Ilustrasi, Keanehan sekte salafi wahabi, (Foto : Tim Kreatif) |
Mati rasa tentu tidak. Tapi, entahlah. Benakku tak pernah memikirkan kapan dan dengan siapa harus menikah. Tak terbersit sekali pun pemikiran seperti itu. Yang ada dalam benakku hanya menulis dan menulis. Tak ada selain itu. Rasa-rasanya menulis adalah kekasihku, sampai-sampai aku merasa ada yang kurang jika tidak menulis.
Malam ini aku duduk di depan laptop. Mulai menguraikan kata demi kata. Menguraikan apa yang kualami tadi dengan sahabat-sahabat karib di serambi musalla. Tempat ini memang selalu kami tempati, karena memang di sinilah tempat jam belajar pengurus santri putra.
Tak jarang sering terjadi adu lisan tiap malamnya antarpengurus. Saling berpendapat dan saling mempertahankan pendapatnya. Pendapatku juga kadang dipatahkan, tapi aku tidak mau kalah. Tak segan-segan kupatahkan pendapat mereka sampai tak dapat bicara lagi, kebingungan.
Baca Juga :
- Hubngan Mesra Antara Kiai dan Mistisme
- Respon Kemajuan Media Informasi yang Berkembang Pesat, PCNU Kota Depok Launching Program Dakwah Digital
- Ikhtiar dan Tawakkal; Sebuah Perjuangan Melawan Sakit
Tadi, sekitar satu jam yang lalu, di serambi musalla hanya ada aku, Hakki dan Basri. Yang lainnya sibuk mendampingi jam belajar yang dibagi tiap daerah sesuai asramanya.
Aku, Hakki dan Basri sejak awal memang sudah sepakat untuk bermusuhan ketika berdiskusi. Ya, diskusi. Begitu kata mahasiswa yang dilontarkan di tempat perkopian. Tapi sayang, nampaknya kata diskusi itu kurang terkenal di kalangan santri, karena yang sering kudengar adalah musyawarah, bukan diskusi.
“Bas, kamu ikut Imam Syafi’i dalam hal fiqih, kan?” Kata Hakki sambil menepuk paha Basri.
“Boo, iya dong. Karena kan di Indonesia mayoritas memang mengikuti Imam Syafi’i kalau dalam hal fiqih,” jawab Basri dengan percaya dirinya.
“Tapi tahu kamu Imam Syafi’i lahir pada tahun berapa dan wafat tahun berapa?” Lanjut Hakki.
“Nanti sok ikut Imam Syafi’i tapi tidak tahu biografinya Imam Syafi’i,” tambah Hakki, meledek. Memang sudah biasa Hakki meledek Basri dan Basri pun tidak marah karena cara meledek Hakki dengan orang lain beda. Umumnya, orang yang meledek itu disertai wajah tidak suka. Tapi Hakki beda. Sama sekali tidak sama seperti lain-lainnya. Ketika meledek seseorang, ia pasti menyertakan tawa kecil, kadang terbahak-bahak. Karena itulah Basri tidak marah kalau Hakki meledekinya.
“Tahu dong. Mana mungkin aku tidak tahu,” kata Basri ikut tertawa kecil.
“Jangan-jangan kamu yang tidak tahu, Ki. Hahaha,” imbuh Basri.
Ditantang menjelaskan biografi Imam Syafi’i, Hakki tidak kaget walaupun ia tidak tahu, mungkin. Malah Hakki menanggapi ucapan Basri itu dengan tawa. Tenang sekali sikap Hakki seperti tahu segalanya dan tinggal bicara saja. Sikap seperti ini jarang kutemui pada santri yang lain, bahkan aku sekalipun.
“Ayo, bagaimana biografinya Imam Syafi’i, Ki? Jangan hanya ketawa. Hahaha.”
“Jadi begini, Bas,” kata Hakki mendehem dan memperbaiki posisi duduk bersilanya.
“Imam Syafi’i itu, nama aslinya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris. Beliau dilahirkan di Gaza Palestina. Tahu kamu ke Palestina, kan?”
Wah. Santri dari Gentong ini rupanya tahu betul seputar Imam Syafi’i. Awalnya kukira tidak tahu karena dari sikapnya tidak meyakinkan sama sekali. Hahaha.
“Iya tahu. Yang kemarin-kemarinnya perang dengan Israel itu, kan?”
“Sih. Sok tahu kamu, Bas. Hahaha.”
“Boo. Pas liburan Ramadan kemarin itu aku baca di wartanu.com. Kak Muhlas yang share linknya.”
Aku tertawa seketika mendengar Basri membaca di wartanu.com. Memang waktu liburan Ramadan kemarin aku menshare link tulisan tentang Palestina di story WhatsApp dan di kontaknya Basri. Tak kusangka ia akan membacanya, padahal di pesantren ia tergolong santri yang minat bacanya minim. Tapi, alhamdulillah kalau ia mau membaca. Turut senang mendengar hal itu.
“Lanjutkan, Lek,” perintahku pada Hakki untuk menjelaskan biografi Imam Syafi’i.
“Nah. Imam Syafi’i itu, Bas, lahir pada tahun 150 H atau 767 M.”
“Abad 1 Hijriyah berarti. Kalau Imam Abu Hanifah bagaimana, Ki?”
“Lebih dulu kalau Imam Abu Hanifah, Bas. Urutannya itu kan begini. Pertama, Madzhab Hanafi yang nama imamnya itu Imam Abu Hanifah. Abu Hanifah ini lahir pada 80 H. Kedua, Madzhab Maliki. Imamnya itu Imam Malik ibn Anas yang lahir pada 93 H, kemudian baru Madzhab Syafi’i,” Hakki tersenyum bangga karena dapat menjawab pertanyaan Basri dengan mulus tanpa cacat.
Baca Juga :
- MWC NU Sukosari Konsisten Pertahankan Kajian Keaswajaan Sejak 15 Tahun Silam
- KH. Junaidi Mu’thi ; Struktur NU Sama Seperti Struktur Manusia
- Laksanakan Program, PCNU Bondowoso Adakan Pengukuhan dan Penyerahan Surat Keputusan
Kali ini Hakki menang. Basri mengakui kecerdasan Hakki di forum musyawarah malam ini. Tapi bukan Basri namanya kalau begitu gampangnya percaya pada ucapan Hakki. Ia melirikku kemudian tersenyum.
“Betul apa yang dikatakan Hakki, Kak Las?” Kata Basri akhirnya setelah melirikku.
“Loh yaa ndak tahu, Lek. Menurutmu bagaimana?” Jawabku cengengesan.
Bibirnya masih belum bergerak. Tertutup rapat sambil memikirkan jawaban apa yang akan dijawabkan pada Hakki atas penjelasan Hakki tentang para imam madzhab fiqih yang empat. Giginya mulai terlihat. Tanda-tanda akan mulai menghajar Hakki dengan segala pemikiran yang ada di dalam otaknya.
“Ada yang belum, Ki. Madzhab fiqih itu kan ada empat. Tadi kamu hanya menyebutkan tiga. Yang keempat ini siapa?” Basri memulai, lagi.
“Madzhab yang keempat itu Madzhab Hanbali, Bas. Nama imamnya Imam Ahmad bin Hanbal. Nah, Imam Ahmad bin Hanbal ini lahir pada 164 H.”
Terkagum-kagum Basri mendengarkan penjelasan Hakki. Nampaknya tak ada lagi yang akan ia ucapkan untuk menandingi Hakki. Kulihat wajahnya tak bersemangat. Mulai lesu. Padahal, tiap hari ia terlihat ceria. Suka duka tetap ceria. Entahlah, malam ini Basri justru berbeda. Apa karena tidak bisa menanggapi perkataan Hakki, ya?
Mungkin saja iya. Barangkali begitu. Tapi, ia masih belum percaya dengan ucapan Hakki karena ia tahu sendiri bagaimana Hakki. Bisa saja Hakki mengada-ada jawabannya, kan? Pikirnya.
Mengada-ada?
“Benar apa yang dikatakan Hakki, Kak Las?” Tiba-tiba membalikkan keraguannya padaku.
“Benar, Lek, tapi ada yang keliru,” jawabku santai.
“Sih. Apanya yang keliru, Kak Las? Lah wong begitu kok yang kubaca di buku Khazanah Aswaja itu,” Hakki keberatan dengan pernyataanku.
Lagi-lagi aku dibuat bangga oleh dua orang ini. Pertama, Basri yang mulai suka membaca di wartanu.com dan menganggap media online NU ini sebagai rujukan yang pas dan pantas untuk bahan bacaan santri, warga NU, dan warga Indonesia secara umum. Kedua, Hakki yang diam-diam juga suka membaca bukuku yang kuletakkan di samping laptop.
Pernah beberapa kali kulihat Hakki nampak asyik dengan buku bacaanku. Tanpa ijin membacanya. Aku tidak marah karena aku yakin bukuku akan tetap aman kalau Hakki yang baca. Kalau yang lainnya aku ragu, khawatir, takut. Takut bukuku tinggal kenangan.
Basri kuperintahkan mengambil buku Khazanah Aswaja yang ada di kamarku. Setelah diserahkan padaku, kukatakan sekali lagi kalau jawaban Hakki tadi ada yang keliru. Tidak sama dengan yang ada di dalam buku Khazanah Aswaja yang saat ini kupegang.
“Imam Abu Hanifah, Imam Malik ibn Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal memang imam fiqih yang sampai sekarang pendapat mereka atau madzhab mereka diakui dan dipakai oleh mayoritas muslim sedunia. Tapi, tadi ada yang keliru, Lek Ki,” kataku, menjelaskan.
“Imam Malik ibn Anas itu lahir pada 95 H kalau di buku Khazanah Aswaja,” ungkapku menyodorkan buku.
“Imam Malik ibn Anas lahir pada 95 H bukan 93 H. Kalau kamu ngotot bilang 93 H, apa referensimu, Lek?”
“Nah, itu dia yang aku tidak tahu, Kak Las. Jawabanku tadi itu hanya tebakan saja. Benar atau tidak urusan belakang yang penting bisa mengalahkan Basri,” sahut Hakki tertawa terbahak-bahak.
“Betul kok, Lek. Cuma tadi itu yang keliru. Kalau dalam buku Khazanah Aswaja itu Imam Malik lahir pada 95 H.”
Sekarang gantian yang termangu. Tadi Basri, sekarang Hakki. Tidak ada tanggapan dari keduanya dan itu membuatku harus menjelaskan panjang lebar mengenai imam fiqih yang dikenal dengan Salaf ash-Shalih atau ulama salaf.
Mereka belum tahu ulama salaf. Mereka hanya tahu sebagaimana percakapan mereka dari tadi. Tentang yang lainnya, apalagi ini, mereka belum tahu apa-apa. Makanya sekarang mereka menuntutku untuk menjelaskan.
“Setahuku begini, Lek,” kataku memulai penjelasan.
“Salaf itu nama zaman, yaitu merujuk pada imam-imam atau ulama yang hidupnya antara kurun waktu kenabian Nabi Muhammad SAW hingga abad ketiga Hijriyah, 300 Hijriyah.”
“Generasi pertama disebut sahabat Nabi Muhammad SAW. Disebut generasi pertama karena mereka berguru langsung pada Nabi Muhammad SAW. Generasi kedua disebut tabi’in, yaitu mereka yang berguru pada sahabat Nabi walaupun belum pernah berguru pada Nabi…”
Baca Juga :
- Mudah Dihafal, Beginilah Doa Ketua PSNU Bondowoso Saat Menjalani Isoman
- Tawassul yang Disyirikkan dan Dibid’ahkan
“Kak Las,” kata Rio memotong penjelasanku.
“Usai jam belajar disuruh ke Wonosari beli obat,” lanjut Rio.
Aku hanya mengangguk mengiyakan. Hakki dan Basri menatap Rio dengan pandangan tak senang karena penjelasanku dipotong begitu saja. Padahal masih asyik-asyiknya mendengarkan, kata mereka menggerutu.
Buku Khazanah Aswaja masih di pangkuanku. Terbuka lebar di halaman 171 tentang biografi keempat imam fiqh yang masyhur digunakan sampai hari ini. Aku melanjutkan, “Generasi ketiga disebut tabi’ut tabi’in, yaitu mereka yang tak pernah berguru pada Nabi Muhammad SAW dan sahabat. Tapi, mereka berguru pada tabi’in,” ujarku.
“Berarti Abu Hanifah termasuk tabi’ut tabi’in, ya Kak Las? Kan Abu Hanifah lahirnya pada 80 H. Tentu di tahun itu masuk generasi ketiga, kan?” Tanya Hakki yang memang sedikit paham setelah membaca buku Khazanah Aswaja beberapa hari ini.
“Nah, betul sekali, Lek. Abu Hanifah ini berguru pada tabi’in. Salah satunya adalah Hammad bin Abu Sulaiman al-Asy’ari. Abu Hanifah juga pernah bertemu dengan beberapa sahabat, Lek. Di antaranya adalah Anas bin Malik yang wafat pada 93 H di Kufah.”
“Kalau Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali itu termasuk apa, Kak Las?” Sekarang Basri yang bertanya, penuh penasaran.
“Ketiganya itu juga tabi’ut tabi’in, Lek. Makanya, para imam madzhab fiqih yang empat itu dikenal dengan ulama salaf,” kataku.
Kutengok jam musalla sudah hampir jam 21:00 WIB. Artinya, jam belajar sebentar lagi akan habis. Tak cukup rasanya menjelaskan tentang imam madzhab fiqih yang empat ini. Tak apalah, pikirku. Kalau toh tidak nutut bisa disambung di kamar.
“Sesuai yang kusampaikan tadi, Lek. Ulama salaf ini adalah ulama yang hidupnya dari 0-300 Hijriyah. Keempat imam madzhab fiqih tadi itu lahirnya jauh sebelum tahun 300 H. Dan, ada lagi ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang masuk pada ulama salaf ini, Lek. Namanya Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi. Keduanya Imam besar Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal akidah…”
“Jangan lupa, Kak Las, sebentar lagi ke Wonosari,” kata Rio memotong penjelasanku lagi setelah dari kelas mengontrol jam belajar perdaerah.
Lagi-lagi hanya anggukan yang kuberikan padanya.
“Abu Hasan al-Asy’ari ini, Lek, lahir pada 260 H. Sedangkan Abu Manshur al-Maturidi ini tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya saja diperkirakan sekitar pertengahan abad ketiga hijriyah. Kalau dalam buku Khazanah Aswaja ini, Lek, beliau lahir pada 238 H,” ujarku menunjukkan buku Khazanah Aswaja di halaman 35.
Basri dan Hakki sama-sama melihat buku yang kutunjukkan. Mereka hanya mengangguk dan Hakki pun mulai ingat dengan apa yang sudah ia baca. Dari Hakki ini aku juga ingat bahwa apa pun yang manusia alami akan tersimpan di alam bawah sadar. Pengalaman itu akan diingat ketika dibutuhkan. Apabila lupa, caranya adalah memusatkan pikiran pada alam bawah sadar atau dengan bantuan orang lain. Seperti yang kulakukan pada Hakki tadi.
“Teeng, teeng, teeng.” Bunyi itu menjadi pertanda berakhirnya forum musyawarahku dengan Hakki dan Basri. Aku segera pamitan ke kamar hendak mengambil kontak sepeda untuk memenuhi tugas mulia, beli obat ke Wonosari.
Sebelum berangkat kukatakan pada Hakki dan Basri akan kulanjutkan nanti setelah pulang atau besok. Insyaallah, kataku lalu menghidupkan sepeda motor dan keluar area pesantren.
* * *
Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng
Editor : Gufron