Keris dan Peradaban Banten

    
Di Banten, keris sebagai pusaka namanya mengemuka saat Maulana Hasanuddin yang tengah mengemban misi menyebarkan Islam harus berhadapan dan  bertarung dengan sang paman, Arya Surajaya atau Prabu Pucuk Umun. 

Dalam pertarungan itu, putra Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati  dari Cirebon tersebut membawa sebilah keris yang diberikan sang ayah. Sedangkan Pucuk Umun yang meneruskan kepemimpinan Banten dari ayahnya, Prabu Surosowan,  membawa sebilah golok.
      
Hanya, pertarungan yang terjadi bukan berbentuk perang seperti lazimnya konflik kakuasaan, atau pertarungan satu lawan satu antara kedua orang tersebut. Lantas bagaimana?  Adu jago! Pilihan ini sangat bijak demi menghindari pertumpahan di  antara kedua tokoh beserta massa pendukung yang sejatinya masih bersaudara. Adu ayam digelar Gunung Karang yang dianggap sebagai tempat netral.
     
Pertarungan yang dihadiri pendukung masing-masing tentu berlangsung seru. Pucuk Umun membawa ayam yang dibekali ilmu otot kawat balung wesi dan kedua tajinya dipasang keris berbisa. 

Bagaimana dengan ayam jago Maulana Hasanuddin? Konon, ayamnya jelmaan sang penasehat yang merupakan murid Sunan Ampel, Syekh Muhammad Saleh. Atas ridho-Nya, ayam jelmaan  waliyulloh yang makamnya di Gunung Santri itu mampu membuat lawannya terkapar dan tewas.
      
Pucuk Umun menerima kekalahan secara fair dengan menyerahkan goloknya sebagai tanda ucapan selamat. Bukan hanya itu, dia bersama sejumlah pengikutnya memilih legowo dan menepi ke Ujung Kulon, yang keturunannya kini disebut  sebagai orang Kanekes atau Suku Baduy. 

Sebagian pengikut lainnya memilih memeluk Islam. Kesuksesan ini pun mempermulus jalan dakwah Maulana Hasanuddin , hingga kemudian menjadikan Banten sebagai negara merdeka berbentuk kerajaan Islam atau kesultanan sepeninggal Sunan Gunung Jati.
      
Lantas keris apakah yang dimiliki Maulana Hasanuddin dan bagaimana ciri khas keris Banten? Tidak ditemukan  catatan spesifik tentang keris sang Sultan, seperti Sunan Gunung Jati yang paling tidak dikenal memilik dua bilah keris yang masih terjaga hingga kini, yakni Keris Katanaga dan Keris Sarpanaga. 
      
Acara Golok Day 2019 di Cilegon menghadirkan keris -yang disebut keris Banten- dari Museum Nasional dan konon merupakan ageman penguasa tertinggi di kerajaan Islam tersebut. Berdasar gambar, keris tampaknya seperti keris yang berluk 13 tanpa sogokan atau  Keris Korowelang, dengan pamor ron genduru. Apakah keris tersebut ageman Maulana Hasanuddin atau Maulana Yusuf dan penerus lainnya? Tidak ada kepastian.
      
Tak kalah penting adalah pertanyaan, apakah rancang bangun keris tersebut pakem tangguh Banten? Susah pula dipastikan. Karena di sisi lain, contoh-contoh keris yang disebut tangguh Banten memiliki rancang bangun yang berbeda, hingga membingungkan. 

Hal ini seperti gambar keris yang dicantumkan  pada tulisan pemerhati keris senior Jimmy S Harianto. Dalam catatannya dia membahas keris Banten  yang disusun  penulis keris dari Denmark, Karsten Sejr Jensen. 
      
Dari 24 keris Banten koleksi Museum Eropa yang dibahas,  empat keris di antaranya adalah berdapur Keris Sempono luk 9 dan tiga buah buah Keris Bima Kurda.  Rancang bangun satu sama lain juga tidak sama. Fakta ini pun menimbulkan pertanyaan, keris tersebut dibuat Banten hingga layak disebut tangguh Banten atau sekadar historinya ditemukan di Banten?
      
Secara faktual, eksistensi keris bertangguh Banten memang menyisakan pertanyaan.  Apalagi, di wilayah tersebut Keris sebagai pusaka kalah popular dibandingkan dengan golok.  Acara Golok Day 2019 yang digelar rutin menunjukkan ‘dominasi’ pusaka tersebut atas keris. 
      
Nama Ciomas Si Rebo, misalnya, menjadi legenda yang menggetarkan dan melekat kuat dalam ingatan sosiologis masyarakat karena disebut mampu melukai musuh pada jarak  10 meter. Golok yang dibuat Ki Buyut Cengkuk selama tujuh mulud disebut terbuat dari bahan godam denok pemberian Maulana Hasanuddin.
      
Keberadaan golok kian mengemuka karena menjadi pegangan para jawara yang biasa diselipkan disamping pinggang. Bahkan dalam kepercayaan masyarakat Banten, golok bukan sekadar alat potong atau sembelih seperti dipahami khalayak, tapi juga memiliki kekuatan spiritual seperti halnya keris. Apalagi golok  juga disisipi bahan racun hingga membuat siapapun yang tersabet, mati dengan luka membusuk.
      
Tapi benarkah posisi Keris di Banten selemah itu? Padahal, sang penguasa pertama pendiri kesultanan dan menjadikan Banten sebagai kerajaan penting, Maulana Hasanuddin,  adalah pemegang keris. Sedangkan  golok yang menjadi pegangan Pucuk Umun tak ubahnya senjata musuh yang terkalahkan. 
      
Apakah  posisi  golok begitu dominan karena merupakan senjata Banten asli, sedangkan keris yang dibawa Maulana Hasanuddin berasal dari Cirebon dan notabene merupakan senjata pendatang, sehingga tidak  memilik akar budaya kuat di Banten? Atau apakah kala itu Sultan Hasanuddin tidak memiliki waktu menguri-uri atau mengembangkan tosan aji, khususnya keris, karena konsentrasinya  tersita habis untuk berdakwah?
      
Namun, bila benar  tidak ada keris tangguh Banten, kondisi ini tentu ironis mengingat masa kejayaannya terentang hampir 3 abad, 1526-1813. Apalagi para pencinta keris saat ini banyak menyebut tentang keberadaan keris Banten. Hal ini seperti dibabarkan Channel Youtuber Galeri Pusaka Indonesia yang memperlihatkan keris peninggalan era Sultan Ageng Tirtayasa sepanjang 53,5 cm, dengan blah 4,8 cm dan panjang gonjo 11,6 cm alias keris raksasa. 
      
Js collection krisadi channel juga membabarkan keris Banten berdapur Carito Buntolo Pudak Sategal. Keris juga tergolong corok, dengan panjang 46,6cm berpamor nogo rangsang. Joko Supriadi sang pemilik Chanel meyakini keris Tangguh Banten ada, walapun tidak ada pakem yang jelas seperti Keris Demak yang mendaur ulang keris-keris era sebelumnya dengan nuansa Islam. 
      
Dalam logikanya, bagaimana  mungkin Banten yang tidak terpisah dengan Jawa tidak memiliki budaya keris. Sedangkan Patani, kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu hingga Sulu yang berada nun jauh di sana di seberang lautan  terpengaruh Majapahit dan memiliki budaya dan pakem keris yang  jelas. 
      
Atau juga apakah mungkin Banten yang beririsan geografis dan kesamaan kebudayaan  tidak terpengaruh budaya keris Pajajaran atau Segaluh yang  terbilang sangat kuat? Apalagi, Banten merupakan penerus resmi dari kerajaan Sunda-Galuh yang ditandai saat  berakhirnya kepemimpinan Prabu Suryakancana atau Prabu Raga  Mulya (1482-1579), Maulana Yusuf memboyong Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk penobatan raja, dari Pajajaran ke Keraton Surosowan. 
      
Atau apakah mungkin  Banten tidak terpengaruh keris tangguh Cirebon yang hingga kini masih eksis? Sedangkan Sultan Hasanuddin adalah putra Sunan Gunung Jati yang menjadikan keris sebagai ageman dan secara resmi meminta masyarakatnya melestarikan keris seperti dimuat dalam Naskah Carub Kandha?
      
Atau kah juga, apakah mungkin Banten tidak terpengaruh keris Demak, meskipun tangguh keris kesultanan Islam pertama di Tanah Jawa itu pakemnya juga belum jelas. Seperti diketahui, Banten dan Demak memiliki keterkaitan erat satu sama lain, termasuk diperistrinya putri sulung Sultan Demak Raden Patah oleh Sultan Hasanuddin, yakni Ratu Ayu Kirana atau Ratu Mas Purnamasidi.
      
Apalagi Sultan Hasanuddin memiliki  hubungan rekat Sultan Trenggono dari Demak yang dibuktikan dengan keberadaan meriam Ki Amuk. Meriam yang awalnya bernama Ki Jimat -kembaran meriam Si Jagur yang kini berada di depan Museum Fatahillah Jakarta ini-  merupakan hadiah Sultan Trenggono ke Sultan Hasanuddin.
      
Sebagai informasi, meriam yang ditemukan di Karangantu, bekas pelabuhan Kesultanan Banten itu, memiliki tiga inskripsi berhuruf Arab pada bagian lingkaran medalion. Inskripsi berbunyi:  ‘’Aqibah al-khairi salamah al-imani (Buah kebaikan adalah keselamatan iman). La fata illa ali la saifa illa zu al-faqar isbir ala ahwaliha la mauta (Tidak ada pemuda kecuali Ali, tidak ada pedang kecuali Zulfaqar, sabarlah atas huru-hara (cobaan peperangan),  tidak ada kematian kecuali karena ajal).’’
      
Realitas yang bisa dipahami dari puzzle yang berserakan, keris tangguh Banten masih kontroversi karena tidak memilik pakem yang jelas. Tapi di sisi lain, Keris Banten secara faktual ada, dan banyak dimiliki kolektor dan ditampilkan di berbagai pameran.
      
Keris yang terpampang digambar adalah  keris berdapur Nogosroso dengan kinatah 7 wedono, ternyata juga bertangguh Banten. Sejumlah teman pakeris bingung dengan rancang bangun keris tersebut. Tapi faktanya, sertifikasi yang dilakukan sebuah yayasan di Solo dengan tegas menangguh Keris Banten. Lantas pada sisi rancang bangun atau ricikan  seperti apa hingga keris tersebut disebut bertangguh Banten, sertifikat tidak memberi keterangan. Penulispun kebingungan.
      
Namun, bila keris Nogososro hanya disebut pernah menjadi pegangan pembesar  di era Kesultanan Banten sedangkan kerisnya berasal dari Demak, sangat masuk akal. Mengapa? Karena adanya kedekatan Banten dengan Demak sebagai sesama kerajaan Islam, sang Sultan Hasanuddin memperistri Ratu Mas Purnamasidi dari Demak,  dan kedekatan Sultan Hasanuddin  dengan Sultan Trenggono. Sedangkan Nogososro adalah salah satu ageman utama Raden Patah yang merupakan keturunan Brawijaya  V dan masuk dewan Walisongo.
      
Untuk diketahui, banyak yang menyebut Keris Nogososro tidak dikenal di era Majapahit. Meskipun satu versi tentang kelahirannya terjadi di era Brawijaya V dan dibuat Empu Supa Mandagri atau yang diidentifikasi juga sebagai Mpu Pitrang, Mpu Koso atau Pangeran Sedayu. 
      
Konon sang raja sengaja memesan empu untuk membuat keris  yang bisa menjadi wasilah tolak bala seribu musibah yang kala itu terjadi di Majapahit. Berdasar hasil munajat, Mpu Supa membuat keris berganan naga tanpa mahkota, dengan 1.000 sisik, dan berluk 13. Karena hajat untuk mengatasi berbagai musibah dikabulkan, Brawijaya V menjadikan keris tersebut menjadi keris kerajaan.
     
Namun cerita ini dibantah Mpu Totok Brojodiningrat, ahli pawukon dan filsafat Jawa yang juga Mpu Keris Padepokan Brojodiningrat. Alasannya? Dia menukil Suluk Tembangraras dan Suluk Pangeran Wijil Kadilangu III yang menyebut Keris Nogososro dapur Buto Ijo, Sabuk inten, Sepokan, Anoman, Panimbang, Njaruman, di buat sekitar tahun 1380 S oleh Mpu Domas di era Raden Patah atau Syech Akbar, dan kemudian menjadi ageman utama sang Sultan. 
      
Empu Totok mengakui Keris Nogososro tangguh Demak mirip dengan tangguh Majapahit.Tapi, runtuhnya Majapahit dan berpindah ke  Demak  ditandai dengan sengkalan ‘sirna ilang kertaning bumi’, bukan hanya diwarnai dengan berpindahnya pusat kerajaan di Jawa dari Majapahit ke Demak, tapi juga diboyongnya seluruh pusaka dan simbol kerajaan, termasuk Mpu Supo dan Mpu Domas ke Demak Bintoro. Karena itulah, Keris Nogosroso yang dibuat di Demak memiliki perawakan tangguh Majapahit karena empunya sama.
      
Nah, apakah Keris Nogososro yang ada digambar merupakan keris Tangguh Demak  yang berpindah tangan ke Banten sebagai barang mahar, buah tangan sebagai pertanda hubungan baik  kedua kerajaan, atau bahkan menjadi hadiah Raden Patah kepada  sang menantu, Maulana Hasanuddin,  atau sebagai hadiah dari Sultan Trenggono kepada Sultan Hasanuddin seperti halnya Meriam Ki Amuk? Wallohualam. 
      
Sebagai yang kebetulan ‘dititipi’  pusaka ini, hanya bertugas merawat semampunya sembari belajar nguri-nguri budaya dan peninggalan nenek moyang yang adi luhung. 

Tulisan disusun dari berbagai sumber
LihatTutupKomentar

Terkini