Pemilu 1999
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998
jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas
desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga
hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu
dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu
untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau
kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan
lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak
dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum
MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal
digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi
Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung
sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi
sebelumnya.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan
RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim
Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor
IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik
dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan
Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini
diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk
mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen
Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri
Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu
menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin
Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana
Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah
dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya. Habibie menyelenggarakan pemilu
setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia
bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan
penegakan hukum serta tekanan internasional.
Hasil Pemilu 1999
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada
Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidakseperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata
Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya
di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan
suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas
datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan
suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada
tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara
perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan
tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah
sebagai berikut:
Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu 1999.
Nomor Nama Partai
1. Partai Keadilan
2. PNU
3. PBI
4. PDI
5. Masyumi
6. PNI Supeni
7. Krisna
8. Partai KAMI
9. PKD
10. PAY
11. Partai MKGR
12. PIB
13. Partai SUNI
14. PNBI
15. PUDI
16. PBN
17. PKM
18. PND
19 PADI
20. PRD
21. PPI
22. PID
23. Murba
24. SPSI
25. PUMI
26 PSP
27. PARI
Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU
kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan
kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti
keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi.
Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomen-dasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula
mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya.Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru
diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung
melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian
kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja
PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang
melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam
yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok
stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120
kursi sisa.
Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU
perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi
pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus
accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara
yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara.
Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa
memperhitungkan lagi stembus accoord.
Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi
hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan,
lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang
diperebutkan.
Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen
dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen
sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997.
PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan
11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi
dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan
34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam
dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding
Pemilu 1997. Selengkapnya hasil perhitungan pembagian kursi itu seperti terlihat
dalam tabel di bawah.
No. Nama Partai, Suara DPR, Kursi Tanpa SA, Kursi Dengan SA
1. PDIP, 35.689.073, 153, 154
2. Golkar 23.741.749 120 120
3. PPP 11.329.905 58 59
4. PKB 13.336.982 51 51
5. PAN 7.528.956 34 35
6. PBB 2.049.708 13 13
7. Partai Keadilan 1.436.565 7 6
8. PKP 1.065.686 4 6
9. PNU 679.179 5 3
10. PDKB 550.846 5 3
11. PBI 364.291 1 3
12. PDI 345.720 2 2
13. PP 655.052 1 1
14. PDR 427.854 1 1
15. PSII 375.920 1 1
16. PNI Front Marhaenis 365.176 1 1
17. PNI Massa Marhaen 345.629 1 1
18. IPKI 328.654 1 1
19. PKU 300.064 1 1
20. Masyumi 456.718 1 -
21. PKD 216.675 1 - -
22. PNI Supeni 377.137 - -
23 Krisna 369.719 - -
24. Partai KAMI 289.489 - -
25. PUI 269.309 - -
26. PAY 213.979 - -
27. Partai Republik 328.564 - -
28. Partai MKGR 204.204 - -
29. PIB 192.712 - -
30. Partai SUNI 180.167 - -
31. PCD 168.087 - -
32. PSII1905 152.820 - -
33. Masyumi Baru 152.589 - -
34. PNBI 149.136 - -
35. PUDI 140.980 - -
36. PBN 140.980 - -
37. PKM 104.385 - -
38. PND 96.984 - -
39. PADI 85.838 - -
40. PRD 78.730 - -
41. PPI 63.934 - -
42. PID 62.901 - -
43. Murba 62.006 - -
44. SPSI 61.105 - -
45. PUMI 49.839 - -
46 PSP 49.807 - -
47. PARI 54.790 - -
48. PILAR 40.517 - -
Jumlah 105.786.661 462 462
Catatan:
1. Jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi mencapai 9.700.658. atau
9,17 persen dari suara yang sah.
2. Apabila pembagian kursi dilakukan dengan sistem kombinasi jumlah partai
yang mendapatkan kursi mencapai 37 partai dengan jumlah suara partai yang
tidak menghasilkan kursi hanya 706.447 atau 0,67 persen dari suara sah.
Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini tetap memakai sistem proporsional
dengan mengikuti varian Roget. Dalam sistem ini sebuah partai memperoleh kursi
seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan
kursi berdasarkan the largest remainder.Tetapi cara penetapan calon terpilih berbeda dengan Pemilu sebelumnya, yakni
dengan menentukan ranking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan.
Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor urut pertama dalam daftar calon partai
otomatis terpilih apabila partai itu mendapatkan kursi, maka kini calon terpillih
ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terba-nyak dari daerah di mana seseorang
dicalonkan. Dengan demikian seseorang calon, sebut saja si A, meski berada di urutan
terbawah dari daftar calon, kalau dari daerahnya partai mendapatkan suara terbesar,
maka dialah yang terpilih. Untuk cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan
suara di Daerah Tingkat II ini sama dengan cara yang dipergunakan pada Pemilu
1971.
Bagaimanapun penyelenggaraan Pemilu-pemilu tersebut merupakan pengalaman yang
berharga. Sekarang, apakah pengalaman itu akan bermanfaat atau tidak semuanya
sangat tergantung pada penggunaannya untuk masa-masa yang akan datang. Pemilu
yang paling dekat adalah Pemilu 2004. Pengalaman tadi akan bisa dikatakan berharga
apabila Pemilu 2004 nanti memang lebih baik daripada Pemilu 1999. Pemilu 1999
untuk banyak hal telah mendapat pujian dari berbagai pihak. Dengan pengalaman
tersebut, sudah seharusnyalah kalau Pemilu 2004 mendatang lebih baik lagi.
Sumber : KPU
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998
jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas
desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga
hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu
dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu
untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau
kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan
lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak
dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum
MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal
digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi
Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung
sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi
sebelumnya.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan
RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim
Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor
IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik
dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan
Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini
diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk
mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen
Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri
Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu
menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin
Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana
Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah
dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya. Habibie menyelenggarakan pemilu
setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia
bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan
penegakan hukum serta tekanan internasional.
Hasil Pemilu 1999
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada
Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidakseperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata
Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya
di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan
suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas
datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan
suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada
tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara
perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan
tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah
sebagai berikut:
Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu 1999.
Nomor Nama Partai
1. Partai Keadilan
2. PNU
3. PBI
4. PDI
5. Masyumi
6. PNI Supeni
7. Krisna
8. Partai KAMI
9. PKD
10. PAY
11. Partai MKGR
12. PIB
13. Partai SUNI
14. PNBI
15. PUDI
16. PBN
17. PKM
18. PND
19 PADI
20. PRD
21. PPI
22. PID
23. Murba
24. SPSI
25. PUMI
26 PSP
27. PARI
Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU
kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan
kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti
keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi.
Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomen-dasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula
mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya.Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru
diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung
melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian
kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja
PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang
melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam
yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok
stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120
kursi sisa.
Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU
perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi
pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus
accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara
yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara.
Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa
memperhitungkan lagi stembus accoord.
Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi
hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan,
lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang
diperebutkan.
Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen
dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen
sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997.
PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan
11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi
dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan
34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam
dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding
Pemilu 1997. Selengkapnya hasil perhitungan pembagian kursi itu seperti terlihat
dalam tabel di bawah.
No. Nama Partai, Suara DPR, Kursi Tanpa SA, Kursi Dengan SA
1. PDIP, 35.689.073, 153, 154
2. Golkar 23.741.749 120 120
3. PPP 11.329.905 58 59
4. PKB 13.336.982 51 51
5. PAN 7.528.956 34 35
6. PBB 2.049.708 13 13
7. Partai Keadilan 1.436.565 7 6
8. PKP 1.065.686 4 6
9. PNU 679.179 5 3
10. PDKB 550.846 5 3
11. PBI 364.291 1 3
12. PDI 345.720 2 2
13. PP 655.052 1 1
14. PDR 427.854 1 1
15. PSII 375.920 1 1
16. PNI Front Marhaenis 365.176 1 1
17. PNI Massa Marhaen 345.629 1 1
18. IPKI 328.654 1 1
19. PKU 300.064 1 1
20. Masyumi 456.718 1 -
21. PKD 216.675 1 - -
22. PNI Supeni 377.137 - -
23 Krisna 369.719 - -
24. Partai KAMI 289.489 - -
25. PUI 269.309 - -
26. PAY 213.979 - -
27. Partai Republik 328.564 - -
28. Partai MKGR 204.204 - -
29. PIB 192.712 - -
30. Partai SUNI 180.167 - -
31. PCD 168.087 - -
32. PSII1905 152.820 - -
33. Masyumi Baru 152.589 - -
34. PNBI 149.136 - -
35. PUDI 140.980 - -
36. PBN 140.980 - -
37. PKM 104.385 - -
38. PND 96.984 - -
39. PADI 85.838 - -
40. PRD 78.730 - -
41. PPI 63.934 - -
42. PID 62.901 - -
43. Murba 62.006 - -
44. SPSI 61.105 - -
45. PUMI 49.839 - -
46 PSP 49.807 - -
47. PARI 54.790 - -
48. PILAR 40.517 - -
Jumlah 105.786.661 462 462
Catatan:
1. Jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi mencapai 9.700.658. atau
9,17 persen dari suara yang sah.
2. Apabila pembagian kursi dilakukan dengan sistem kombinasi jumlah partai
yang mendapatkan kursi mencapai 37 partai dengan jumlah suara partai yang
tidak menghasilkan kursi hanya 706.447 atau 0,67 persen dari suara sah.
Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini tetap memakai sistem proporsional
dengan mengikuti varian Roget. Dalam sistem ini sebuah partai memperoleh kursi
seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan
kursi berdasarkan the largest remainder.Tetapi cara penetapan calon terpilih berbeda dengan Pemilu sebelumnya, yakni
dengan menentukan ranking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan.
Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor urut pertama dalam daftar calon partai
otomatis terpilih apabila partai itu mendapatkan kursi, maka kini calon terpillih
ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terba-nyak dari daerah di mana seseorang
dicalonkan. Dengan demikian seseorang calon, sebut saja si A, meski berada di urutan
terbawah dari daftar calon, kalau dari daerahnya partai mendapatkan suara terbesar,
maka dialah yang terpilih. Untuk cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan
suara di Daerah Tingkat II ini sama dengan cara yang dipergunakan pada Pemilu
1971.
Bagaimanapun penyelenggaraan Pemilu-pemilu tersebut merupakan pengalaman yang
berharga. Sekarang, apakah pengalaman itu akan bermanfaat atau tidak semuanya
sangat tergantung pada penggunaannya untuk masa-masa yang akan datang. Pemilu
yang paling dekat adalah Pemilu 2004. Pengalaman tadi akan bisa dikatakan berharga
apabila Pemilu 2004 nanti memang lebih baik daripada Pemilu 1999. Pemilu 1999
untuk banyak hal telah mendapat pujian dari berbagai pihak. Dengan pengalaman
tersebut, sudah seharusnyalah kalau Pemilu 2004 mendatang lebih baik lagi.
Sumber : KPU