Perbuatan sebagai hamba Allah hanya dua kategori yakni perkara syariat dan di luar perkara syariat. Dalam perkara syariat berlaku “hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang mensyari'atkannya atau menetapkannya”. Dalam perkara syariat harus sesuai dengan apa yang disampaikan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Perkara baru (bid’ah) dalam perkara syariat, perkara baru dalam perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa), perkara larangan (jika dilanggar berdosa) maupun perkara pengharaman (jika dilanggar berdosa) adalah bid’ah dholalah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“mendekatkan dari surga” maka pmerupakan perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa), sedangkan “menjauhkan dari neraka” maka mrupakan perkara larangan dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa)
Jika ulama berfatwa dalam perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa), perkara larangan (dikerjakan berdosa) dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa) wajib berlandaskan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,“Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116].
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
من حلل حراما او حرم حلالا فقد كفر
“Barangsiapa menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal, maka dia telah kafir.”
Sedangkan sikap dan perbuatan, di luar perkara syariat (di luar dari apa yang telah diwajibkanNya) berlaku “hukum asal segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya”
Sikap dan perbuatan, di luar perkara syariat (di luar dari apa yang telah diwajibkanNya) yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah berlaku kaidah sebagai berikut
1. Jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah dholalah
2. Jika tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah
Imam Syafi’i rahimahullah berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Imam Syafi’i rahimahullah berkata “Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Baihaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i”, Juz I, h. 469)
Perselisihan terjadi disebabkan kesalahpahaman mereka memaknai hadits, "Kullu bid'atin dholalah". Pengertian kullu ada 3 macam yakni syay’in artinya setiap satu, ba’din artinya setiap sebagian, dan jam’in artinya setiap semua.
Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154)
Dikatakan sebagian besar atau kebanyakan bid'ah itu sesat karena bid'ah dholalah adalah perkara baru dalam perkara syariat (perkara yang telah diwajibkanNya) dan perkara baru diluar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah. Sedangkan bid'ah hasanah hanyalah perkara baru diluar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah.