Balada Seorang Narapidana (Bagian 130)


Oleh, Dalem Tehang


SUARA adzan Maghrib terdengar kencang. Bersamaan dengan berdatangannya puluhan orang ke rumah Allah yang ada di dalam kompleks rutan. Mereka rata-rata memakai baju koko dan berkopiah. Dan beberapa di antaranya bersarung. Selebihnya, menggunakan celana panjang.


“Mereka itu tahanan juga, Be. Anggota majelis taklim disini. Merekalah yang rutin meramaikan solat jamaah di masjid,” kata Irfan, menjawab pertanyaan di pikiranku mengenai berdatangannya puluhan orang ke masjid saat itu.


Aku menganggukkan kepala. Ada rasa bahagia di batinku. Ternyata, di tempat tahanan ini tetap terbangun dengan rapih suasana keagamaan. 


“Nggak cuma tahanan muslim yang bentuk majelis taklim, Be. Yang non muslim juga ada. Mereka yang memakmurkan gereja di deket pos penjagaan dalam,” lanjut Irfan.


Arya menunjuk bangunan kecil yang ada di sebelah kiri masjid. Itu tempat koordinator majelis taklim dan marbot masjid tinggal.


Ku dengarkan bacaan imam solat Maghrib. Sangat fasih. Pun tampak belasan petugas rutan ikut jamaahan. Menyatu dalam penghambaan kepada Sang Pencipta. Suatu suasana penuh kebersamaan yang hadir atas nama sesama makhluk untuk menghadap Tuhannya.     


“Subhanallah. Betapa indah kehidupan disini ternyata ya. Berbaurnya seluruh sisi kehidupan anak manusia dalam satu kompleks yang diluaran sangat menakutkan,” tuturku dengan perlahan.


Seusai solat jamaahan, aku dengar sang imam melanjutkan prosesi peribadatan dengan membaca yasin dilengkapi tahlil. Diikuti anggota majelis taklim yang jumlahnya tidak kurang dari 30-an orang.


Tanpa terasa, badanku merinding. Alunan ayat suci menggema dengan indahnya. Membelah malam yang mulai datang. Menaik ke langit. Menggapai lauhul mahfudz.


Di saat aku masih terbawa dalam suasana kesyahduan menikmati alunan ayat-ayat suci yang dibacakan anggota majelis taklim di masjid, terdengar pintu sel kamar AO dibuka. Seorang petugas berdiri di pintu dan memanggilku untuk segera keluar.


Bergegas, ku ambil tas kainku. Menyalami Irfan, Arya, Dika, dan Harjuno. Berpamitan. Mereka melepasku dengan senyuman.


“Kalian sabar ya. Inshaallah secepetnya keluar dari sini. Besok aku urus sama kawan-kawan,” ujarku pada Irfan dan Arya.


“Siap. Yang penting Babe dapet tempat nyaman dulu,” sahut Irfan dengan kalem.


Sebelum turun dari lantai atas, ku tatap Danil dan dua pengawalnya. Mereka hanya diam dan kemudian menundukkan wajahnya. 


“Kawan-kawan semua. Aku izin duluan ya. Jangan ada yang ngejajah lagi disini. Kalau masih ada yang sok jago, bantai aja rame-rame. Jangan takut, aku pasang badan buat kawan-kawan semua kalau sampai ada apa-apa,” kataku dengan suara kencang. Percaya diriku telah kembali.   


“Siap, Be. Kami lawan kalau ada yang sok-sok-an lagi. Terimakasih sudah bangkitin mental kami,” ujar Harjuno dengan penuh semangat. Dan sesaat kemudian, semua penghuni sel AO tempatku, berdiri. Bertepuk tangan. Dan baru berhenti setelah aku keluar kamar.


Saat melewati pos penjagaan di depan sel khusus AO, tamping Heru sudah ada disana. Ia mengajakku menuju ke Blok B. Kamar penaling. Pengenalan lingkungan. Mulailah aku memasuki tahapan masa pengenalan lingkungan. Mapenaling.


Di pintu masuk Blok B, aku dikenalkan dengan pemuka blok. Dua orang. Yang satu bertubuh tambun dengan wajah sangar, satunya lagi berpostur tinggi besar dengan tato di sepanjang tangan kanan kirinya. Setelah diminta membaca hak dan kewajiban warga binaan yang terpajang di dinding dengan tulisan besar-besar, aku dibawa ke kamar 8.


“Assalamualaikum,” ucapku begitu pintu sel dibuka. 


“Waalaikum salam. Masuk, Be. Tempatnya sudah aku siapin. Di paling ujung,” sebuah suara yang amat aku kenali, menyahut. Suara Asnawi.


Sambil menuju tempat yang ditunjuk oleh Asnawi, aku salami satu persatu penghuni kamar. Sebanyak 14 orang. Dengan aku masuk, isi kamar berukuran 5 x 8 meter itu menjadi 15 orang.


Baru saja tas kain, aku taruh, Asnawi meminta semua penghuni kamar untuk duduk. Rupanya, dia kepala kamarnya. Bersyukur aku dalam hati. Tetap saja ada kemudahan yang diberikan Sang Maha Pengatur.


Sebelum mengenalkan satu demi satu penghuni kamar, Asnawi memberitahu jika aku adalah kap kamar saat ia menjadi tahanan titipan di mapolres. 


“Jadi aku ngenal baik bang Mario ini. Dia biasa kami panggil Babe waktu di polres. Terserah kawan-kawan mau manggil dia dengan sebutan apa,” kata Asnawi yang kemudian memperkenalkan penghuni kamar dengan kasusnya masing-masing kepadaku.


“Soal kewajiban kamar gimana, kap?” tanyaku kemudian.


“Jangan panggil aku kap-lah, Be. Tetep aja panggil aku Asnawi atau Nawi kayak biasa,” ucap Asnawi dengan cepat. Ku anggukkan kepala. Memahami apa yang ia inginkan. Ada rasa jengah saat aku memanggilnya dengan sebutan kap.


Asnawi kemudian menjelaskan, setiap pekan, semua penghuni kamar 8 mapenaling, berkewajiban menyerahkan dana Rp 250.000 per-orang. Kegunaannya, mulai dari untuk membayar uang kunci, uang air, uang pengamanan setiap pergantian petugas piket, hingga membeli makanan, gula, teh, kopi, mie instan, dan air galon mineral melalui koperasi rutan.


“Untuk makan, kita sekali dapet nasi cadong. Kadang dianter siang, kebanyakan menjelang sore. Itu juga nggak pernah sesuai isi kamar. Paling dapet 10 nampan aja,” jelas Asnawi. 


Selain itu, lanjut dia, penghuni kamar 8 berlangganan makanan catering melalui tamping dapur. Empat boks dan dianter dua kali sehari. Siang dan sore. Dengan biaya catering Rp 75.000 per-boks setiap minggunya. 


“Selama ini kita pesen empat boks. Dengan tambahan Babe, mulai besok kita nambah jadi lima boks. Jadi satu boks, untuk makan bertiga,” kata Asnawi lagi.


Sambil mendengar uraian Asnawi, terbayang olehku berapa kebutuhan biaya satu bulan bagi keperluan hidup di kamar. Belum lagi ditambah rokok dan lain-lainnya. Aku hanya bisa menundukkan wajah. Menatap lantai kamar. Beristighfar. Berserah kepada Yang Maha Kuasa.


Keterdiamanku dikejutkan oleh suara adzan Isya yang menyeruak kuat masuk ke dalam kamar. Aku lihat, beberapa orang bangun dari tempatnya. Ke kamar mandi. Untuk berwudhu.


“Babe solatkan?” tanya seorang pria berusia beberapa tahun lebih tua dariku, sambil tersenyum ramah sebelum ia masuk ke kamar mandi.


Aku menganggukkan kepala. Pria itu mempersilahkan aku untuk mensucikan badan terlebih dahulu. Tampak, ia memperhatikan dengan cermat caraku wudhu.


“Alhamdulillah. Kalau ngelihat cara Babe wudhu, kayaknya sudah biasa solat. Kalau wudhunya belum bener, nanti aku ajarin. Karena sia-sia aja solat kita kalau wudhunya nggak baik,” kata pria itu, seraya memperkenalkan dirinya bernama Waras.


Kami solat Isya berjamaah di lantai atas. Hanya tujuh dari 15 penghuni kamar yang menjalankan ibadah saat itu. Waras memintaku untuk komat. 


Seusai menjadi imam solat, Waras membuka tasnya. Mengeluarkan sebuah kopiah khas haji. Warnanya tidak putih lagi. Sudah lebih ke abu-abu. Ia berikan penutup kepala untuk solat itu kepadaku.


“Terimakasih, pak Waras. Inshaallah barokah,” ucapku seraya menundukkan wajah. Menghormat.


Pria dengan badan gempal itu, sesaat terkekeh. Ketawanya sangat khas. Ringan tanpa beban.


Asnawi memerintahkan OD menyiapkan makan malam. Sebelum memulai makan, ia minta ditambah lauk dengan membuat dua bungkus mie goreng.


Saat kami tengah menikmati makan malam, tiba-tiba Gerry berdiri di depan jeruji. Ia membawa dua bungkusan.


“Bang Mario rupanya sudah pindah dari AO ya. Tadi aku kesana. Ini untuk makan malemnya,” kata Gerry, dan memasukkan bungkusan yang dibawanya melalui jeruji besi.


“Iya, habis Maghrib tadi pindah kesini. Terimakasih banyak ya, Gerry,” kataku dan menerima makanan yang dibawanya.


“Syukur abang sudah keluar AO. Besok kita ngobrol lagi ya. Istirahat aja, bang. Jangan ikut-ikutan begadang,” ujar Gerry yang kemudian berbalik badan. Kembali ke kamarnya di Blok A.


Ku buka bungkusan yang dibawakan Gerry. Ternyata nasi dengan lauk telor sambel dan dua potong tempe. Juga satu bungkus gorengan lainnya: tahu, bakwan, dan combro.


“Alhamdulillah. Ada aja rejeki kita, pak Mario. Jangan pernah takut kelaperan disini. Karena Allah sudah janjikan rejeki untuk semua makhluk-Nya,” kata Waras seraya tersenyum dan kembali tertawa dengan gaya khasnya; terkekeh.   


Hatiku terus menyenandungkan rasa syukur. Karena betapapun terpuruknya kondisi lahiriyahku akibat harus menjalani hidup di bui, namun hati tetap merasa tenang. Selalu dipertemukan dengan orang dan situasi yang menyadarkan akan kenisbian kita selaku makhluk.


Baru saja aku merebahkan badan setelah menaruhkan kaos di bagian punggung, Asnawi yang sedang bermain kartu, berdiri. Ia berikan kasur tipisnya buatku tidur.


“Babe pakai aja kasurku. Tipis emang, tapi lumayan buat nahan dinginnya lantai,” kata dia dan menaruhkan kasur tipisnya di tempatku.


“Terimakasih ya, Nawi. Alhamdulillah,” sahutku yang kemudian kembali merebahkan badan. Kali ini dengan menggunakan kasur sebagai alasnya.


Sambil menatap plafon kamar tahanan, aku kembali mengucap syukur. Setelah hampir 60 hari tidur tanpa kasur, malam ini aku bisa kembali menikmatinya. Allah memang maha pengatur. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini