Iman dan takwa dalam al-A’raaf ayat 96 itu tidak dimaknai secara eksklusif milik orang beragama resmi Islam saja tapi inklusif. Islam yang dipakai adalah maknanya yang generik, yaitu kedamaian, kepasrahan total kepada Tuhan dan seterusnya. Apapun agama dan kepercayaannya, asalkan ia beriman dan bertakwa, artinya melakoni agama atau kepercayaannya dalam hidup sehari-hari itulah yang bisa mendatangkan berkah. Saling memperkuat dengan ayat al-A’raaf di atas, maka dalam surah al-Maidah (5:66) difirmankan: “Dan sekiranya mereka mengikuti ajaran Taurat dan Injil serta segala yang diturunkan dari Tuhan kepada mereka, niscaya mereka akan menikmati kesenangan dari setiap penjuru.”
Di ayat lain Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 62, “Orang-orang beriman (orang-orang Muslim), Yahudi, Kristen, dan Shabi’in yang percaya kepada Allah dan hari kiamat, serta melakukan amal kebajikan akan beroleh ganjaran dari Tuhan mereka. Tidak ada yang harus mereka khawatirkan, dan mereka tidak akan berduka”. (Catatan saya: terjemahan Shabi’in versi Depag adalah orang-orang yang mengikuti syariat nabi-nabi zaman dahulu atau yang menyembah bintang atau dewa-dewa). Pengertian iman dan takwa semacam ini (yaitu percaya kepada Allah, hari kiamat dan beramal kebajikan tak penting agama formalnya apa) kiranya yang dimaksudkan dalam surah al-A’raaf ayat 96 tersebut yang bisa menghadirkan keberkahan di muka bumi.
Itulah keunikan dan kearifan bangsa Indonesia yang telah terkenal sejak dulu kendati bersentuhan dengan beragam agama, namun tetap mengapresiasi dan tidak mengingkari budayanya sendiri. Kekerasan agama yang terjadi di Sumatra karena kaum Padri menolak budaya, mereka merujuk kekerasan budaya Arab.
Wali Songo yang di kemudian hari terperangkap politik kekuasaan akhirnya kembali —meminjam ejekan penulis Wedhatama di abad ke-19— “anggubel sarengat” model Arab hingga berujung pada tragedi berdarah di Jawa. Wali Songo yang dibutakan oleh kekuasaan akhirnya lupa bahwa saat Islam baru lahir, budaya kita telah mapan, telah punya desa-desa sebagai cagar budaya yang banyak jumlahnya. Mereka lupa bahwa paradigma luar tak bisa dipaksakan terhadap agama.
Tidak hanya Islam, agama manapun berkembang di negara-negara yang berbeda dengan cara-cara yang berbeda pula. Leif Manger misalnya melihat agama bukan persoalan hitam putih, bukan persoalan tunggal, milik Timur Tengah, tetapi Islam dimungkinkan melakukan dialektika yang dinamis. Antara Islam dalam kategori universal dengan lokalitas dimana ia hidup. Hal ini dikarenakan sekalipun Islam memiliki karakter universal, ia juga merupakan produk dari pergulatan dengan konteks lokal, dengan budaya setempat.
Dalam landasan budaya Nusantara inilah bangsa Indonesia yang majemuk bisa duduk bersama, itulah implementasi iman dan takwa. Jika bangsa ini bisa duduk bersama tanpa membedakan latar belakang dalam landasan budaya, maka hujan berkah tanpa diharapkan pun akan datang dengan sendirinya seperti disitir dalam surah al-A’raaf tersebut. Luar biasa, di masa lalu sepertinya Baginda Nabi telah “menyaksikan” Nusantara yang penuh berkah. Berabad-abad yang lalu, Nabi pun telah “melihat” kebangkitan Indonesia di masa depan.
Kebangkitan yang dimaksud adalah kebangkitan wajah agama yang moderat (wasatha). Kebangkitan itu adalah kebangkitan budhi (kesadaran), seperti dibilang Guru Besar dari Sumatra, Dharmakirti seribu tahun lalu. Kebangkitan itu adalah kebangkitan esensi agama-agama yang berwajah ramah, yang hormat pada Ibu Pertiwi.
Pemahaman “Islam”, “iman dan takwa”yang demikian luar biasa ini, kendati bangsa Indonesia memeluk “Islam” pada masa-masa akhir zaman persebaran Islam, karuan saja membuat Nabi Saw berdecak kagum, “A’jabu iimanan ummatin awakhiri ummati laa yudrikuunii walaa yaraaka ashaabii”(sungguh mengagumkan keimanan umat akhir zaman, yang tidak ada di zamanku dan para sahabatku)