bareng sama aku,” ujarku.
“Berarti ada empat orang. Nanti kita pikirin jalan keluarnya. Besok pagi berarti kita sudah kumpul sama Babe. Kita ngobrol di gazebo depan kamarku aja,” Edi menambahkan.
Beberapa saat kemudian, suara adzan Dhuhur menggema dari masjid di dalam kompleks rutan. Aku, Irfan, dan Arya berpamitan. Kembali ke sel AO.
Saat berjalan menuju kawasan area khusus sel AO, Aris berbelok dari selasar. Masuk ke kantin. Membeli beberapa bungkus makanan ringan. Gorengan. Juga dua botol air mineral dan tiga bungkus rokok.
“Pegang sama kamu ini Arya. Amanin yang buat Babe,” kata Aris sambil menyerahkan tiga kantong plastik panganan berupa pisang, tahu dan tempe goreng, juga air mineral ukuran jumbo.
Aris dan kawan-kawan mengantarkan kami sampai ke pintu khusus sel AO. Dan setelahnya, mereka membalikkan badan. Kembali ke kamar masing-masing. (bersambung)