Oleh, Dalem Tehang
SEBELUM masuk ke kamar, ku minta Arya membagi panganan untuk Tomy dan Hasbi di kamar 2. Juga untuk Bagus dan Yosep. Dengan cepat, Arya memasukkan kiriman makanan melalui sela-sela jeruji besi. Tomy yang menerima kiriman panganan, tampak sumringah.
“Terimakasih, Be. Alhamdulillah,” kata Tomy seraya mengepalkan tangannya. Menunjukkan ia tetap bersemangat.
Sesampai di kamar, aku kembali duduk di tempat yang disediakan Irfan. Dika menyerahkan tas yang ku titipkan. Sebatang rokok, diberikan Arya buat Dika.
“Bagi-bagi dulu rokoknya, Arya,” kata Danil tiba-tiba. Pria bertubuh tinggi besar dengan banyak tato di badannya yang sempat bersitegang denganku.
“Ini punya Babe,” sahut Arya dan memasukkan rokok ke dalam tas kainku.
Mendengar jawaban Arya, Danil hanya diam. Tidak berani meminta kepadaku. Aku minta Arya membagikan gorengan yang ada, setelah mengamankan untuk kami. Setiap penghuni kamar kebagian satu potong makanan. Danil dan dua pengawalnya, sengaja tidak diberi.
“Kamu ini keterlaluan, Arya. Masak cuma kami bertiga aja yang nggak dikasih. Sengaja bener buat masalah,” kata seorang pengawal Danil dengan nada tinggi.
“Kalau aku nggak mau kasih emang kenapa?” ujar Arya seraya menatap pengawal Danil.
Dari sudut mata, ku lihat Danil menarik tangan pengawalnya. Menyuruhnya duduk kembali. Aku beri isyarat pada Irfan untuk memberi setiap tahanan satu batang rokok. Kecuali Danil dan dua pengawalnya. Melihat aksi Irfan, Danil pun meledak amarahnya.
“Tunggu ya. Selip kalian, aku hajar,” kata Danil dengan suara penuh amarah.
“Kapan aja om mau ngehajar, silahkan. Aku siap. Tapi jangan lupa, semua tahanan di kamar ini bisa ngeroyok om sama dua pengawalnya dengan spontan,” kata Irfan seraya bangun dari tempat duduknya.
Irfan menggerakkan tangannya. Meminta semua tahanan berdiri. Dengan bersamaan, puluhan tahanan di kamar AO berdiri dan menatap Danil bersama dua pengawalnya yang berada di ujung kamar.
“Kapan aja, semua siap gebukin om Danil dan pengawalnya kan?” tanya Irfan kepada semua tahanan.
“Siap kapan aja diperintah,” sahut puluhan tahanan dengan suara keras.
Danil dan kedua pengawalnya tampak terpukul dengan peristiwa itu. Mereka menyadari, situasi kamar yang selama ini bisa mereka kendalikan sekehendaknya, kini telah berbalik.
“Ya sudah, semua duduk lagi. Kita sama-sama disini pengen tenang dan nyaman. Kalau ada yang ngeganggu, habisi aja bareng-bareng,” kataku kemudian dan memberi isyarat agar semua penghuni sel duduk kembali di tempatnya.
Serentak penghuni kamar duduk kembali. Aku dekati mereka satu demi satu dan menyalaminya. Menunjukkan keberpihakan. Satu rasa, sepenanggungan.
Terdengar suara pintu pemisah sel AO dibuka. Tiga petugas keamanan masuk ke dalam area khusus tersebut, didampingi seorang tamping yang memegang kertas dan pulpen.
Pemeriksaan jumlah tahanan siang itu dilakukan dengan cepat. Semua tahanan berdiri dan menyebut nomor angka masing-masing secara berurutan. Klop. Jumlah penghuni kamar 1 AO sebanyak 32 orang. Setelah tamping mencatat, petugas meninggalkan area AO.
Siang itu, hawanya panas sekali. Seiring sinar mentari yang seakan ingin menguliti bumi. Semua penghuni kamar tidak ada yang memakai kaos. Kompak bertelanjang dada. Mengurangi hawa panas dan kepengapan akibat ringkihnya sepoi angin memasuki ruangan kamar yang penuh sesak.
Di tengah kesulitan mengatasi hawa yang begitu panas, seorang pria berusia menjelang 40 tahunan tampak berdiri di balik pagar kawat pemisah halaman sel AO dengan selasar menuju masjid.
Berpakaian rapih: kaos kerah, dipadu dengan celana jeans panjang, dan bertopi, pria berkulit putih itu tiba-tiba berteriak: “Bang Mario!”
Irfan menepuk pahaku. Memastikan aku mendengar teriakan pria itu. Setelah tiga kali ia memanggil namaku, barulah aku berdiri. Tetap di tempatku. Di lantai atas sel AO.
Begitu melihatku berdiri, ia melambaikan tangannya. Dan ku sahuti dengan lambaian tangan juga. Sesaat kemudian, pria itu pergi.
“Apalah maksud orang tadi,” kataku, mendumel.
“Dia mastiin ada Babe disini. Kali dia langsung ke pos, Be. Mau nge-bond Babe. Emang Babe kenal sama orang tadi,” ujar Irfan.
“O gitu ya caranya. Aku nggak kenal sama orang tadi, Fan. Ya, kita lihat ajalah gimana nanti,” sahutku dengan enteng.
Sekitar 10 menit kemudian, terdengar pintu pagar kawat pemisah sel AO dengan kompleks tahanan lain, dibuka. Seorang petugas masuk dan membuka pintu kamarku.
“Yang namanya Mario diminta keluar, ada yang nge-bond,” kata petugas itu, tetap berdiri di pintu paling depan kamar 1 AO.
Irfan dan Arya, juga Dika, menyuruhku buru-buru untuk keluar.
“Buruan, Be. Kalau kelamaan, bisa aja petugas ngebatalin Babe buat keluar kamar,” ucap Irfan dengan wajah serius.
Sambil memakai kaos, aku melangkah keluar kamar. Melewati beberapa tahanan yang sedang duduk, berbincang. Aku lihat, pria bertopi yang tadi memanggilku, berdiri di depan pintu pagar kawat pemisah area khusus AO.
“Aku Gerry, bang. Anak buahnya bang Peeng. Kawan abang waktu masih suka main bola dulu,” kata pria itu, memperkenalkan dirinya seraya menyalamiku.
“Oh iya, Peeng. Dia kawan baikku. Sudah tahunan nggak ketemu. Nggak nyangka juga dia masih inget aku,” sahutku dan berjalan mengikuti langkah Gerry dan petugas jaga.
Sambil tersenyum, Gerry mengajakku ke kamarnya. Setelah sebelumnya mampir di pos penjagaan. Dan melakukan “tradisi” karena nge-bond tahanan dari kamar AO.
Sepanjang jalan melalui selasar yang bertutupkan asbes, Gerry bercerita panjang lebar. Termasuk ia kemarin siang ditelepon Peeng. Diminta menemuiku dan membantu apa saja yang aku butuhkan.
“Aku ini anak buah bang Peeng, bang. Di rutan ini ada belasan anak buah bang Peeng dan aku yang dituakan disini,” ujarnya.
“Emangnya Peeng sekarang jadi apa ya?” tanyaku.
“Dia ketua ormas besar, bang. Jaringannya kuat. Anak buahnya banyak. Yang buat aku salut sama dia, kesetiakawanannya tinggi dan luar biasa. Dia inget bener sama orang-orang yang pernah ngebantu dia. Dan kalau orang itu lagi kesulitan, dia nggak segen turun tangan,” jelas Gerry mengenai sosok Peeng, yang dulu berkawan dekat denganku saat masih sama-sama aktif di sebuah klub sepakbola.
“Iya, bener itu. Aku juga tahu karakter Peeng, Gerry. Kalau ada yang ngeganggu kawannya, nggak segen juga dia bertindak sendirian,” sahutku.
Kami memasuki sebuah halaman cukup luas, dengan taman-taman kecil, juga terdapat dua kolam dengan air mancurnya, dan deretan kursi taman terbuat dari semen yang dibentuk layaknya batang pohon. Sangat artistik.
“Ini Blok A, bang. Semuanya ada 54 kamar. Dua tingkat bangunannya,” kata Gerry mengenalkan bangunan yang kami masuki.
Setelah melalui tangga yang memutar, kami menuju lorong panjang. Dan berhenti di depan kamar 12. Gerry mengajakku masuk.
“Ini kamarku, bang. Kawan-kawan, ini bang Mario. Kawan akrabnya bang Peeng,” kata dia, mengenalkanku kepada penghuni kamar yang berjumlah 14 orang.
Setelah menyalami mereka satu demi satu, aku diajak duduk di atas sebuah kasur tebal. Berada di sudut kamar. Tempat Gerry.
Mataku memandangi kamar. Jejeran lemari kecil tempat pakaian tampak disusun rapih. Di depan kamar mandi terdapat magic com dan termos pemanas air otomatis. Ditaruh di atas kardus tebal. Kamarnya pun dipasangi karpet dari plastik. Rapih dan bersih. (bersambung)